Connect with us

Opini

Pemilu Damai dan Aman, KH Imam Mawardi Ridlwan:Anak Pertiwi Bersinergi Dalam Rahmat Ilahi

Published

on

TULUNGAGUNG, 90detik.com- Fenomena Pemilu 2024 ada pandangan dari partai koalisi bahwa hanya partai koalisi saja akan mampu menyelesaikan persoalan bangsa Indonesia yang besar ini.

Adanya pernyataan seperti itu sebenarnya kurang tepat, menurut kajian KH Imam Mawardi Ridlwan, menyampaikan bahwa sejarah panjang bangsa Indonesia hingga mampu merdeka, karena anak pertiwi bersinergi dalam rahmat ilahi.

“Paska kemerdekaan membangun bangsa harus kompak semua elemen karena memang tidak boleh hanya dibangun sebagian elemen masyarakat saja,” ujar KH Imam Mawardi Ridlwan, pada Kamis (18/1/2024).

Kyai yang juga sebagai pengasuh pondok pesantren Al Azhaar ini, mengatakan karena sejatinya koalisi partai untuk mengantar capres dan cawapres meraih suara terbanyak sehingga mampu unggul dalam perolehan suara untuk mendapatkan legitimasi presiden baru.

Presiden terpilih merupakan pemimpin rakyat Indonesia bukan lagi hanya sekedar presiden partai koalisi. Presiden wajib mengajak dan merangkul seluruh partai PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, PPP, PAN, Demokrat, Nasdem, PKS, HANURA, PBB, PSI, Ummat dan Gelora. Terkecuali partai yang tidak berkenan gabung karena mengambil posisi sebagai oposisi pemerintah yang sedang berkuasa,

“Perlu diperhatikan Presiden terpilih juga milik semua ormas dan lembaga profesi serta seluruh elemen bangsa. Dan seyogyanya para pasangan calon (paslon) mengambil narasi untuk kembali pada demokrasi Pancasila yang saling ta’awun dan musyawarah mufakat,” terang Abah Imam panggilan akrab KH Imam Mawardi Ridlwan.

Abah Imam melanjutkan, para paslon dan timses sebaiknya menunjukkan kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara. Para elit politikus yang punya modal banyak sebaiknya tidak membuat ulah provokasi mengajak rakyat memusuhi dan atau menggagalkan Pemilu 2024.

“Sangat terhormat apabila para elit bangsa selalu menjunjung etika mementingkan persatuan bangsa dan kebersamaan semua elemen,” tegasnya.

Untuk saat ini, lanjut Abah Imam rakyat telah terdidik dengan baik sehingga tidak mudah terkena provokasi dari oknum yang sedang membangun persekongkolan jahat untuk menggagalkan pesta demokrasi pada 14 Pebruari 2024 nanti.

“Kami sangat bersyukur, saat ini rakyat Indonesia sudah dewasa berpolitik. Jadi mampu menyaring isu yang dihembuskan kelompok yang takut kalah dalam Pemilu 2024. Sehingga membuat isu negatif berisi hoaks, fitnah dan provokasi,” tukasnya.

Melihat kondisi saat ini, dari kacamata Abah Imam menyatakan, rakyat bercita-cita dalam pesta demokrasi berjalan jujur dan adil (Jurdil). Agar menghasilkan penguasa yang mengabdi bangsa dan negara. Bukan pemimpin yang hanya berjuang untuk dirinya, keluarganya, kelompoknya dan atau pemodalnya saja.

“Presiden yang akan terpilih pada Pemilu 2024 seyogyanya didukung penuh agar mampu membangun Indonesia menjadi negara berdaulat, bermartabat dan mampu unggul secara global. Indonesia tidak lagi jadi kacung asing dan aseng,” jelasnya.

Dalam kesempatan ini, Abah Imam juga berharap kepada para paslon dan timses Pemilu 2024, menjadi seorang patriot bangsa. Menjaga keutuhan dan stabilitas bangsa. Sebaliknya dihindari sikap dan perilaku yang tidak terhormat, yaitu sebagai pecundang bangsanya sendiri.

“Indonesia besar dan sudah dewasa. Siapapun yang menjadi pecundang bangsanya sendiri akan diberi hukuman moral oleh rakyat Indonesia. Saya yakin Indonesia membutuhkan generasi terbaik untuk melanjutkan cita-cita proklamasi dan pendiri bangsa. Para generasi muda sebaiknya jangan menjadi generasi cengeng tapi jadilah patriot,” pungkasnya.

(JK/Red)

Opini

Anggaran “Gemuk“, Jalan Rusak Masalah Abadi: Uji Nyali Pemkab Tulungagung di APBD 2026

Published

on

TULUNGAGUNG– Dalam tata kelola daerah, anggaran sering dianggap sebagai cerminan nyata kesejahteraan. Logika awamnya sederhana, semakin “gemuk” Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), semakin makmur dan maju daerah tersebut.

Tren peningkatan APBD Kabupaten Tulungagung dalam tiga tahun terakhir seolah mengonfirmasi logika ini.

Berdasarkan data, APBD naik dari Rp 2,75 triliun (2023), menjadi Rp 2,89 triliun (2024), dan menyentuh Rp 3 triliun pada 2025. Sebuah pertumbuhan yang patut disyukuri.

Namun, pertanyaan kritis yang kemudian mengemuka adalah, di mana wujud nyata kenaikan anggaran ini yang paling signifikan dirasakan oleh masyarakat? Silakan publik yang menilai sendiri kondisi jalan, pendidikan, dan layanan kesehatan di sekitar mereka.

Kini, proyeksi untuk APBD 2026 justru menunjukkan angin segar yang lebih kencang. Analisis terhadap Rancangan APBD (RAPBD) 2026 mengungkap adanya tambahan napas fiskal yang cukup berarti.

Terdapat kenaikan Transfer ke Daerah (TKD) dari pusat sebesar Rp 132,786 miliar. Di tengah kabar pemangkasan anggaran di banyak daerah oleh Menteri Keuangan, kondisi Tulungagung ini bagai oase.

Tidak berhenti di situ, Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga diproyeksikan melonjak signifikan menjadi Rp 819,4 miliar dari sebelumnya Rp 776 miliar.

Secara keseluruhan, terjadi kenaikan anggaran sekitar Rp 230 miliar. Yang menarik, meski Dana Desa (DD) dari pusat dipotong Rp 38,16 miliar, justru ini bisa menjadi berkah terselubung. Selisih ini dapat dialihkan untuk membiayai program prioritas lain yang lebih mendesak.

Perubahan signifikan lain adalah pada alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) spesifik untuk pendidikan yang pada 2026 dianggarkan nol rupiah.

Padahal, di tahun 2025, anggaran ini mencapai Rp 35,61 miliar yang biasa digunakan untuk Bantuan Operasional Sekolah Penyelenggara (BOSP). Hilangnya anggaran ini, jika dikelola dengan transparan, justru dapat menghilangkan indikasi duplikasi anggaran seperti yang kerap terjadi sebelumnya.

Dengan perhitungan sederhana, total tambahan anggaran yang dapat dialokasikan untuk program-program prioritas pada 2026 mencapai kisaran Rp 300 miliar.

Sebuah angka yang, untuk kesekian kalinya, kerap disebut-sebut “cukup untuk memperbaiki semua jalan rusak di Tulungagung.” Namun, klaim ini akan tetap menjadi jargon kosong tanpa komitmen dan perencanaan yang matang.

Pada akhirnya, Pemerintah Daerah memiliki ruang gerak yang lebih longgar dalam RAPBD Penyesuaian sebelum disahkan menjadi APBD 2026. Peluang emas ini tidak boleh disia-siakan.

Di balik angka-angka yang menggembirakan ini, tantangan sesungguhnya justru dimulai. Masyarakat sipil, termasuk LSM dan para pengamat, harus mengerahkan fungsi kontrolnya.

Kita harus bersama-sama mengawal postur anggaran dan memastikan realisasinya tepat sasaran, transparan, dan akuntabel. Pemerintahan Bupati dan Wakil Bupati periode ini tidak boleh terjebak kembali pada permainan “teknis” Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang kerap mengaburkan tujuan pembangunan.

Peningkatan anggaran adalah modal, bukan tujuan. Kesejahteraan sejati rakyat Tulungagung akan diukur dari jalan yang mulus, sekolah yang berkualitas, dan layanan kesehatan yang terjangkau bukan sekadar dari deretan angka triliunan di atas kertas.

APBD 2026 adalah ujian nyali bagi pemerintah untuk membuktikan bahwa mereka mampu mengubah potensi finansial menjadi kesejahteraan yang nyata. (*)

Oleh: Susetyo Nugroho, Pengamat Kebijakan Publik

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Opini

Ketika Dua Rumah yang Berhimpitan Berseteru: Refleksi Sosial tentang Makna Tetangga

Published

on

Jakarta — Sebuah pertunjukan kehidupan sosial yang mengundang perhatian publik terjadi di kawasan Joyogrand, Kota Malang, Jawa Timur. Dua rumah yang berhimpitan, yang dahulu tampak damai dan harmonis, kini justru tampil berseri bukan karena kebaikan, melainkan karena perseteruan yang disiarkan secara terbuka melalui media sosial.

Dalam dua pekan terakhir Oktober 2025 ini, masyarakat disuguhi drama nyata dua keluarga yang berselisih, saling mengungkap versi kebenaran masing-masing di ruang digital.

Sebagian menilai ini tidak elok. Lebih menyedihkan lagi, yang berseteru bukan mereka yang kekurangan, melainkan dua orang yang sama-sama berpendidikan dan hidup dalam kecukupan.

Saya tidak ingin membahas apa pemicu konflik, apalagi menentukan siapa yang benar. Karena bisa jadi secara versi pribadi semua merasa benar.

Namun satu hal yang penting disadari adalah sejatinya mereka adalah satu keluarga, meski rumah berbeda. Dan itu pula hakikat dari tetangga.

Tetangga: Cermin Sosial dan Spiritualitas.

Di balik dinding rumah kita, di balik pagar yang memisahkan halaman, sesungguhnya ada sosok-sosok penting yang Allah hadirkan dalam hidup kita adalah tetangga. Mereka bukan sekadar orang yang tinggal berdekatan, tetapi bisa menjadi sahabat, pengingat, bahkan penolong dalam diam.

Dalam ajaran Islam, dalam budaya Jawa, dan dalam nilai-nilai universal kemanusiaan, tetangga memiliki kedudukan yang sangat mulia.

Rasulullah bahkan menyandingkan perintah memuliakan tetangga dengan perintah menyembah Allah.

Maka jika suatu saat terjadi peristiwa yang mengganggu hati, sabar adalah kuncinya. Kenapa harus sabar?

Karena kita tidak memilih tetangga, tetapi Allah-lah yang memilihkan untuk kita. Dan semua yang Allah pilihkan, pasti mengandung hikmah.

Prinsip Bertetangga dalam Tradisi dan Spiritualitas.

Saya pribadi, sebagai pendatang di lingkungan baru, selalu berupaya menanamkan prinsip bahwa tetangga adalah keluarga besar kita.

Sebagaimana nasihat Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu: “Tetangga itu bukan hanya yang rumahnya berdempetan, tetapi juga yang berada dalam radius 40 rumah dari tempat tinggal kita.”

Artinya, tetangga adalah komunitas kecil yang menjadi cermin akhlak dan karakter kita.

Beberapa prinsip yang saya pegang dalam bertetangga:

1. Pager mangkok lebih kuat dari pager besi yakni berbagi makanan dan kebaikan lebih mempererat hubungan dibanding pagar setinggi apapun.

2. Sapa dengan senyuman bahkan anggukan kecil bisa membuka pintu hati.

3. Menjaga lisan, tidak berkata yang menyakitkan meski akrab.

4. Tolong-menolong dalam kesederhanaan dari meminjam alat hingga menjaga rumah.

5. Menjaga adab dan privasi — tidak membicarakan tetangga di dunia nyata apalagi di media sosial.

6. Menghormati hak tetangga seperti memberi tahu jika ada kegiatan yang bisa mengganggu.

Sabar dan Maaf, Jalan Mulia dalam Konflik.

Saya juga belajar bahwa tidak semua tetangga mudah dipahami. Tapi bukan berarti harus dilawan. Justru ini ladang amal yang luar biasa.

Maka, saya membiasakan diri:
• Mengalah, bukan kalah.
• Menganggap keunikan tetangga sebagai peluang bersabar.
• Memaafkan sebelum diminta.
• Mendoakan diam-diam.
• Menghindari debat yang memicu api.
• Tetap berbuat baik meski tidak dibalas.
• Menjaga silaturahim, karena sowan ke tetangga adalah obat hati.

Tetangga: Investasi Dunia dan Akhirat.

Tetangga adalah keberkahan yang sering terlupakan. Saat darurat, mereka yang pertama hadir. Saat kita sepi, merekalah yang bisa menyapa.

Saya mencatat tiga manfaat besar dari keberadaan tetangga:

1. Keamanan sosial saling menjaga dengan niat baik.
2. Dukungan emosional dalam suka maupun duka.
3. Pendidikan karakter anak lingkungan yang harmonis mencetak generasi yang mulia.

Penutup: Kembalilah pada Hakikat.

Perseteruan dua rumah berhimpitan di Joyogrand seharusnya menyadarkan kita, bahwa tetangga bukan musuh, tetapi amanah sosial dan spiritual. Kita tidak sedang berbicara tentang siapa benar dan siapa salah, tetapi tentang siapa yang ingin menghadirkan ketenangan, bukan kebisingan, kedamaian, bukan perpecahan.

Mari kita rawat relasi dengan tetangga, karena mereka adalah bagian dari takdir sosial kita. Bukan kebetulan, tetapi panggilan ibadah dan akhlak. (DON/Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam.

Continue Reading

Opini

Dua Keluarga Bertetangga Saling Laporkan, Dimana Letak Hati Nurani?

Published

on

Jakarta— Hingga pekan kedua Oktober 2025, publik disuguhi drama hukum yang mempertemukan dua keluarga bertetangga di ranah pidana. Keduanya hidup berdempetan, namun justru saling melaporkan ke polisi.

Dunia maya pun ramai. Para netizen dan penggiat media sosial menjadi saksi bagaimana hubungan antar tetangga bisa memburuk, berubah dari kerukunan menjadi saling serang.

Entah siapa yang puas, jika satu di antara mereka dipenjara. Atau bahkan, bisa jadi keduanya akan berakhir di balik jeruji.

Namun di balik pusaran konflik tersebut, kita patut bertanya lebih dalam, bagaimana kondisi hati mereka?

Dalam kehidupan, kita selalu dihadapkan pada pilihan. Salah satunya adalah jalan tasawuf jalan yang tak hanya menata tubuh lahiriah, tetapi juga jiwa dan ruh.

Jalan ini bukanlah jalan mudah. Menata hati ibarat menaklukkan lautan yang tak pernah tenang. Hati berasal dari kata qalaba yang berarti mudah terbolak-balik.

Ia mudah condong pada hawa nafsu, dan hawa nafsu adalah kegelapan yang menjauhkan manusia dari nur Ilahi.

Banyak yang mampu mengajarkan ilmu tentang ketenangan, kesabaran, dan pencerahan jiwa. Tetapi belum tentu mampu mengaplikasikan semua itu dalam konflik nyata.

Tak heran, di tengah masyarakat yang mengaku religius, masih tampak dendam, takabur, dan keinginan untuk menyakiti sesama. Padahal, prilaku lahiriah adalah cermin dari kondisi hati.

Jika hati bening, maka lahiriah akan memancarkan rahmat. Sebaliknya, jika hati keruh, prilaku pun akan menebar fitnah.

Jika prilaku tidak dijaga, maka hati akan kehilangan kendali. Jasad akan bebas melampiaskan syahwat, jiwa akan menonjolkan ego, dan muncullah keangkuhan. Inilah bibit dari kerusakan sosial. Dari hati yang rusak lahir prilaku menyakiti. Dari prilaku menyakiti, lahir lingkungan penuh konflik.

Solusi atas krisis hati ini bukan sekadar ilmu atau hukum, tetapi dzikir yang menghidupkan hati dan membimbing prilaku.

Dzikir bukan sekadar di lisan, tetapi harus nyata dalam tindakan. Dzikir sejati adalah ketika manusia menjelma menjadi Abdullah, hamba Allah yang menebar kasih, bukan permusuhan.

Bagi para ahli tasawuf, bertetangga bukan soal siapa benar atau siapa salah, tetapi soal siapa yang lebih ingin menghadirkan keberkahan. Mereka tidak sibuk menuntut, tetapi sibuk melayani.

Mereka tidak sibuk menilai, tetapi sibuk mendoakan. Bagi mereka, tetangga adalah ladang amal, bukan ladang konflik.

Karena itu, mari kita ingat: lahiriah adalah cermin hati. Jika cermin itu retak, maka bayangan yang muncul pun menyesatkan.

Maka jagalah prilaku, karena ia adalah jalan menuju keseimbangan batin. Jangan hanya menjadi orang berilmu, tetapi jadilah insan yang menebar kedamaian. Karena ilmu tanpa ketenangan hati hanyalah kilau tanpa cahaya. (DON/Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam

Continue Reading

Trending