Connect with us

Investigasi

Eks Lokalisasi di Tulungagung Menjadi Sorotan, MUI Sebut Pemerintah Pura-Pura Bodoh

Published

on

TULUNGAGUNG,– Dalam nuansa suci Ramadan yang seharusnya dipenuhi dengan ibadah dan introspeksi, Desa Kaliwungu dan Desa Ngujang, Kabupaten Tulungagung, menghadapi kenyataan yang berbanding terbalik.

Eks lokalisasi yang seharusnya sudah tutup sejak tahun 2012 kini justru semakin marak, meskipun pemerintah kabupaten Tulungagung telah resmi menutupnya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tulungagung, KH. Hadi Muhammad Mahfudz, mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menangani permasalahan ini.

“Ini adalah bukti konkrit buruknya tata kelola pemerintahan. Saya tidak tahu apakah mereka hanya berpura-pura bodoh atau benar-benar tidak paham bahwa dua lokalisasi ini dalam status ilegal, namun mereka tetap membiarkannya,” ungkapnya kepada 90detik.com, pada Jumat(7/3).

Ia menegaskan bahwa pihaknya sudah sering mengingatkan pihak berwenang tentang situasi ini.

“Saya heran, hingga kini pihak terkait seperti Satpol PP tidak mengetahui jumlah penghuni lokalisasi itu. Berapa persen yang berasal dari dalam dan luar daerah? Mana datanya?” jelasnya saat mempertanyakan transparansi dan tanggung jawab pemerintah.

Lebih lanjut, KH. Hadi menyampaikan bahwa ia juga pernah mempertanyakan masalah ini dalam forum audiensi resmi dengan Forkopimda.

Ia mengungkapkan kekecewaannya ketika Satpol PP tidak bisa memberikan informasi yang akurat.

“Naif sekali mereka tidak bisa memberi data dengan baik. Ini adalah bukti nyata bahwa pemerintah tidak serius dalam menangani masalah ini,” tegasnya.

Kekhawatiran akan isu ini semakin membingungkan ketika MUI Tulungagung menyinggung kemungkinan adanya kompetisi politik yang mempengaruhi tindakan pemerintah.

“Ataukah ini semua adalah bagian dari agenda politik yang lebih besar? Saya tidak tahu,” tandasnya.

Dengan situasi ini, masyarakat berharap agar pihak berwenang segera mengambil tindakan tegas untuk menuntaskan permasalahan yang mencoreng kesucian bulan Ramadan.

Hingga berita ini ditayangkan, pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung belum memberikan keterangan. (Abd/red)

Editor; JK

Investigasi

Damkar Tulungagung Diduga Jual Beli APAR, Eks Direktur KPK Soroti Potensi Suap dan Penggelapan APBD

Published

on

TULUNGAGUNG, – Kabar mengejutkan muncul dari Tulungagung dalam kasus viral terkait peranan Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Tulungagung yang diduga terlibat dalam praktik jual beli alat pemadam api ringan (APAR) dengan harga selangit.

Sujanarko, Eks Direktur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga sebagai Pemerhati Kebijakan Publik, menegaskan bahwa jika benar berita yang beredar di media, di mana damkar menjual APAR ukuran 3 kg seharga Rp600 ribu dan jauh di atas harga pasaran yang hanya sekitar Rp200 ribu, maka tindakan ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran etik yang serius.

Menurutnya, tindakan itu bukan hanya menandakan adanya konflik kepentingan, tetapi juga melangkahi batasan fungsi utama damkar yang seharusnya tidak terlibat dalam aktivitas dagang.

“Jika dinas damkar memanfaatkan wibawa dan fasilitas pemerintah daerah untuk kegiatan jual beli tersebut, maka seluruh proses itu patut diaudit secara menyeluruh,” tegasnya, kepada 90detik.com, pada Rabu(16/4).

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya transparansi dalam perolehan selisih keuntungan yang didapat oleh dinas damkar.

“Apabila proses jual beli ini memang menggunakan kewenangan atau fasilitas damkar, seharusnya keuntungan tersebut masuk dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jika terbukti ada kerja sama dengan pihak supplier yang melibatkan harga jual, kita harus teliti apakah ini bisa dikategorikan sebagai suap,” ujarnya.

Isu ini menuai pertanyaan dari kalangan masyarakat Tulungagung yang mengharapkan integritas dan kejujuran dari aparatur pemerintah.

Kritikan tajam ini diharapkan dapat mendorong pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan menyeluruh demi menjaga nama baik lembaga serta kepercayaan publik. (DON-red)

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Investigasi

Miris! Oknum Pegawai Dinas Damkar Tulungagung Diduga Terlibat Praktik Gratifikasi dari Penjualan APAR

Published

on

TULUNGAGUNG– Praktik tak terpuji diduga terjadi di Dinas Pemadaman Kebakaran (Damkar) Kabupaten Tulungagung. Seorang oknum pegawai di dinas tersebut terungkap menerima fee atau bonus dari penjualan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) yang ditawarkan oleh toko grosir CV ABELIA APARINDO, mencuatkan isu korupsi di lingkungan pemerintahan lokal.

Pemilik CV ABELIA APARINDO, berinisial JN, mengungkapkan kepada media bahwa fee yang diberikan kepada oknum pegawai Damkar berkisar antara 10% hingga 20% dari harga jual setiap unit APAR.

“Biasanya, dalam satu bulan, Dinas Damkar bisa menjual rata-rata sekitar 10 barang,” ujarnya pada Selasa (15/04).

JN menambahkan, kerjasama ini sudah berjalan selama lima tahun.

“Kerjasama kami dengan Dinas Damkar Tulungagung sudah berjalan 5 tahun”, ungkapnya.

Namun, saat ditanya terkait adanya kontrak resmi, ia menyatakan bahwa tidak ada perjanjian tertulis.

Mereka hanya berkomunikasi secara informal saat pegawai dinas menghubungi untuk pengiriman barang.

“Terkait kerja sama kontrak tidak ada. Kami hanya melayani dari pegawai Dinas Damkar bila dihubungi,” terangnya.

Ketika ditanya, mengenai identitas oknum pegawai yang menerima fee, JN memilih untuk tidak menyebutkan namanya, menjelaskan bahwa pemesanan biasanya dilakukan oleh pegawai yang sedang piket.

Sementara itu, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kabupaten Tulungagung, Hartono, hingga berita ini ditayangkan belum memberikan tanggapan mengenai dasar hukum yang mengatur transaksi jual beli APAR di kantor Dinas setelah dihubungi melalui pesan WhatsApp.

Kasus ini memicu kecemasan masyarakat.

Salah satu warga Sumbergempol berinisial H, yang pernah melakukan transaksi di Dinas Damkar Tulungagung pada 25 Februari 2025, membagikan pengalaman dalam pembelian APAR seharga Rp 600.000 dengan berat 3 kg.

Ia menunjukkan kwitansi sebagai bukti pembelian APAR.

Kasus ini menjadi sorotan publik, menuntut transparansi dan akuntabilitas dari instansi pemerintah.

Tindakan tegas diharapkan untuk meminimalisir praktik korupsi dan menjaga integritas layanan publik di Kabupaten Tulungagung. (DON-red)

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Investigasi

Viral Transaksi ‘Terlarang’ di Damkar Tulungagung: Warga Punya Bukti, Pejabat Ngotot Tak Pernah Jual APAR

Published

on

TULUNGAGUNG, – Kontroversi menghangat seiring dengan dugaan gratifikasi yang melibatkan Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Tulungagung.

Seorang warga Sumbergempol berinisial H mengklaim telah membeli alat pemadam api ringan (APAR) 3 kg di kantor Damkar Tulungagung dengan harga 600 ribu rupiah pada 25 Februari 2025.

Kepala Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Tulungagung, Hartono, dengan tegas menyanggah tudingan tersebut.

Ia menegaskan bahwa tidak ada aturan yang membolehkan pihaknya untuk melakukan penjualan APAR.

“Kami tidak memiliki tugas pokok dan fungsi untuk menjual alat pemadam kebakaran. Masyarakat dapat membeli APAR di berbagai penyedia, termasuk secara online,” jelasnya, kepada 90detik.com, pada Senin (14/4).

Namun, pengakuan H mengundang sorotan tajam dari berbagai pihak.

“Saya memiliki bukti kwitansi pembelian di kantor Damkar. Ini jelas menunjukkan adanya aktivitas penjualan yang tidak seharusnya terjadi, bahkan APAR yang saya beli itu juga masih saya simpan di rumah,” ujarnya.

Ketua PSM Tugu Lawang Nusantara, Oky Anggoro, menganggap tindakan ini serius dan mendesak agar pihak berwenang menyelidiki lebih lanjut.

“Pihak Damkar seharusnya tidak terlibat dalam penjualan APAR. Ini bisa berpotensi masuk dalam dugaan gratifikasi,” tegasnya.

Kasus ini telah mengundang perhatian publik dan memunculkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan integritas di institusi pemerintah.

“Jika kesepakatan tersebut tidak transparan dan tidak diketahui oleh bupati, maka ada risiko bahwa kesepakatan tersebut dapat dianggap sebagai gratifikasi atau penyalahgunaan wewenang. Jika Kepala Dinas Pemadam Kebakaran (Kadin Damkar) melakukan kesepakatan tanpa pengetahuan bupati, maka itu dapat dianggap sebagai pelanggaran kode etik dan dapat merusak kepercayaan masyarakat,” tambahnya.

Ia pun menekankan pentingnya penyelidikan untuk menentukan apakah ini hanya sekadar kesalahan administratif atau ada praktik yang lebih dalam yang perlu diusut.

“Kita perlu memastikan bahwa institusi pemerintah tetap bersih dan dapat dipercaya oleh masyarakat,” pungkasnya. (DON-red)

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Trending