Opini

Merayakan Maulid: Jika Abu Lahab Saja Diberi Keringanan, Bagaimana dengan Kita yang Merayakannya dengan Cinta?

Published

on

Jawa Timur— Saya tidak tahu apakah Abu Lahab pernah tersenyum dalam hidupnya. Namun, saya pernah membaca sebuah riwayat bahwa ia tersenyum bahagia pada hari kelahiran keponakannya, manusia paling mulia: Sayyidina Muhammad bin Abdullah.

Riwayat ini, yang jika saya tidak salah berasal dari Imam al-Bukhari, menyebut bahwa ekspresi bahagia Abu Lahab tersebut yang diwujudkan dengan memerdekakan budaknya, Tsuwaibah, sebagai ungkapan syukur mendatangkan satu bentuk keringanan baginya.

Di neraka, tempat ia kelak disiksa, ia mendapat setetes air setiap hari Senin. Hanya karena ia gembira saat Nabi Muhammad lahir.

Bayangkan. Abu Lahab, yang dengan terang-terangan memusuhi dakwah Rasulullah, tetap mendapatkan ganjaran ringan atas kebahagiaannya menyambut kelahiran Nabi. Lalu, bagaimana dengan kita?

Umat Islam yang merayakan Maulid Nabi dengan cinta, dengan shalawat, dengan ilmu, dan dengan hati yang bersyukur?

Kini Rabiul Awal kembali hadir. Bulan kelahiran manusia paling sempurna. Bulan yang membuat langit dan bumi damai, yang membuat para malaikat turun membawa kabar gembira.

Bulan yang menjadi alasan berkumpulnya umat Islam di seluruh dunia dari kampung kecil hingga masjid-masjid besar untuk bershalawat, berbagi makanan, dan menimba ilmu.

Allah sendiri, dalam Al-Ahzab ayat 56, menegaskan:

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”

Jadi ketika ada yang bertanya, “Mengapa Maulid dirayakan?” Jawabannya sederhana: karena kita cinta. Karena kita bahagia.

Karena Rasulullah sendiri pun memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa setiap hari Senin, sebagai bentuk syukur.

Saya teringat dawuh dari Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, ulama besar dari Mekkah. Beliau mengatakan bahwa merayakan Maulid pasti membawa manfaat. Dunia dan akhirat.

Karena Maulid adalah ekspresi mahabbah cinta. Dan cinta tak bisa dipaksakan. Ia tumbuh dari hati yang mengenal dan menyayangi.

Tentu, ada sebagian yang menyebut Maulid sebagai bid’ah. Tapi para ulama bijak menjawabnya dengan konsep bid’ah hasanah amal baru yang tidak bertentangan dengan syariat dan membawa kebaikan. Bahkan sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud RA, pernah berkata:

“Apa yang dilihat umat Islam sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut baik di sisi Allah. Dan apa yang dilihat umat Islam sebagai perkara yang buruk, maka perkara tersebut buruk di sisi Allah.”

Tulisan ini saya buat sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, dan juga ajakan kepada saudara-saudaraku: monggo maulidan.

Mari rayakan Maulid dengan cara yang sesuai kemampuan kita. Dengan shalawat. Dengan pengajian. Dengan berbagi makanan. Dengan menyebar ilmu dan rasa syukur.

Karena Maulid bukan sekadar peringatan. Ia adalah pernyataan cinta. Cinta yang menumbuhkan harapan untuk mendapat syafaat dari manusia paling penyayang: Rasulullah Muhammad.

Dan jika Abu Lahab saja mendapat setetes air di neraka karena Maulid, maka sungguh besar harapan kita yang merayakannya dengan iman. (Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan
Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Sosial Bani Kyai Tasir Mayong

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version