Opini
Fredi Moses: Korupsi Sejati Berada di Jantung Kekuasaan

JAKARTA — Setiap kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT), publik selalu disuguhkan pemandangan serupa, wajah-wajah anggota DPR atau DPRD yang diciduk bersama amplop tebal di meja makan hotel atau ruang kerja mereka.
Gambaran ini secara tidak langsung membentuk persepsi seolah-olah korupsi hanya bercokol di lembaga legislatif.
Namun, pengurus KNPI sekaligus alumni GMNI, Fredi Moses Ulemlem, menilai bahwa narasi tersebut hanyalah “panggung wayang” yang justru menutupi akar korupsi sesungguhnya, yakni yang bersemayam di tubuh eksekutif dan yudikatif.
“Kalau cuma DPR yang dijadikan kambing hitam, pemberantasan korupsi tak lebih dari ritual bulanan. Padahal, mafia besar justru bersarang di eksekutif yang menguasai APBN, dan yudikatif yang mengendalikan palu hukum. Itulah sarang sesungguhnya yang dibiarkan,” ujar Fredi dalam wawancara di Palangka Raya, Rabu (27/8).
Fredi menjelaskan bahwa korupsi di eksekutif tak tampak mencolok seperti transaksi di parkiran, namun justru lebih canggih dan terselubung. Lewat jaringan birokrasi yang kompleks, mereka mengendalikan proyek-proyek raksasa, dana bantuan sosial, hingga belanja pertahanan bernilai triliunan rupiah.
“Skemanya disamarkan lewat kebijakan, mark-up proyek, hingga regulasi yang dibuat khusus untuk menguntungkan kelompok tertentu. Kerugian negara yang ditimbulkan jauh lebih besar dari kasus amplop di hotel,” tegasnya.
Tak hanya itu, mafia hukum pun menurutnya telah mengakar dalam lembaga yudikatif.
Meski sulit dibuktikan secara kasat mata, praktik suap dan jual beli perkara tetap berlangsung di balik toga hakim.
“Kalau legislatif bisa ditangkap tangan, yudikatif lebih licin. Uangnya tidak berpindah tangan secara vulgar, tapi lewat jaringan advokat, makelar kasus, hingga pejabat pengadilan. Itulah mengapa yudikatif kerap lolos dari sorotan tajam publik,” ungkapnya.
Fredi juga merujuk kajian Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM tahun 2023, yang menyebut bahwa kerugian negara akibat mafia eksekutif dan yudikatif jauh lebih besar dibandingkan dengan yang ditimbulkan legislatif.
Sementara data ICW tahun 2022 menunjukkan bahwa DPR/DPRD memang menyumbang sekitar 24% kasus korupsi nasional, tetapi modus di eksekutif dan yudikatif jauh lebih sistemik dan sulit dibongkar.
Dalam situasi inilah, Fredi mengingatkan kembali pesan Bung Karno:
“Politik yang tidak berakar pada rakyat hanyalah politik kaum elite yang pada akhirnya akan menghianati revolusi”, pesanya.
Bagi Fredi, kutipan tersebut adalah alarm keras. Ia menilai bahwa apabila eksekutif makin rakus kekuasaan dan yudikatif terus memperdagangkan hukum, maka demokrasi akan kehilangan maknanya, dan rakyat hanya menjadi penonton dari pertunjukan kekuasaan yang korup.
“Demokrasi kita tinggal nama. Yang berjalan adalah mafia hukum dan mafia anggaran. Rakyat dibiarkan lapar, tapi negara terus diperas dari dalam,” tuturnya.
Menutup pernyataannya, Fredi mendesak agar KPK dan seluruh elemen penegak hukum tidak berhenti hanya menargetkan legislatif, tetapi harus berani menyasar jantung kekuasaan, yakni eksekutif dan yudikatif.
“Kalau KPK tidak berani masuk ke ruang-ruang gelap itu, pemberantasan korupsi akan jadi panggung setingan. Sementara bangsa ini terus digerogoti dari dalam,” pungkasnya.
DATA & DASAR HUKUM:
• UU No. 28 Tahun 1999 – Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
• UU No. 30 Tahun 2002 jo. UU No. 19 Tahun 2019 – Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
• UU No. 14 Tahun 2008 – Tentang Keterbukaan Informasi Publik.
• Data ICW 2022 – DPR/DPRD menyumbang ±24% dari total kasus korupsi nasional.
• Kajian PUKAT UGM 2023 – Korupsi di sektor eksekutif dan yudikatif bersifat sistemik, dengan kerugian yang lebih besar dan sulit dibongkar. (By/Red)
Opini
Abu Grahadi, Ramalan Jayabaya, dan Jejak Prabu Siliwangi: Fredi Moses Lihat Api Rakyat Tak Bisa Memusnahkan Pemimpin Tulus

Surabaya— Malam itu, langit Surabaya memerah. Gedung Negara Grahadi dilalap si jago merah dalam kobaran api yang menembus atap dan meruntuhkan dinding-dinding bersejarah.
Sirene meraung, kepanikan membuncah, dan warga berkumpul menyaksikan bagaimana simbol kekuasaan itu perlahan menjadi abu.
Namun di tengah kepungan bara dan asap pekat, muncul satu pemandangan ganjil yang membuat bulu kuduk banyak orang merinding: lukisan Pakde Karwo, mantan Gubernur Jawa Timur, berdiri utuh tanpa tersentuh sedikit pun oleh api.
Seorang relawan pemadam kebakaran mengaku menyaksikan kilatan cahaya aneh sebelum menemukan lukisan itu dalam keadaan utuh. “Bagaimana mungkin kain kanvas tidak terbakar, padahal lemari besi saja meleleh?” ujarnya dengan nada tak percaya.
Fenomena ini segera memantik beragam tafsir, baik dari kalangan spiritual, adat, maupun masyarakat umum. Dari Jawa hingga Sumatera, dari Bugis hingga Bali, tafsir bermunculan bak percikan api yang tak bisa dipadamkan.
Dalam tradisi Jawa, dikenal pepatah: “geni mung ngobong sing reged” api hanya membakar yang kotor.
Maka, selamatnya lukisan itu diyakini sebagai tanda bahwa semesta masih merestui sosok tersebut.
Tafsir ini menyiratkan bahwa roh kepemimpinan yang tulus dan bersih tak bisa dimusnahkan.
Di Bali, api adalah penyuci. Sesuatu yang lolos dari api dianggap sudah melewati ujian suci. Di Bugis, kisah tentang benda pusaka yang tak mempan api merupakan tanda hadirnya leluhur.
Di Sunda, pitutur Prabu Siliwangi mengisahkan raja besar yang “ngahiang” tanpa bekas tidak bisa dibakar, tidak bisa dikubur.
Banten memiliki kisah para ulama yang kitab dan mukenanya tetap utuh meski rumah terbakar.
Minangkabau pun punya petuah adat: “Nan sabana murni, indak kaabu dek api” yang benar-benar murni, tak jadi abu oleh api.
Serat Jayabaya, naskah kuno yang sering dikaitkan dengan ramalan masa depan Jawa, menyebut bahwa dalam masa gonjang-ganjing negeri, akan muncul “isyarat dari api”: sesuatu yang tak terbakar sebagai pertanda bahwa roh penjaga tanah Jawa masih berjaga.
Apakah ini saatnya? Abu Grahadi menyisakan satu simbol yang tak tersentuh: lukisan seorang pemimpin yang dikenal dekat dengan rakyatnya.
Dari kalangan muda, suara reflektif datang dari Fredi Moses Ulemlem, tokoh muda marhaenis dan pengamat sosial-politik.
Ia memandang fenomena ini bukan sekadar mistis, tapi sebagai pesan zaman.
“Lukisan yang selamat dari api bukan cuma keanehan, tapi simbol bahwa rakyat masih menyimpan memori kolektif tentang pemimpin yang tulus. Api baik api amarah maupun api kebencian tak bisa memusnahkan kepemimpinan yang lahir dari niat baik dan kerja nyata. Yang terbakar adalah simbol kekuasaan kosong, bukan jiwa pengabdian.”
Fredi bahkan mengaitkan fenomena ini dengan pesan abadi Bung Karno:
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.”
Menurutnya, Grahadi bisa hancur, tapi jiwa kepemimpinan yang berpihak pada wong cilik tak akan pernah musnah.
Kini, peristiwa ini ramai diperbincangkan di berbagai sudut Nusantara. Ada yang melihatnya sebagai kebetulan, ada pula yang menganggapnya sebagai wahyu zaman.
Tapi yang pasti, dari puing-puing Grahadi, sebuah cerita baru lahir: tentang jiwa kepemimpinan yang tak bisa dilalap api.
Apakah ini isyarat untuk generasi pemimpin ke depan? Atau peringatan bahwa hanya ketulusan yang akan dikenang dan dilindungi semesta?
Yang jelas, api telah berbicara dan rakyat, pelan-pelan, mulai mendengar. (By/DON)
Opini
Isu Ompreng Terkontaminasi Babi di Program MBG BGN, Perlu Tabayyun Bukan Provokasi

Jakarta— Media sosial kembali dihebohkan dengan isu sensitif: ompreng (nampan makan) dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) milik Badan Gizi Nasional (BGN) disebut-sebut terkontaminasi babi.
Sebuah laporan menyebut bahwa alat makan yang digunakan dalam program tersebut mengandung unsur non-halal.
Sebuah kabar yang tentu langsung menyentuh syaraf keimanan umat Islam di negeri ini.
Saya menulis bukan sebagai ahli proses produksi, tapi sebagai seorang yang sejak era 90-an telah berkampanye tentang makanan halal thayyibah.
Isu makanan terlebih berkaitan dengan babi adalah persoalan syariat, bukan sekadar isu teknis atau selera.
Maka, saya merasa perlu memberikan catatan agar kita semua tetap berakal sehat dan bersikap bijak.
Dari Pesan WhatsApp ke Alarm Umat.
Pagi itu saya menerima pesan dari seorang ibu pemilik sekolah. Isinya singkat namun mengejutkan:
“Ompreng makan MBG BGN mengandung babi.” ungkapnya.
Saya diam. Lalu bertanya, “Sudah tabayyun?”
Beliau menjawab: belum.
Inilah masalahnya. Kita cenderung cepat menyimpulkan sebelum memverifikasi. Padahal dalam Islam, tabayyun (klarifikasi) adalah prinsip dasar sebelum menyebarkan kabar, apalagi yang menyangkut hal krusial seperti makanan haram.
Beberapa Kemungkinan Kontaminasi.
Saya menelusuri. Saya hubungi salah satu penjual ompreng yang sempat menawarkan produk sesuai standar BGN: berbahan stainless 304, tinggi enam sentimeter.
“Semua aman. Kami tidak tanya ke pabrik soal prosesnya. Kami jual sesuai permintaan spesifikasi BGN,” terangnya.
Dari informasi yang beredar dan hasil penelusuran, setidaknya ada empat kemungkinan mengapa alat makan bisa terkontaminasi babi:
1. Pernah digunakan untuk menyajikan daging babi biasanya terjadi jika tray bekas pakai dari luar negeri.
2. Dicuci bersama alat non-halal, pencucian campur tanpa penyucian sesuai fiqih (7x dengan air dan tanah) bisa menyebabkan najis.
3. Penggunaan bergantian, tray dipakai bersama untuk makanan halal dan non-halal tanpa pemisahan.
4. Proses produksi kemungkinan paling relevan. Beberapa pabrik menggunakan minyak babi sebagai pelumas atau bahan finishing stainless. Inilah yang perlu diselidiki lebih lanjut.
Menghindari Reaksi Emosional.
Tentu saja, jika benar ada kontaminasi, ini sangat memprihatinkan.
Tapi yang lebih penting adalah cara kita menyikapi. Jangan buru-buru marah. Jangan langsung memviralkan. Jangan memancing kegaduhan. Apalagi jika berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan politik atau memecah belah umat.
Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Tapi saya mengoreksi diri sendiri:
“Mengapa saat belanja ompreng belum seteliti ini? Saya yang diberi amanah, seharusnya lebih waspada.” ujarnya.
Solusinya? Label Halal dan Edukasi Massal.
Kasus ini menjadi alarm besar: pentingnya label halal, baik untuk makanan maupun peralatan yang bersentuhan langsung dengan makanan.
Pemerintah telah mengatur ini, tapi banyak yang masih abai, termasuk produsen-produsen milik umat sendiri.
Karenanya, saya mengajak semua pihak:
• Ayo urus sertifikat halal, bukan hanya makanan tapi juga peralatan makan.
• Ayo beli produk yang jelas-jelas halal, bukan hanya murah atau standar.
• Ayo tabayyun sebelum menyebarkan isu, apalagi yang bisa melukai kepercayaan publik.
Penutup.
Isu ini bukan hanya tentang ompreng. Tapi tentang kepercayaan, kehalalan, dan keteladanan dalam bersikap. Jangan hanya sibuk menunjuk siapa yang salah, tapi mari sama-sama introspeksi.
Karena menjaga kehalalan makanan adalah bagian dari menjaga kesucian jiwa, dan dari situlah keberkahan hidup bermula. (DON/Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan
Pendiri & Anggota Dewan Pembina Bhakti Relawan Advokad Pejuang Islam
Opini
Uranium dan Thorium: Amanah Rakyat untuk Kedaulatan Energi Bangsa

Jakarta – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, mengingatkan bangsa Indonesia bahwa negeri ini sedang duduk di atas harta strategis dunia: lebih dari 24 ribu ton uranium di Melawi, Kalimantan Barat, serta 130 ribu ton thorium di Bangka Belitung.
Bukan sekadar data geologi, cadangan ini adalah modal energi dan geopolitik yang bisa menentukan posisi Indonesia di panggung dunia.
“Masa depan bangsa tidak lagi hanya ditentukan oleh emas atau nikel, tetapi oleh uranium dan thorium yang bisa mengubah peta kekuatan global,” tegas Haidar Alwi.
Energi Murah, Kedaulatan Nyata.
Uranium dan thorium bukan mineral biasa. Satu kilogram uranium-235 mampu menghasilkan energi setara 2,7 juta kilogram batubara.
Artinya, cadangan Indonesia dapat menghadirkan listrik murah bagi rakyat sekaligus menjadikan bangsa ini berdaulat di sektor energi.
Namun ironinya, harga uranium di pasar internasional hanya Rp 2–2,6 juta/kg, sementara nilai riilnya jauh melampaui itu bila dikonversi menjadi energi.
“Murah harga, tapi mahal energi. Inilah kekayaan kita yang bisa membebaskan rakyat dari jerat impor, namun tanpa pengelolaan berpihak rakyat, kekayaan itu hanya akan jadi tontonan,” jelas Haidar.
Jejak Asing dan Lupa pada Rakyat.
Sejarah membuktikan bahwa asing selalu lebih dulu mengincar kekayaan strategis bangsa.
Pada 1971–1976, perusahaan Prancis CEA bekerja sama dengan BATAN mengeksplorasi uranium di Melawi. Amerika Serikat pun sejak lama menaruh perhatian, meski investasi nyata tak pernah diwujudkan.
Kini, UU No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran sedang direvisi dalam Prolegnas 2025. Haidar menilai revisi ini menjadi titik krusial:
“Jika berpihak pada rakyat, ia akan jadi benteng kedaulatan. Tapi jika hanya membuka pintu investor asing, sejarah lama akan terulang: asing menguasai, rakyat menonton,” tegasnya.
Prabowo, Putin, dan Pertarungan Blok Global.
Momentum geopolitik baru hadir ketika Presiden Prabowo Subianto bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin. Rusia melalui Rosatom adalah raksasa industri PLTN dunia. Bagi Indonesia, kerja sama ini bisa mempercepat kemandirian energi nuklir.
Namun risiko juga besar. AS dan Prancis jelas tidak tinggal diam. Indonesia kini berada di tengah tarik-menarik blok Barat dan Timur.
“Diplomasi energi harus berpijak pada Pasal 33 UUD 1945. Jangan sampai uranium dan thorium jadi alat tawar asing. Prabowo harus tegas, tidak tunduk pada tekanan siapa pun,” ujar Haidar.
Risiko yang Mengintai.
Tiga ancaman nyata menurut Haidar Alwi:
Cadangan strategis jatuh ke tangan asing bila regulasi longgar.
Lahirnya oligarki energi bila proyek nuklir dikuasai segelintir elite.
Indonesia hanya jadi pion geopolitik bila tidak punya sikap tegas.
“Pasal 33 bukan sekadar hiasan di dinding DPR. Ia mandat yang harus diwujudkan untuk rakyat. Jika pemerintah abai, uranium dan thorium hanya akan jadi komoditas politik global, sementara rakyat tetap bayar listrik mahal,” tandasnya.
Jalan Kedaulatan Energi Rakyat.
Haidar menawarkan solusi agar kekayaan strategis ini benar-benar berpihak pada rakyat:
Bangun kemandirian nuklir nasional: riset, SDM, dan infrastruktur dalam negeri.
Bentuk Badan Kedaulatan Nuklir Rakyat: transparan, akuntabel, anti-oligarki.
Dorong koperasi energi rakyat masuk dalam rantai pertambangan.
Pastikan diplomasi energi Prabowo berpijak pada Pasal 33, bukan agenda asing.
Gunakan uranium & thorium untuk listrik murah rakyat, bukan elite.
“Uranium Melawi dan thorium Bangka Belitung adalah amanah sejarah. Amanah ini harus digunakan untuk kedaulatan energi rakyat, bukan untuk elit, bukan untuk asing. Energi nuklir untuk rakyat, dan hanya dengan itu Indonesia bisa berdiri sejajar dengan bangsa besar dunia,” pungkas Haidar Alwi. (By/Red)
Editor: Joko Prasetyo
- Jawa Timur2 minggu ago
Pemerintah atau Parade Borjuis? Jalan Rusak Diabaikan, Pengadaan Mobil Mewah Pejabat Diprioritaskan
- Nasional2 minggu ago
Gugat Tanah Adat, Warga Geruduk DPRD Tulungagung: Proyek Pemakaman Elite Diduga Ilegal
- Nasional3 hari ago
Spanduk “Aksi Selasa Rakyat”: Suara Diam yang Menggemuruh di Tulungagung
- Nasional4 hari ago
Demonstrasi 4/9 di Tulungagung, Ketua Almasta Tegaskan Bukan Inspirator Aksi
- Jawa Timur2 minggu ago
Diduga Dekat dengan Pejabat, CV Pendatang Baru Kuasai Proyek Konsultan di Tulungagung
- Investigasi1 minggu ago
LSM LASKAR Soroti Tiang WiFi ‘Siluman’ Ancam Keselamatan Warga Blitar
- Jawa Timur1 minggu ago
DPUPR Kabupaten Blitar Siapkan Perbaikan Darurat untuk Jalan Rusak di Jambewangi
- Investigasi4 hari ago
Gaji Bulanan untuk Sekolah Negeri? Pungli Rp120 Ribu/Bulan Membelenggu Orang Tua di SMAN 1 Gondang