Opini

Santri dan Resolusi Jihad di Era Modern

Published

on

Jakarta — Sejak sebelum subuh, kehidupan pesantren sudah berdenyut. Para santri telah menunaikan tugas wajibnya: tahajud dan wirid. Namun pagi Rabu (22/10/2025) itu terasa berbeda.

Seusai wirid Subuh dan pengajian tafsir, para santri bergegas membersihkan diri, tampak lebih rapi dari biasanya.

Melihat pemandangan itu, Kyai Badrun tersenyum sambil bertanya.

“Khok sudah mandi? Biasanya kan menjelang Dzuhur baru mandi?”

Salah seorang santri menjawab.

“Kita semua ikut upacara, Kyai. Bahkan ada yang jadi petugas.”

Sang Kyai menggoda.

“Ah, ini pasti cuma alasan supaya libur ngaji, ya?”

Santri itu tertawa lalu menjawab,

“Kyai, hari ini itu hari kita, Kyai. Hari Santri. Sekali-kali santri juga harus keren.”

Dialog sederhana itu menggambarkan kebanggaan para santri menyambut Hari Santri Nasional (HSN).

Di berbagai penjuru negeri, peringatan ini dirayakan dengan penuh semangat, mengenang Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang digelorakan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Jombang sebuah seruan suci untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Pesantren Sebagai Benteng Moral Bangsa.

Bagi saya, yang dibesarkan di lingkungan pesantren dan kini diberi amanah untuk merintis pesantren sendiri, pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi sebuah sistem kehidupan yang khas dan paripurna.

Pesantren mengajarkan kemandirian, bukan ketergantungan. Prinsipnya sederhana: tubuh harus menyesuaikan selimut, bukan sebaliknya. Dengan segala keterbatasan, pesantren tetap menempatkan ilmu sebagai pusat peradaban.

Fasilitas boleh seadanya, tetapi pembelajaran tetap utama sebagai proses pengkaderan risalah dan jalan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Dari sarana sederhana itu, pesantren mendidik jiwa dan akhlak sebuah proses tazkiyatun nafs, penyucian diri. Proses ini tidak bisa dijalankan tanpa kehadiran murobbi (pendidik ruhani), yang di dunia pesantren dikenal sebagai kyai.

Kyai: Figur Epistemik dan Penjaga Adab.

Dalam tradisi pesantren, kyai bukan hanya pengajar, tetapi juga figur epistemik: penjaga ilmu, akhlak, dan adab. Santri tidak hanya belajar kitab, tetapi juga belajar hidup.

Banyak ilmuwan besar mungkin menguasai teori, tapi tak semua memiliki khasanah adab santri terhadap kyainya.

Di pesantren, adab tidak berdiri sendiri ia menyatu dengan ilmu, khidmat, amal, akhlak, dan ngalap berkah. Inilah fondasi moral yang membuat pesantren bertahan ratusan tahun.

Jihad Ala Pesantren.

Resolusi Jihad 1945 menjadi bukti bahwa pesantren tidak hanya mendidik, tetapi juga berjihad. Para kyai kala itu berjuang dengan dua senjata: doa dan tindakan nyata. Mereka salat, puasa, berdzikir, membaca hizib, dan pada saat yang sama turun ke medan laga.

Suwuk kyai kala itu diyakini menjadi pelindung batin para pejuang. Semangat perjuangan itu adalah wujud dari hubbul wathan minal iman cinta tanah air sebagian dari iman.

Dari Tebuireng ke Indonesia.

Pasca-kemerdekaan, para santri tetap mengabdi kepada bangsa. Dari Tebuireng lahir KH. Wahid Hasyim, tokoh penting yang melahirkan Departemen Agama pada 1946.

Dari rahim pesantren pula lahir presiden, menteri, cendekiawan, hingga diplomat yang membawa semangat keislaman dan kebangsaan secara seimbang.

Kini, setelah disahkannya Undang-Undang Pesantren (2019), perjuangan kaum santri memasuki babak baru. Pemerintah tengah menyiapkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren, sebagai bentuk pengakuan negara terhadap sistem pendidikan khas pesantren.

Namun, perlu diingat: Ditjen Pesantren tidak boleh mengubah jati diri pesantren. Justru ia harus menjadi instrumen untuk mengangkat khasanah pesantren dengan tata kelola modern tanpa menghilangkan ruhnya.

Santri masa kini harus menjadi insan tafaqquh fiddin (mendalami agama) yang juga menguasai sains dan teknologi.

Pendidikan pesantren harus diakui sejajar dengan pendidikan formal, tanpa kehilangan karakter keikhlasan dan kemandirian.

Pesan Hari Santri.

Dalam momentum Hari Santri 2025 ini, saya sengaja menghadirkan Prof. Dr. KH. Imam Suprayogo, tokoh yang menghadirkan model pendidikan pesantren di kampus UIN Malang.

Gagasannya kemudian diikuti banyak UIN di Indonesia.

Beliau menegaskan, sistem pendidikan pesantren adalah yang terbaik dan paling paripurna bukan hanya mengajarkan ilmu, tapi juga menghidupkan akhlak, adab, dan kemandirian.

“Pendidikan formal seharusnya belajar dari sistem pesantren,” tegasnya.

Santri, Pilar Negeri.

Bagi saya, Hari Santri bukan sekadar peringatan seremonial, tetapi perwujudan komitmen kaum santri untuk terus berkhidmat menjaga negeri.

Pesantren telah melahirkan generasi yang mencintai ilmu dan tanah air. Dari ruang-ruang kecil beralaskan tikar, lahir jiwa-jiwa besar yang siap memimpin bangsa.

Di tengah arus globalisasi dan krisis moral, hanya pesantren yang mampu menjaga ruh keindonesiaan dan keislaman secara utuh. Maka, memperkuat pesantren berarti memperkuat masa depan bangsa.

Santri hari ini adalah pemimpin masa depan.

Semoga Allah Ta’ala selalu memberkahi langkah para santri dalam berjihad di jalan ilmu dan menjaga negeri. (DON/Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan
Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version