Redaksi
Birokrasi Tulungagung Rapuh, Dimutasi Jadi Kadisnaker, Tri Hariadi Sebut Ada Cacat Prosedur
TULUNGAGUNG — Polemik reposisi jabatan di Pemkab Tulungagung kini memasuki fase paling krusial. Tri Hariadi, yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Daerah, resmi digeser untuk mengisi posisi Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans).
Pelantikan yang seharusnya menjadi formalitas justru berubah menjadi drama penuh keganjilan yang menohok kredibilitas pemerintah daerah.
Pada Kamis (11/12), nama Tri Hariadi tercantum jelas dalam daftar pejabat yang akan dilantik. Namun ia tidak hadir, sehingga pemerintah menjadwalkan ulang pelantikan pada Jumat (12/12), pukul 08.30 WIB.
Prosesi yang semestinya sederhana justru berubah menjadi pemandangan paling janggal di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso.
Para pejabat telah duduk rapi, bisik-bisik terdengar di berbagai sudut, dan satu kursi terlantik yang disiapkan khusus untuk Tri Hariadi dibiarkan kosong selama berjam-jam menjadi simbol nyata betapa rapuhnya koordinasi birokrasi di level tertinggi. Tanpa pengumuman dan tanpa penjelasan resmi, pelantikan kembali dibatalkan.
Setelah dua kali ketidakhadiran, Tri Hariadi akhirnya memecah kebisuan.
Pihaknya menegaskan bahwa proses pelantikan yang hendak digelar pemerintah daerah tidak sah secara prosedural.
“Menurut keyakinan kami pelantikan kemarin cacat prosedur dan kami berkeyakinan untuk tidak menandatangani sesuatu yang salah”, ungkap Tri Hariadi dalam pesan singkat yang diterima redaksi 90detik.com pada Jumat (12/12).
Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa persoalan yang terjadi bukan sekadar absensi, melainkan adanya dugaan pelanggaran mekanisme dalam reposisi salah satu jabatan paling strategis di pemerintahan.
Ketika ditanya apakah ia akan mengajukan keberatan atau menempuh jalur hukum ?
“Masih kami diskusikan”, jawabnya.
Sikap tersebut menunjukkan bahwa polemik belum selesai bahkan kemungkinan baru dimulai.
Sementara itu, pemerintah daerah tampak gamang merespons situasi ini.
Kepala BKPSDM Tulungagung, Soeroto, saat dimintai keterangan hanya menyebut bahwa pihaknya akan berkonsultasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
“Sekda itu di bawah koordinasi gubernur. Ini kejadian khusus. Selama ini tidak pernah terjadi,” ujarnya usai menyampaikan pembatalan pelantikan kepada awak media.
Sejauh ini, publik justru menangkap kesan bahwa pemerintah daerah kehilangan kendali atas proses mutasi pejabat tertinggi non-politik tersebut.
Pelantikan jabatan tinggi pratama idealnya berjalan presisi mulai dari rekomendasi, administrasi, hingga sinkronisasi dengan pemerintah provinsi.
Kegagalan pelantikan selama dua hari berturut-turut bukan lagi persoalan teknis, tetapi sinyal kuat bahwa:
• ada dugaan prosedur yang tidak beres,
• ada dugaan koordinasi yang tersumbat, atau
• ada dugaan konflik kepentingan yang belum terungkap.
Kursi kosong yang dibiarkan terpampang di pendopo menjadi simbol paling telak bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya di Pemerintahan Tulungagung.
Hingga berita ini diturunkan, tidak ada klarifikasi resmi dari Pemkab Tulungagung terkait dugaan cacat prosedur. Tidak ada pula kepastian apakah pelantikan akan dijadwalkan ulang atau dibatalkan sepenuhnya.
Yang muncul justru kegaduhan, spekulasi, dan pertanyaan besar mengenai apa yang sebenarnya terjadi di balik kegagalan pelantikan Tri Hariadi.
Sementara publik menanti transparansi, drama kursi kosong ini menjadi preseden buruk yang tidak hanya memalukan, tetapi juga berpotensi mengancam stabilitas tata kelola pemerintahan Tulungagung. (DON/Red)
Editor: Joko Prasetyo