Opini

Transisi Kepemimpinan Global dalam Geopolitik Energi

Published

on

Jakarta— Dalam salah satu pidato TED-nya, ilmuwan politik Ian Bremmer mengajukan pertanyaan sederhana tapi tajam “Who runs the world?”

Pertanyaan itu kini sulit dijawab. Dunia yang dulu dipimpin oleh satu kekuatan dominan Amerika Serikat kini berubah menjadi sistem multipolar yang cair.

Kekuasaan tersebar, koordinasi global melemah, dan aliansi lama kehilangan daya rekat.

Bremmer menyebut fenomena ini sebagai dunia G-Zero dunia tanpa pemimpin global yang jelas.

Dalam kondisi seperti ini, politik internasional lebih sering diwarnai oleh kepentingan nasional jangka pendek ketimbang visi kolektif untuk masa depan.

Namun, di balik gejolak politik ini, terdapat satu faktor kunci yang jarang dibicarakan secara mendalam yaitu geopolitik energi.

Energi Sebagai Poros Kekuasaan Dunia.

Menurut Carlos Pascual dan Evie Zambetakis dalam The Geopolitics of Energy (2010), energi bukan sekadar komoditas ekonomi, ia adalah alat kekuasaan.

Negara yang mampu mengendalikan pasokan energi, jalur distribusi, dan teknologi ekstraksi akan memiliki pengaruh politik yang luar biasa.

Contoh paling nyata terlihat dalam ketegangan antara Rusia dan Eropa. Ketergantungan Eropa terhadap gas Rusia selama dua dekade terakhir telah membentuk hubungan politik yang asimetris di mana keputusan energi sering kali menjadi senjata diplomasi.

Pascual menegaskan, “energy security is the new currency of power.” Dalam politik ekonomi global, sumber daya energi kini berfungsi layaknya cadangan devisa geopolitik.

Transisi Energi dan Politik di Asia Timur dan Tenggara.

Namun, dinamika kekuasaan ini mulai bergeser seiring masuknya era transisi energi. Studi oleh Jérémy Jammes, Éric Mottet, dan Frédéric Lasserre (2020) dari Conseil québécois d’Études géopolitiques menunjukkan bahwa Asia Timur dan Asia Tenggara kini menjadi laboratorium besar bagi politik energi baru.

Negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan bersaing dalam investasi teknologi hijau, sementara Indonesia, Vietnam, dan Malaysia bernegosiasi antara ketergantungan pada batu bara dan tekanan global untuk beralih ke energi terbarukan.

Transisi energi ini bukan hanya soal iklim, tapi juga politik ekonomi industrialisasi baru siapa yang akan menguasai rantai pasok lithium, rare earth elements, dan teknologi baterai menjadi pertaruhan strategis abad ke-21.

Mediterania dan Jalur Energi Baru.

Di sisi lain, kawasan Mediterania muncul sebagai pusat energi strategis bagi Eropa. Jalur pipa gas dari Afrika Utara, proyek offshore gas di Laut Tengah, hingga ekspansi terminal LNG menjadikan wilayah ini kunci dalam strategi diversifikasi Eropa.

Keseimbangan baru ini menunjukkan bahwa geopolitik energi kini lebih kompleks, tidak lagi dikontrol oleh segelintir negara produsen, melainkan oleh jaringan ekonomi politik global yang menghubungkan negara, korporasi, dan pasar.

Politik Ekonomi Transisi Antara Pasar dan Kedaulatan.

Dari perspektif politik ekonomi, transisi energi global menggambarkan tarik-menarik antara dua kutub kedaulatan nasional dan mekanisme pasar global.

Negara membutuhkan kebijakan industri strategis untuk menjaga kemandirian energi, namun pada saat yang sama tidak bisa lepas dari tekanan pasar internasional dan investor hijau.

Dalam konteks ini, kebijakan energi bukan hanya soal efisiensi atau emisi karbon, melainkan juga tentang siapa yang mengatur arah akumulasi kapital global. Seperti diingatkan Jammes dkk.

Transisi energi bisa memperkuat ketimpangan baru antara negara produsen bahan baku dan negara penguasa teknologi hijau.

Demokrasi dan Tantangan Kepemimpinan Global.

Ian Bremmer menutup refleksinya dengan peringatan jika dunia tanpa pemimpin, maka tanggung jawab kepemimpinan harus berpindah ke masyarakat global.

Demokrasi hanya bertahan jika warganya sadar akan keterlibatan mereka dalam sistem ekonomi-politik global yang memengaruhi kehidupan sehari-hari mulai dari harga energi hingga arah investasi publik.

Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, politik energi menjadi cermin politik manusia siapa yang berani berpikir melampaui kepentingan jangka pendek untuk masa depan bersama.

Dunia tidak lagi dikendalikan oleh satu kekuatan tunggal. Namun, kekuasaan baru sedang terbentuk di titik pertemuan antara energi, teknologi, dan ekonomi politik global. Pertanyaannya kini bukan lagi siapa yang menguasai dunia, tetapi siapa yang mampu memahami dan mengelola perubahan itu dengan visi jangka panjang.

Referensi.

• Bremmer, Ian. Who Runs the World? (TED Talk, 2022).
• Pascual, Carlos & Zambetakis, Evie. The Geopolitics of Energy. In Energy Security: Economics, Politics, Strategies, and Implications, 2010.
• Jammes, Jérémy; Mottet, Éric; Lasserre, Frédéric. East and Southeast Asian Energy Transition and Politics. Conseil québécois d’Études géopolitiques, 2020. (By/Red)

Oleh: Yuwono Setyo Widagdo, S.Sos., MH.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version