Jakarta
Drama Pewayangan Nusantara yang Berulang: Megawati, Said Abdullah, dan Siasat Sang Penguasa
Jakarta— Di panggung besar politik Indonesia tempat cahaya kekuasaan menari bersama bayang-bayang sejarah nama Megawati Soekarnoputri kembali mengguncang gelanggang.
Di tengah guncangan internal PDI Perjuangan pasca kekalahan pemilu, Megawati tampil sebagai sosok yang menatap jauh ke lorong sejarah, ke ruang tempat gema leluhur dan siasat para raja silam masih berbisik.
Dalam langkah para elite yang sunyi, bayangan Majapahit seakan bangkit lagi. Tujuh abad silam, ketika Singhasari runtuh dan pasukan Mongol mengancam Jawa, Raden Wijaya tidak berlari ke pusat kekuasaan. Ia justru bergerak ke timur, ke tanah Madura wilayah yang sejak dahulu memegang teguh kesetiaan.
Di sanalah Arya Wiraraja, penguasa Madura yang berwibawa, membuka perlindungan dan menawarkan strategi. Dari aliansi itulah:
- siaga melawan Mongol tersusun matang,
- kekacauan dapat dipatahkan,
- dan Majapahit bangkit menjadi imperium terbesar Nusantara.
Sejarah pun mencatat satu pesan penting: kekuatan yang kerap dianggap pinggiran justru sering menjadi fondasi kebangkitan.
Kini, babak serupa seolah kembali berulang. PDI Perjuangan merosot pamornya; barisan internal merenggang; elite mudanya saling mencurigai; dan struktur partai berguncang diterpa arus perubahan.
Dalam gemuruh ketidakpastian itu, Megawati menoleh pada figur yang selama ini jarang berdiri di garis depan panggung nasional, namun pengaruhnya di akar rumput tak pernah diragukan: Said Abdullah.
Said bukan sekadar kader senior. Ia adalah:
- penjaga jaringan politik Jawa Timur–Madura,
- figur yang dekat dengan kiai, tokoh adat, dan masyarakat bawah,
- organisator yang mampu menggerakkan massa secara solid,
- serta sosok yang tak pernah bersinggungan konflik dengan keluarga inti PDI Perjuangan.
Dalam bahasa pewayangan, Said bukan ksatria yang mengayun senjata di tengah gelanggang, melainkan senopati penjaga gerbang kerajaan pilar yang tetap kokoh ketika istana retak dari dalam.
Siasat sejarah memang tak pernah mati. Ketika pusat kekuasaan melemah, Raden Wijaya membangun kekuatan dari timur.
Ketika Majapahit terancam, keputusan menggandeng Madura justru menjadi titik awal kejayaan baru.
Hari ini, Megawati seakan mengikuti pola yang sama: menguatkan poros timur sebagai sandaran kebangkitan.
Madura hadir kembali, bukan sebatas wilayah, tetapi sebagai simbol kesetiaan politik tanah yang dalam lintasan sejarah berkali-kali menjadi tempat kerajaan bangkit dari keterpurukan.
Sejarah adalah gamelan yang dentingnya tak pernah padam. Maka keputusan Megawati merapatkan langkah kepada Said Abdullah membentuk pertalian dua lakon:
- ratu tua penjaga warisan, dan
- senopati timur pemikul kesetiaan.
Pewayangan Nusantara berpesan:
- Saat istana retak, carilah pilar dari tanah yang tak mengenal pengkhianatan.
- Saat para pewaris saling berebut mahkota, sandarkan diri pada sosok yang tetap teguh.
- Saat masa depan gelap, dengarkan kembali mantra siasat para leluhur.
Dan di situlah sejarah berputar, lakon kembali menyatu: Megawati dan Said Abdullah, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja. Dua zaman, dua tokoh, satu pola agung: siasat tak pernah mati. (By/Red)
Oleh: Suga Ayip JBT Kriwul, Pengamat Budaya Politik Nusantara