Opini
Menjadi Penyejuk di Tengah Fitnah
Jakarta— Fitnah merupakan gelombang. Ia bisa menenggelamkan jiwa, menghancurkan reputasi, dan memecah keharmonisan. Namun, bagi mereka yang berjalan di jalur kebenaran, fitnah justru bisa menjadi ujian yang mengangkat derajat.
Ia datang bukan sekadar untuk menguji kesabaran, tetapi untuk menyingkap ketulusan. Maka pertanyaannya, apakah kita akan menjadi bara yang membakar, atau rahmat yang menyejukkan?
Zaman Fitnah dan Media Sosial.
Di era digital, fitnah tak lagi berbisik di lorong-lorong sempit. Ia berteriak di layar-layar publik. Baru-baru ini, viral di media sosial seorang dosen PTN yang dikenal baik, terlihat menjatuhkan diri di tanah. Narasi yang dibangun: “sedang gulung-gulung di tanah.” Tanpa tabayun, netizen menghakimi. Tanpa klarifikasi, mereka menghujat. Padahal, peristiwa itu berakar dari ketidaknyamanan dan ketidakharmonisan dengan tetangga. Tapi dunia maya tak menunggu penjelasan. Ia menuntut sensasi. Terpenting viral. Tidak pernah takut bahaya ghibah.
Inilah zaman fitnah. Zaman di mana kebenaran dikalahkan oleh kecepatan opini. Kecepatan jempol berselayaran. Keberanian berteriak lantang. Tanpa takut dosa.
Saya Tabayun: Mengenal Sosok Kyai Min.
Saya tidak kenal warga Joyogrand Malang yang sedang dibahas netizen. Tidak pernah bertemu. Juga tidak pernah membaca tulisannya atau karyanya. Tapi saya belajar dari kaidah, jika datang berita dari orang fasik, maka tabayunlah. Saya pun bertanya kepada rekan-rekan di Malang.
Nama yang sedang viral adalah Muhammad Imam Muslimin, atau akrab disapa Kyai Min. Seorang dosen yang disiplin, pengajar ilmu tasawuf, penghafal Al-Qur’an, dan imam sholat di lingkungan masyarakat. Ia bukan sosok tertutup. Ia santun, sering mengalah, dan tidak membalas dengan amarah. Ia hidup dalam ketulusan.
Saya bertanya, “Apakah karena nama yang indah itu, media menghujat tanpa tabayun?” Jawaban rekan saya, Mas Choiron, menegaskan: Kyai Min adalah sosok yang bermasyarakat, rajin sholat, dan sering memberi tausiyah.
Menjadi Penyejuk di Tengah Luka.
Kyai Min sedang menapaki jalan ujian. Ia tidak membalas fitnah dengan kemarahan. Ia memilih menjadi penyejuk. Memang sulit menjadi penyejuk saat disakiti. Tapi itulah jalan para pembawa risalah. Jalan orang-orang yang diberi amanah ilmu.
Di zaman fitnah, membela diri di medsos bukanlah solusi. Yang lebih utama adalah berdoa. Mendoakan tetangga, RT, RW, dan lingkungan yang termakan fitnah. Karena rahmat tidak lahir dari debat, tapi dari ketulusan.
Bara atau Penyejuk: Kita yang Memilih.
Ketika fitnah datang, kita punya pilihan. Menjadi bara yang membakar, atau rahmat yang menyembuhkan. Kyai Min memilih menjadi rahmat. Ia tidak sibuk membalas. Ia sibuk menenangkan. Ia tidak sibuk menjelaskan. Ia sibuk mendoakan.
Dan semoga kita pun belajar darinya. Bahwa di tengah gelombang fitnah, menjadi rahmat adalah pilihan yang paling mulia.
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Sekretaris PW IPHI Jawa Timur.