Nasional

Renungan di Balik Kasus Keracunan MBG Tulungagung: Sebuah Panggilan untuk Evaluasi dan Perbaikan

Published

on

TULUNGAGUNG — Sore itu langit tampak redup. Di tengah suasana penuh keberkahan dalam acara spesial lunch bersama Guru Mulia, Habib Umar Bin Hafidz di Hotel Syariah Surakarta, Senin (13/10/2025), sebuah pesan singkat masuk ke WhatsApp saya.

“Kyai, ada keracunan di salah satu penerima manfaat MBG,” tulisnya.

“Kayaknya itu ada menu ayam yang disajikan,” jawab saya.

“Saya belum tahu menu apa?” katanya.

“Biasanya olahan dari ayam yang menjadi faktor utama,” lanjut saya.

“Belum tahu. Belum dapat info detail,” ia menimpali lagi.

“Coba dicek. Kayaknya faktor ayam. Menunya berbasis ayam,” pintaku.

Pesan itu mengagetkan saya. Di balik semangat khidmat dan perjuangan menyelenggarakan Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak-anak sekolah, kabar tentang keracunan di Kabupaten Tulungagung ini menjadi awan kelabu pertama yang mencoreng catatan mulus program tersebut.

Sebagai bagian dari penggiat dan pembina di bidang pelayanan gizi, saya memaknai MBG bukan hanya program teknis, melainkan sebuah amanah besar.

Maka setiap insiden, seperti kasus keracunan ini, bukan sekadar masalah medis atau logistik, tapi ajakan untuk muhasabah (introspeksi) secara kolektif.

Saya membayangkan betapa sedihnya para orang tua, para guru, Kasatpel SPPG, para ahli gizi, dan relawan di lapangan.

Bahkan mungkin mitra dari Badan Gizi Nasional (BGN) pun turut merasakan duka yang sama. Namun inilah momen yang seharusnya dimanfaatkan untuk membuka diri terhadap evaluasi, bukan mencari kambing hitam.

Sumber Masalah: Di Mana Letaknya?

Keracunan pangan dalam konteks MBG bisa terjadi karena beberapa celah krusial:

1. Daging ayam sebagai titik rawan. Ayam potong sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri, terutama jika berasal dari pemotongan tradisional yang belum menerapkan standar higienitas tinggi. Jeda waktu antara pemotongan, pengiriman, hingga pengolahan juga kerap menjadi titik lemah. Jika relawan di dapur SPPG tidak cukup terlatih, maka risiko meningkat tajam.

2. Penerapan SOP di dapur yang belum optimal. Proses pencucian bahan, penyimpanan, hingga suhu pemasakan yang tidak mencapai standar aman (minimal 80°C) bisa memicu risiko keracunan. Kelelahan, kurangnya pelatihan, atau beban kerja relawan yang tinggi bisa memperburuk situasi.

3. Kualitas suplayer ayam yang belum terverifikasi. Ada kemungkinan bahwa pemasok ayam dalam kasus ini bukan pihak profesional, melainkan suplayer dadakan yang belum memiliki pengalaman, apalagi sertifikasi halal atau keamanan pangan. Ini menjadi catatan penting bagi BGN dan mitra penyelenggara program.

Saya percaya bahwa setiap ujian mengandung hikmah besar. Maka dalam situasi seperti ini, saya memberikan beberapa saran sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab moral:

1. Tanggap cepat dan profesional. Segera tangani anak-anak yang terdampak dengan penuh kasih sayang dan standar medis yang memadai.
2. Jangan saling menyalahkan.
Ini adalah tanggung jawab kolektif. Fokus pada solusi, bukan mencari siapa yang bersalah.
3. Lakukan investigasi menyeluruh. Perlu ada audit menyeluruh terhadap sistem, terutama di titik-titik rawan seperti pengadaan bahan baku, penerimaan pasokan, hingga pengolahan di dapur.
4. Perkuat pelatihan dan pembinaan relawan.

Relawan di dapur SPPG harus dibekali:
• Skill pengolahan bahan makanan secara higienis.
• Kemampuan menolak bahan baku yang tidak sesuai standar.
• Semangat spiritual dan doa dalam setiap proses pelayanan makanan.

Saya percaya, jika para relawan dan Kasatpel SPPG didampingi dengan baik, mereka akan bangkit lebih kuat. Tidak perlu larut dalam kesedihan, karena ini bukan akhir dari perjalanan MBG.

Di tengah majlis bersama Habib Umar Bin Hafidz, saya memanjatkan doa:

بسْمِ اللَّهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dengan nama Allah, yang dengan menyebut nama-Nya, tidak ada sesuatu pun yang dapat membahayakan di bumi maupun di langit. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Semoga kejadian ini menjadi titik balik untuk penguatan sistem MBG, agar ke depan pelayanan gizi bagi anak-anak lebih baik, lebih aman, dan tetap berpijak pada semangat tulus ikhlas melayani generasi masa depan bangsa. (DON/Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam

Editor: Joko Prasetyo

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version