Jakarta

PBNU Memanas: Gus Yahya Dinonaktifkan, Isu Tambang Batubara dan Konflik Internal Guncang Organisasi Terbesar NU

Published

on

Jakarta— Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tengah menghadapi gejolak internal yang kembali menyita perhatian publik nasional.

Keputusan Rais Syuriyah PBNU untuk memberhentikan Ketua Umum Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya memicu perdebatan sengit di kalangan Nahdliyin dan elite organisasi.

Bagi sebagian pihak, langkah ini merupakan bentuk koreksi struktural, namun bagi yang lain justru menimbulkan kekhawatiran atas stabilitas organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.

Menanggapi pemberhentian dirinya, Gus Yahya dengan tegas menyatakan bahwa keputusan itu tidak sah secara konstitusional.

Ia menilai penyelesaiannya harus kembali pada mekanisme tertinggi organisasi.

“Tidak ada jalan keluar selain mari kita bersama-sama menyelenggarakan muktamar. Jadwalnya tidak lama,” ujarnya dalam pernyataan resmi di Kantor PBNU Jakarta, 28 November.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menolak wacana yang menempatkan dirinya sebagai Penjabat Ketua Umum.

Ia menegaskan bahwa seluruh kewenangan berada di tangan Syuriyah sebagai otoritas tertinggi.

“Kita ikuti saja dinamikanya. Ada mekanisme untuk menyelesaikan itu,” kata Gus Ipul, yang juga tengah menjabat sebagai Menteri Sosial.

Konflik yang terjadi tidak hanya terkait persoalan kepemimpinan, tetapi juga dikaitkan dengan isu ekonomi.

Ketua Badan Anggaran DPR RI sekaligus tokoh NU, Said Abdullah, menyebut bahwa perseteruan internal tersebut diduga turut dipicu oleh perebutan kepentingan terkait pengelolaan tambang batu bara.

“Konflik itu menjadi berita terbuka di mana-mana, disertai saling pecat-memecat. Suatu perkara duniawi yang sesungguhnya kecil sekali derajatnya untuk dijadikan sumber perpecahan,” ujarnya dengan nada kritik.

Di tengah memanasnya situasi, PBNU juga memutuskan memberhentikan penasihat khusus bidang internasional, Charles Holland, yang disebut-sebut memiliki hubungan dengan Israel.

Keputusan ini diambil untuk menjaga sensitivitas politik luar negeri PBNU, terutama dalam isu Palestina yang sangat penting bagi umat Islam Indonesia.

Respons masyarakat terhadap konflik ini pun beragam. Sebagian warga Nahdliyin menganggap dinamika tersebut sebagai hal wajar dalam organisasi besar.

Namun tidak sedikit pula yang menilai perpecahan ini dapat mengurangi peran PBNU sebagai penyangga moral bangsa.

Di tingkat daerah, PBNU dipandang bukan hanya sebagai organisasi keagamaan, tetapi juga mitra sosial yang banyak membantu pendidikan, pemberdayaan, dan ekonomi masyarakat.

Kekisruhan di pusat dikhawatirkan dapat mengurangi energi organisasi dalam menjalankan program-program tersebut.

PBNU kini berada pada titik krusial. Organisasi ini dituntut mampu mengelola dinamika internal secara dewasa, menjaga khidmah, serta memperkuat peran sosialnya di tengah masyarakat.

Transformasi organisasi yang digagas Gus Yahya mulai dari rotasi jabatan hingga adaptasi terhadap perubahan zaman menjadi ujian besar apakah PBNU dapat mempertahankan kepercayaan publik dan tetap menjadi rumah besar umat. (Abd/Red)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version