Nasional
Enam Warga Gugat UU Minerba: Negara Dinilai Lepas Tangan atas Sumber Daya Alam
JAKARTA — Sejumlah warga negara Indonesia resmi mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), sebagaimana telah diubah terakhir melalui UU Nomor 2 Tahun 2025.
Gugatan ini diajukan karena dinilai telah menggerus kedaulatan negara atas sumber daya alam.
Sidang perdana perkara Nomor 184/PUU-XXIII/2025 digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (20/10/2025), dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat bersama Enny Nurbaningsih dan Arsul Sani.
Enam pemohon, yaitu Wahyu Ilham Pranoto, Muhammad Faza Aulya’urrahman, Fauzan Akbar Mulyasyah, Yudi Amsoni, Nasidi, dan Sharon, menyatakan bahwa negara telah berubah dari pengelola menjadi penonton dalam urusan tambang nasional.
“UU Minerba menjadikan negara hanya sebagai penerima royalti, bukan pengelola sumber daya,” ujar kuasa hukum pemohon, Aristo Pangaribuan.
Dirinya menyebut pendapatan negara dari sektor ini tak pernah menyentuh 20 persen dari keuntungan korporasi tambang.
Salah satu pasal yang dipermasalahkan adalah Pasal 92, yang dinilai menjadikan hasil tambang seolah sepenuhnya milik pemegang izin usaha tambang (IUP/IUPK).
Pemohon juga menyoroti Pasal 51A dan 60A yang memungkinkan perguruan tinggi turut mengelola tambang, sesuatu yang dianggap dapat menciptakan konflik kepentingan dan merusak independensi akademik.
Lebih lanjut, pemohon menilai pelimpahan banyak kewenangan strategis ke tingkat Peraturan Pemerintah (PP) berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengaburkan tanggung jawab negara.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK membatalkan sejumlah pasal, termasuk Pasal 35, 39, 79, 92, 105 ayat (3), 128 ayat (4) dan (5), 129, 130, 132, 51A, 60A, dan 60B. Mereka juga mendesak agar mekanisme perizinan tambang melibatkan masyarakat lokal, menjamin keberlanjutan lingkungan, serta mengakui hak-hak masyarakat adat.
“Pasal 33 UUD 1945 bukan sekadar hiasan. Jika negara menyerahkan tambang ke pasar, maka rakyat hanya menjadi penonton di atas tanah mereka sendiri,” tegas Aristo.
Menanggapi hal ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta pemohon menjelaskan kerugian konstitusional secara lebih rinci.
“Permohonan ini tidak boleh hanya menyampaikan ketidaksetujuan terhadap kebijakan yang berlaku,” ujarnya.
MK memberikan waktu hingga 3 November 2025 untuk perbaikan permohonan.
Gugatan ini membuka kembali diskusi mengenai arah kebijakan energi nasional antara mempertahankan kedaulatan sumber daya alam, atau terus mendorong liberalisasi sektor tambang atas nama investasi. (By/Red)