Opini

LHKPN Hilang, KIP Mandul: DPR Bikin Malu Demokrasi dalam Seleksi Hakim MK

Published

on

Jakarta— Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menunjuk Inocentius Samsul, mantan Kepala Badan Keahlian DPR, sebagai calon tunggal Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.

Penunjukan ini menggantikan posisi Arief Hidayat yang akan pensiun pada 3 Februari 2026.

Penunjukan dilakukan secara tertutup tanpa seleksi terbuka, tanpa uji publik, dan tanpa partisipasi masyarakat.

DPR dianggap telah mencoreng prinsip-prinsip demokrasi dan transparansi dalam proses seleksi pejabat tinggi negara.

Dalam wawancara eksklusif dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah (26/8/2025), pengamat hukum dan politik, Fredi Moses Ulemlem, mengecam keras proses tersebut.

“MK sedang dijadikan alat politik. Hak rakyat untuk mengawasi proses seleksi diabaikan. DPR menutup mata terhadap prinsip checks and balances. Ini korupsi mekanisme demokrasi!” tegasnya.

Transparansi Hilang, LHKPN dan KIP Diabaikan.

Salah satu sorotan utama adalah tidaknya dapat diaksesnya Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Inocentius Samsul.

Padahal, pelaporan ini merupakan syarat wajib bagi calon pejabat publik untuk menjamin integritas dan menghindari konflik kepentingan.

“Tanpa akses LHKPN, rakyat tak bisa menilai integritas calon hakim,” kata Fredi Moses.

Lebih lanjut, Komisi Informasi Publik (KIP) sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas keterbukaan informasi publik juga dianggap lumpuh dalam kasus ini.

DPR dinilai melanggar semangat Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, dan mengerdilkan hak publik untuk mengawasi proses seleksi lembaga tinggi negara.

Mahkamah Konstitusi yang semestinya menjadi benteng terakhir penjaga konstitusi justru terancam kehilangan independensinya.

Alih-alih menjaga supremasi hukum dan hak konstitusional rakyat, MK berisiko menjadi alat legitimasi kepentingan politik elite.

Studi dan Praktik Internasional Dukung Transparansi.

Peneliti dari Constitutional Studies Quarterly menyebut bahwa transparansi dan partisipasi publik dalam seleksi pejabat yudikatif meningkatkan legitimasi dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Beberapa negara memberi contoh positif:

• Jerman menggunakan mekanisme konsensus lintas partai.
• Korea Selatan menggelar uji kelayakan terbuka.
• Prancis melibatkan masyarakat sipil dalam proses pengawasan calon hakim.

“Kalau DPR terus menutup proses seleksi dan mengabaikan LHKPN serta KIP, MK bukan lagi benteng konstitusi, tapi mesin politik. Ini akan meruntuhkan fondasi demokrasi Indonesia!” ujar Fredi Moses, yang juga dikenal sebagai alumni GMNI.

Ia mengutip peringatan Bung Karno:

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati hukum dan menjadikan keadilan sebagai nafasnya. Jangan biarkan kepentingan politik menumpas kedaulatan hukum”, kutipnya.

Legitimasi Dipertanyakan, Publik Prihatin.

Kritik terus berdatangan dari akademisi, aktivis sipil, dan masyarakat umum.

Mereka khawatir MK akan kehilangan wibawa dan peran konstitusionalnya jika mekanisme seleksi dibiarkan tertutup dan tidak akuntabel.

Fredi Moses menutup pernyataannya dengan nada keras:

“Ini bukan soal siapa yang duduk di kursi MK, tapi soal masa depan demokrasi kita. Jika DPR menutup proses seleksi, rakyat harus siap menyaksikan runtuhnya integritas lembaga tertinggi penegak hukum”, pungkasnya. (By/Red)

Editor: Joko Prasetyo

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version