Nasional

Fredi Moses: DPRD Tulungagung Alat Oligarki, Rakyat Bangkit dengan Sumitronomic

Published

on

TULUNGAGUNG— Kalau DPRD bungkam, mereka sah disebut alat oligarki lokal, suara Fredi Moses Ulemlem terdengar tajam saat menanggapi gelombang aksi masyarakat Tulungagung.

Bagi pakar hukum dan politik itu, apa yang terjadi bukan sekadar keramaian di jalan, melainkan tanda bahaya, lembaga politik tersandera kepentingan oligarki, sementara rakyat dipaksa menjadi penonton.

Pada Kamis (11/9), suasana di sekitar DPRD Kabupaten Tulungagung berubah riuh. Ratusan massa Pejuang Gayatri Rajapatmi berdiri berdesakan, mengibarkan poster-poster perlawanan. Suara orator menggelegar, menyuarakan 27 tuntutan rakyat.

“Kalau DPRD tetap mandul, rakyat tidak akan diam!” teriak seorang orator, disambut tepuk tangan dan pekikan massa.

Kuburan Elit Jadi Simbol Perlawanan.

Dari pengeras suara, nama Shangrila Memorial Park terus disebut. Proyek pemakaman mewah itu dianggap ilegal karena tidak diatur Perda. Bagi massa, Shangrila bukan sekadar kuburan, melainkan simbol kapitalisme rakus: lahan untuk mati saja diprivatisasi, sementara rakyat kecil makin sulit mendapatkan tanah untuk hidup.

Tak hanya itu, penambangan galian C ilegal yang merusak alam juga jadi sorotan. “Zona Integritas hanya kamuflase. Korupsi tetap budaya!” teriak massa dalam yel-yel.

Cermin State Capture.

Bagi Fredi Moses, gelombang protes ini adalah cermin dari state capture, kondisi ketika institusi negara justru dikendalikan oleh kepentingan mafia tanah dan oligarki lokal.

“Kasus Tulungagung adalah kontradiksi klasik demokrasi lokal: rakyat sebagai pemilik kedaulatan dipinggirkan, sementara birokrasi dan kapital saling melindungi,” jelasnya.

Ia menekankan, hak angket DPRD adalah instrumen konstitusional untuk membongkar masalah. Jika DPRD memilih diam, kata Fredi, publik berhak menyebutnya sekadar perpanjangan tangan oligarki.

Sumitronomic: Jalan Alternatif Rakyat.

Di tengah pekik protes, massa membawa gagasan baru: Sumitronomic. Sebuah filosofi ekonomi kerakyatan yang menekankan gotong royong, koperasi, dan BUMDes. Konsep ini diposisikan sebagai antitesis kapitalisme rakus yang melahirkan kuburan elit semacam Shangrila.

“Sumitronomic adalah ekonomi rakyat, bukan ekonomi rente. Di sinilah rakyat punya pegangan untuk melawan oligarki,” ujar Fredi.

Bagi massa, Sumitronomic bukan sekadar teori, tapi tawaran solusi. Mereka ingin sumber daya dikelola secara adil dan transparan, memberi manfaat bagi rakyat banyak, bukan segelintir pemodal.

Ultimatum Oktober.

Aksi 11 September itu berakhir dengan ultimatum keras, Oktober 2025 menjadi batas waktu DPRD. Jika tak berani menggunakan hak angket untuk membongkar mafia tanah dan proyek ilegal, rakyat berjanji akan kembali turun dengan aksi yang lebih besar.

“Jangan salahkan rakyat bila kantor kekuasaan digeruduk lebih dahsyat,” ujar koordinator aksi.

Bagi sebagian orang, aksi ini bukan hanya sekedar aksi dan mungkin hanya unjuk rasa biasa. Namun bagi Fredi Moses, ada makna lebih dalam, rakyat mulai tampil sebagai subjek politik.

“Legitimasi politik bisa runtuh bukan oleh pemilu, melainkan oleh tekanan rakyat yang muak terhadap oligarki. Dan Sumitronomic memberi landasan ilmiah untuk perlawanan itu,” pungkasnya.

Wajah Lelah, Harapan yang Menyala.

Menjelang sore, terik matahari mulai mereda. Satu per satu massa meninggalkan alun-alun dengan wajah lelah, keringat masih menetes di dahi. Namun di balik keletihan itu, ada semangat yang tetap menyala. Seorang ibu paruh baya menenteng poster bertuliskan “Tanah untuk Rakyat, Bukan untuk Mafia.”

Di sudut jalan, sekelompok pemuda menggulung spanduk dengan hati-hati. Mereka berbincang singkat, merencanakan aksi lanjutan jika tuntutan tak digubris.

Hari itu Tulungagung bukan hanya menyaksikan teriakan protes, melainkan juga lahirnya sebuah harapan baru, rakyat kecil yang berani menantang oligarki, dengan Sumitronomic sebagai pegangan untuk masa depan yang lebih adil. (By/Red)

Editor: Joko Prasetyo

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version