Connect with us

Opini

Problematika SKTM dan Layanan Kesehatan Jauh dari Harapan

Published

on

TULUNGAGUNG– Munculnya kebijakan pemerintah mengenai Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sebagai syarat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis seharusnya menjadi langkah positif untuk menjamin akses kesehatan bagi masyarakat kurang mampu.

Namun, banyaknya kendala dan problematika yang terjadi dalam implementasinya menunjukkan bahwa kebijakan ini masih jauh dari harapan dan perlu dievaluasi dengan serius.

Salah satu masalah utama yang muncul adalah prosedur pengajuan SKTM yang terkesan rumit dan berbelit-belit.

Masyarakat, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil dan kurang mendapatkan pendidikan, sering kali sulit untuk memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan.

Akibatnya, banyak orang yang seharusnya berhak mendapatkan layanan kesehatan gratis justru terhambat oleh administrasi yang tidak efisien.

Ini menciptakan diskriminasi tidak hanya dalam akses kesehatan, tetapi juga merusak esensi dari bantuan sosial itu sendiri.

Selain itu, ada isu tentang ketidakakuratan data yang seringkali dijadikan dasar dalam penerbitan SKTM. Banyak warga yang terdaftar sebagai penerima program ini bukanlah yang paling membutuhkan, sementara mereka yang benar-benar berada dalam keterbatasan sering kali terlewatkan.

Data yang tidak akurat menjadi batu sandungan bagi upaya pemerintah untuk menjangkau masyarakat secara efektif.

Seharusnya, pemerintah melakukan pengkinian dan validasi data secara berkala agar SKTM bisa lebih mencerminkan kondisi nyata masyarakat.

Tak kalah pentingnya adalah kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pemegang SKTM.

Masyarakat sering kali melaporkan bahwa meskipun mereka memiliki SKTM, pelayanan yang mereka terima tidak memadai, baik dari segi waktu tunggu, perhatian tenaga medis, maupun ketersediaan obat-obatan.

Ini menciptakan rasa ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap sistem kesehatan yang seharusnya melindungi mereka.

Jika tujuan dari SKTM adalah untuk menjamin akses terhadap layanan kesehatan, maka seharusnya pemerintah juga memastikan bahwa kualitas pelayanan tersebut tidak tereduksi, terlepas dari status ekonomi individu.

Ada pula masalah stigmatisasi yang dialami oleh pemegang SKTM. Dalam beberapa kasus, mereka yang menggunakan SKTM mendapatkan perlakuan diskriminatif dari petugas maupun masyarakat lainnya.

Ini menimbulkan rasa malu dan menghalangi mereka untuk memanfaatkan layanan kesehatan yang seharusnya menjadi hak mereka.

Strategi komunikasi publik yang lebih baik harus diterapkan untuk mendorong kesadaran akan pentingnya SKTM sebagai alat untuk membantu mereka yang sedang kesulitan, bukannya sebagai label negatif.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, pemerintah perlu meninjau ulang dan mereformasi sistem SKTM secara menyeluruh.

Pertama, perlu ada simplifikasi proses pengajuan SKTM agar lebih user-friendly dan dapat diakses oleh semua kalangan.

Kedua, pengelolaan data yang lebih baik harus menjadi prioritas utama. Implementasi teknologi informasi dalam pengelolaan data sosial akan membantu pemerintah dalam mengidentifikasi dan menjangkau masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Ketiga, pelatihan bagi tenaga medis dalam memberikan layanan kepada pemegang SKTM juga sangat penting untuk memastikan kualitas layanan tetap terjaga.

Akhirnya, perlu ditekankan bahwa SKTM seharusnya bukan sekadar kebijakan administrasi, tetapi merupakan cerminan dari komitmen pemerintah untuk menghormati hak asasi setiap warga negara dalam mendapatkan layanan kesehatan. Kesehatan adalah hak, bukan privilese.

Jika pemerintah ingin menjadikan SKTM sebagai alat untuk mendukung akses kesehatan, maka pembaruan dan penyesuaian kebijakan yang mendasar adalah keharusan.

Hanya dengan cara ini, kita dapat menciptakan sistem layanan kesehatan yang adil, merata, dan berkelanjutan, demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Penulis : Mashuri, seorang Jurnalis dan juga Ketua Ikatan Wartawan Online (IWOI) DPD Tulungagung.

Editor : JK

Opini

DPR Ditinggal Saraswati, Kursi Menpora Masih Kosong dan Terbuka?

Published

on

Jakarta— Panggung politik Senayan kembali bergejolak. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, resmi menyatakan mundur dari kursinya di parlemen. Langkah ini diyakini sebagai manuver politik menuju kursi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) yang saat ini masih kosong pasca reshuffle kabinet.

Dalam pernyataan video yang dibagikan, Saraswati menegaskan niatnya untuk tetap menuntaskan satu tugas terakhir sebagai legislator, yakni pembahasan dan pengesahan RUU Kepariwisataan.

“Dengan ini saya menyatakan pengunduran diri sebagai anggota DPR RI kepada Fraksi Partai Gerindra. Saya berharap masih dapat menyelesaikan pembahasan RUU Kepariwisataan yang menjadi produk legislasi Komisi VII,” ujar Saraswati.

Janji Konstituen dan Sisa Dana Dapil.

Saraswati tidak lupa menyampaikan permintaan maaf kepada konstituen di Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu. Ia berjanji mengalokasikan dana sisa di rekening khusus untuk kebutuhan rakyat, mulai dari bantuan alat kesehatan, pelatihan kewirausahaan, hingga pemberdayaan anak-anak muda.

“Saya mohon maaf jika ada kekecewaan. Dengan sisa dana Dapil, saya akan tetap mendukung masyarakat sampai dana tersebut habis,” tegasnya.

Klarifikasi Kontroversi “Anak Muda Jangan Bergantung pada Pemerintah”

Tak hanya soal pengunduran diri, Saraswati juga menyinggung kembali potongan wawancara yang sempat viral, di mana ia menyebut anak muda jangan bergantung pada pemerintah.

Ia mengaku niatnya adalah mendorong jiwa wirausaha di era digital, namun kata-katanya justru melukai sebagian masyarakat.

“Kesalahan sepenuhnya ada di saya. Saya meminta maaf sebesar-besarnya atas ucapan yang menyakiti hati rakyat,” katanya.

Saraswati meminta publik untuk menonton pernyataannya secara utuh agar mendapat konteks yang lebih jelas, bukan potongan video singkat yang dijadikan bahan provokasi.

Manuver Politik dan Arah Baru.

Pengunduran diri Saraswati dinilai sebagai langkah strategis di tengah kekosongan kursi Menpora.

Dalam pusaran politik pasca reshuffle, nama Saraswati masuk dalam bursa kuat calon Menpora yang diharapkan mampu menjembatani aspirasi anak muda, olahraga nasional, dan dunia digital-ekonomi kreatif.

Langkah mundur ini sekaligus menegaskan bahwa regenerasi politik di tubuh Gerindra mulai menguat.

Saraswati bukan sekadar melanjutkan trah politik keluarga, tetapi mencoba menunjukkan politik pengabdian dan keterbukaan terhadap kritik publik.

Jika kursi Menpora akhirnya menjadi miliknya, ujian besar menanti: apakah ia benar-benar dapat membalik persepsi publik dan mewujudkan janji keberpihakan pada anak muda, atau justru terjebak pada politik simbolik belaka. (By/Red)

Continue Reading

Opini

TNI: Dari Rakyat, Bersama Rakyat, untuk Rakyat

Published

on

Jakarta— Prajurit TNI sejati tidak berdiri sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai penjaga nurani bangsa. Mereka hadir bukan untuk menakuti, tetapi untuk menemani.

Mereka adalah wajah kekuatan yang penuh kasih, keberanian yang tidak membabi buta, dan keberpihakan yang tulus pada ibu pertiwi.

Dalam setiap langkahnya, mereka tahu, senjata bukan selalu solusi, dan kehangatan adalah kunci pencegah anarki.

Netral Tapi Aktif: Makna Sesungguhnya Keberpihakan.

Netralitas TNI bukan berarti pasif tanpa tindakan. Netralitas itu adalah keberanian untuk tidak terseret arus kepentingan, namun tetap sigap menjaga stabilitas negeri.

Ketika rakyat berdemo, TNI hadir bukan untuk membungkam, tetapi untuk mendengar dan menjaga.

Prajurit TNI yang netral dapat mencium gelagat. Mereka tidak kaku dalam menghadapi situasi. Di tengah orasi, mereka menjadi penyejuk.

Di tengah potensi anarki, mereka menjadi penyangga. Mereka bukan lawan rakyat, melainkan bagian dari rakyat.

Ketika Hoaks dan Huru-Hara Mengintai.

Dalam situasi yang sarat provokasi dan narasi palsu yang beredar liar, peran TNI sangat krusial. Mereka menjadi penyeimbang nalar dan peredam api konflik. Ketika rencana anarkisme mulai disusun dengan bungkus demokrasi, prajurit TNI hadir untuk meredam, bukan dengan kekuatan senjata, tetapi dengan kekuatan empati.

Mereka bukan hanya menjaga perbatasan wilayah, tetapi juga batas-batas nurani.

Prajurit Nurani: Harapan di Tengah Gejolak.

Dalam lima hari terakhir Agustus 2025, kita menyaksikan bagaimana prajurit TNI mengambil peran sebagai penjaga moral bangsa. Mereka membaur, merangkul, dan meredam tanpa kekerasan.

Ketika banyak pihak terjebak dalam kemarahan, mereka memilih jalan keberanian yang tenang.

“Engkau, prajurit TNI, adalah kekuatan yang tidak membinasakan. Engkau kekuatan yang menghidupkan,” tulis Imam Mawardi Ridlwan dalam refleksinya.

Penutup: Ketika Ibu Pertiwi Menangis, TNI Hadir Pertama.

Saat Ibu Pertiwi bersimbah air mata, prajurit TNI adalah yang pertama datang, bukan untuk menggertak, tetapi untuk menguatkan.

Karena mereka berasal dari rakyat, dan rakyat tidak pernah meminta peran mereka untuk mundur.

Dalam dunia yang penuh distraksi dan provokasi, semoga tetap ada ruang bagi prajurit-prajurit nurani. Yang tidak hanya menjaga keamanan, tapi juga menjaga kemanusiaan. (DON/Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan ,Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokad Pejuang Islam.

Continue Reading

Opini

Merayakan Maulid: Jika Abu Lahab Saja Diberi Keringanan, Bagaimana dengan Kita yang Merayakannya dengan Cinta?

Published

on

Jawa Timur— Saya tidak tahu apakah Abu Lahab pernah tersenyum dalam hidupnya. Namun, saya pernah membaca sebuah riwayat bahwa ia tersenyum bahagia pada hari kelahiran keponakannya, manusia paling mulia: Sayyidina Muhammad bin Abdullah.

Riwayat ini, yang jika saya tidak salah berasal dari Imam al-Bukhari, menyebut bahwa ekspresi bahagia Abu Lahab tersebut yang diwujudkan dengan memerdekakan budaknya, Tsuwaibah, sebagai ungkapan syukur mendatangkan satu bentuk keringanan baginya.

Di neraka, tempat ia kelak disiksa, ia mendapat setetes air setiap hari Senin. Hanya karena ia gembira saat Nabi Muhammad lahir.

Bayangkan. Abu Lahab, yang dengan terang-terangan memusuhi dakwah Rasulullah, tetap mendapatkan ganjaran ringan atas kebahagiaannya menyambut kelahiran Nabi. Lalu, bagaimana dengan kita?

Umat Islam yang merayakan Maulid Nabi dengan cinta, dengan shalawat, dengan ilmu, dan dengan hati yang bersyukur?

Kini Rabiul Awal kembali hadir. Bulan kelahiran manusia paling sempurna. Bulan yang membuat langit dan bumi damai, yang membuat para malaikat turun membawa kabar gembira.

Bulan yang menjadi alasan berkumpulnya umat Islam di seluruh dunia dari kampung kecil hingga masjid-masjid besar untuk bershalawat, berbagi makanan, dan menimba ilmu.

Allah sendiri, dalam Al-Ahzab ayat 56, menegaskan:

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”

Jadi ketika ada yang bertanya, “Mengapa Maulid dirayakan?” Jawabannya sederhana: karena kita cinta. Karena kita bahagia.

Karena Rasulullah sendiri pun memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa setiap hari Senin, sebagai bentuk syukur.

Saya teringat dawuh dari Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, ulama besar dari Mekkah. Beliau mengatakan bahwa merayakan Maulid pasti membawa manfaat. Dunia dan akhirat.

Karena Maulid adalah ekspresi mahabbah cinta. Dan cinta tak bisa dipaksakan. Ia tumbuh dari hati yang mengenal dan menyayangi.

Tentu, ada sebagian yang menyebut Maulid sebagai bid’ah. Tapi para ulama bijak menjawabnya dengan konsep bid’ah hasanah amal baru yang tidak bertentangan dengan syariat dan membawa kebaikan. Bahkan sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud RA, pernah berkata:

“Apa yang dilihat umat Islam sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut baik di sisi Allah. Dan apa yang dilihat umat Islam sebagai perkara yang buruk, maka perkara tersebut buruk di sisi Allah.”

Tulisan ini saya buat sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, dan juga ajakan kepada saudara-saudaraku: monggo maulidan.

Mari rayakan Maulid dengan cara yang sesuai kemampuan kita. Dengan shalawat. Dengan pengajian. Dengan berbagi makanan. Dengan menyebar ilmu dan rasa syukur.

Karena Maulid bukan sekadar peringatan. Ia adalah pernyataan cinta. Cinta yang menumbuhkan harapan untuk mendapat syafaat dari manusia paling penyayang: Rasulullah Muhammad.

Dan jika Abu Lahab saja mendapat setetes air di neraka karena Maulid, maka sungguh besar harapan kita yang merayakannya dengan iman. (Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan
Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Sosial Bani Kyai Tasir Mayong

Continue Reading

Trending