Jakarta
Fredi Moses Ulemlem: Praktik Deposito Pemerintah Hambat Perputaran Ekonomi dan Rugikan Rakyat
Jakarta – Pengamat hukum dan politik Fredi Moses Ulemlem menyoroti maraknya praktik penempatan dana APBD dan APBN dalam bentuk deposito oleh sejumlah pemerintah daerah maupun instansi negara. Ia menilai, praktik tersebut bukan hanya mencerminkan lemahnya pengelolaan anggaran, tetapi juga membuka ruang bagi korupsi terselubung melalui skema fee management yang ditawarkan pihak perbankan.
“Penempatan dana publik dalam bentuk deposito sebenarnya bisa dimaklumi bila tujuannya untuk manajemen kas sementara. Namun dalam praktiknya, hal ini sering kali berubah menjadi alat barter kepentingan antara pejabat dan marketing bank,” ujar Fredi saat dihubungi, Rabu (22/10/2025).
Menurutnya, di banyak kasus, marketing bank aktif mendekati bendahara, kepala dinas, atau pejabat pengelola keuangan daerah dengan menawarkan imbalan atau fee management jika dana APBD atau APBN ditempatkan di bank tertentu.
“Fee management ini modus klasik. Bank menawarkan jasa deposito dengan bunga tinggi, lalu di belakang layar ada persentase tertentu yang dikembalikan kepada pejabat dalam bentuk hadiah, uang tunai, atau fasilitas lain,” ungkapnya.
Fredi menegaskan, praktik semacam ini tidak hanya melanggar etika pengelolaan keuangan publik, tetapi juga masuk dalam kategori gratifikasi dan suap terselubung, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Ketika pejabat publik menerima keuntungan pribadi dari dana yang bersumber dari APBN atau APBD, itu jelas bentuk gratifikasi. Sekecil apa pun nilainya, tetap merupakan pelanggaran hukum,” tegasnya.
Ia menilai kolusi antara pejabat dan pihak bank menciptakan rantai penyimpangan yang sistematis, mulai dari perencanaan anggaran, pengendapan dana, hingga penyaluran bunga deposito.
“Ini bukan sekadar persoalan administratif, tetapi sudah menjadi bentuk ekonomi rente yang merusak kepercayaan publik terhadap birokrasi,” kata Fredi.
Lebih lanjut, Fredi mengkritik pola “parkir dana” menjelang akhir tahun anggaran, yang sering digunakan untuk memperoleh bunga tinggi dari deposito jangka pendek. Akibatnya, serapan anggaran rendah dan berbagai proyek publik tertunda.
“Uang negara seharusnya berputar di masyarakat, bukan disimpan demi keuntungan pribadi. Saat rakyat menunggu realisasi pembangunan, uangnya justru ‘tidur’ di bank,” ujarnya.
Dari sisi regulasi, Fredi menjelaskan bahwa UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 telah menegaskan bahwa bunga hasil deposito wajib disetorkan ke kas negara atau kas daerah.
Namun, lemahnya pengawasan dan kedekatan personal antara pejabat dan pihak bank membuat aturan tersebut sering diabaikan.
Ia mendesak agar pemerintah memperkuat penerapan sistem pengelolaan kas tunggal (Treasury Single Account) baik di tingkat pusat maupun daerah, guna menutup celah penyimpangan dana publik.
“Jika sistem ini dijalankan secara penuh, marketing bank tidak akan bisa lagi bermain di ruang abu-abu. Semua penempatan uang publik harus transparan, tercatat, dan diaudit secara real-time,” jelas Fredi.
Menutup pernyataannya, Fredi menegaskan bahwa kunci utama reformasi anggaran terletak pada moralitas birokrasi.
“Selama mental pejabat masih memandang uang negara sebagai sumber rente, sebaik apa pun sistem yang dibuat akan tetap bocor. Pemerintah harus berani menutup pintu kolusi antara pejabat dan bank. Uang rakyat bukan komoditas, melainkan amanah yang harus dijaga.” pungkasnya. (By/Red)