Nasional
Spanduk “Aksi Selasa Rakyat”: Suara Diam yang Menggemuruh di Tulungagung
TULUNGAGUNG — Di jantung Kota Tulungagung, tepat di perempatan eks TT jalan Ahmad Yani, yang menjadi titik nol keramaian, sebuah pesan terbentang keras dan jelas.
Sebuah banner putih dengan tulisan hitam “Aksi Selasa Rakyat” bukan sekadar hiasan jalanan.
Itu adalah monumen dari keresahan yang bisu, sebuah manifestasi diam dari rakyat yang mulai lelah berbisik.
Hadirnya spanduk itu, yang ditemukan pada Minggu (31/8), adalah sebuah titik balik.
Setelah gelombang protes merebak di Kediri dan Blitar, Tulungagung kini menunjukkan bahwa denyut nadi ketidakpuasan yang sama berdetak kencang di sini.
Ini bukan aksi massa yang riuh, tetapi sebuah strategi baru, perlawanan melalui simbol.
Sebuah isyarat bahwa suara rakyat tak selalu perlu diteriakkan; kadang, ia hanya perlu dibentangkan dan dibiarkan berbicara sendiri.
Apa yang membuat selembar kain begitu powerfull ? Ia adalah cermin dari kegagalan komunikasi.
Ketika saluran aspirasi formal dianggap mandek, ketika ruang dialog antara rakyat dengan wakilnya di DPRD dan eksekutif daerah dipersepsikan tertutup, maka rakyat akan menciptakan bahasanya sendiri.
Bahasa spanduk. Bahasa yang langsung, tanpa filter, dan terbuka untuk ditafsirkan siapa saja.
Reaksi spontan warga mulai dari berhenti sejenak, memotret, hingga memperbincangkannya, membuktikan bahwa pesan itu tersampaikan.
Ia memantik rasa ingin tahu dan, yang lebih penting, rasa solidaritas.
“Apa yang saya rasakan, ternyata dirasakan oleh orang lain juga.” Inilah yang mengubah ketidakpuasan individu menjadi energi kolektif.
Peringatan dalam bentuk spanduk ini adalah sinyal alarm yang tidak boleh diabaikan oleh para pemangku kebijakan.
Diamnya mereka seperti dilaporkan bahwa belum ada tanggapan resmi justru dapat ditafsirkan sebagai pengabaian lebih lanjut, yang pada gilirannya akan menjadi bensin bagi api yang lebih besar.
“Aksi Selasa Rakyat” bisa jadi adalah janji, sebuah pemberitahuan resmi dari rakyat bahwa panggung suara akan mereka ambil alih.
Pemerintah daerah dan DPRD Tulungagung memiliki dua pilihan, menunggu hingga simbol ini menjelma menjadi aksi massa yang riuh pada hari Selasa yang dimaksud, atau segera turun dari menara gading dan membuka diri untuk mendengar.
Mendengar bukan hanya kata-kata, tetapi juga kesunyian yang berbicara melalui selembar spanduk.
Pada akhirnya, itu adalah sebuah pertanyaan terbuka untuk kita semua, Apakah kita masih percaya bahwa suara kita didengar?
Atau, inilah cara baru untuk memastikan suara itu tidak lagi bisa diabaikan? Tulungagung menunggu jawabannya. (Red)
Oleh: Donny Docken, Pimpinan Redaksi 90detik.com
Editor: Joko Prasetyo