Nasional
Aktivis Gayatri Soroti Ketiadaan Perda dan Kecurigaan pada Oligarki
TULUNGAGUNG – Aksi unjuk rasa Pejuang Gayatri, pada Senin (06/10) di depan Kantor DPRD Tulungagung dan kantor ATR/BPN, menyoroti lahan yang dijadikan pembangunan kuburan elit. Aksi yang dipelopori oleh pejuang Gayatri, berlangsung tegang namun damai.
Konflik ini bermula dari ketiadaan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur secara spesifik tentang kawasan kuburan privat, yang seharusnya merujuk pada PP No. 9 Tahun 1987. Kekosongan hukum ini memicu kebingungan di tingkat aparat.
Dalam orasinya yang blak-blakan di depan Kantor DPRD, yang juga dihadiri oleh Bupati dan Ketua DPRD, aktivis Gayatri menyampaikan sejumlah kritik pedas.
“Kepada siapa lagi rakyat mengadu ketika oknum penguasa anarki?” seru Dardiri.
Ia menegaskan bahwa rakyat memiliki Bupati yang seharusnya membela kepentingan mereka, khususnya warga yang membutuhkan lahan untuk bertani.
Kekacauan informasi semakin tampak saat aksi berlangsung. Salah satu anggota DPRD Tulungagung, Munif, mengklaim bahwa lahan tersebut telah diatur oleh Perda RTRW.
Klaim ini langsung dibantah oleh Marsono, pejabat lain yang menjelaskan bahwa Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) di lokasi sengketa justru diperuntukkan bagi kawasan perkebunan, bukan kuburan.
Menanggapi tensi yang meningkat, Bupati Tulungagung, Gatut Sunu Wibowo, berjanji akan memfasilitasi mediasi antara masyarakat Ngepoh dan PT Sang Lestari Abadi. Kesepakatan awal dicapai bahwa mediasi akan dilaksanakan dalam waktu 14 hari, terhitung sejak 6 Oktober.
Gayatri tidak sungkan menuding para pemimpin setempat yang terkesan membela oligarki. Hal ini menyiratkan ketimpangan dalam pembelaan kepentingan.
Lebih jauh, pihaknya menyoroti merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
“Masyarakat tidak percaya lagi saluran penyelesaian melalui peradilan karena terbukti banyak oknum APH (Aparat Penegak Hukum) tertangkap jual beli pasal dan putusan,” tandasnya.
Menurutnya, rakyat kecil tidak mampu bersaing dalam “pasar” keadilan yang korup.
“Musuh rakyat di pengadilan adalah uang. Sedangkan rakyat tidak memilikinya. Oligarki memiliki kekuatan uang, bukan kebenaran!!” pungkasnya.
Dengan janji mediasi dari Bupati, sorotan kini tertuju pada proses dialog dalam dua pekan ke depan. Masyarakat menunggu tindakan nyata, bukan sekadar janji, untuk menyelesaikan sengketa yang telah menyulut keresahan ini. (DON/Red)
Editor: Joko Prasetyo