Connect with us

Opini

Reshuffle Kabinet di Tengah Badai Demonstrasi: Saatnya Indonesia Cari Begawan Ekonomi

Published

on

Jakarta — Indonesia kembali menghadapi ujian berat dalam perjalanan demokrasi dan ketahanan ekonominya. Seiring merebaknya gelombang demonstrasi massal di berbagai daerah, termasuk ibu kota Jakarta, tekanan terhadap stabilitas nasional semakin kuat.

Hanya di Jakarta Pusat saja, hari ini tercatat terjadi demonstrasi di tiga titik strategis yang memperlihatkan eskalasi keresahan publik atas kondisi sosial-ekonomi yang memburuk.

Situasi ini terjadi di tengah pertumbuhan ekonomi yang belum kembali stabil pasca pandemi dan tekanan global.

Gelombang demonstrasi yang menyebar di 8 kota besar menunjukkan puncak kekecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil.

Tiga belas tuntutan mahasiswa, mulai dari penolakan kenaikan PPN 12%, kelangkaan elpiji 3 kg, hingga ketidakjelasan tunjangan dosen, menjadi cerminan keresahan lintas sektor.

Tagar #IndonesiaGelap pun viral, menjadi simbol kekhawatiran generasi muda terhadap masa depan ekonomi negeri.

Kondisi Ekonomi Mengkhawatirkan.

Tekanan ini makin nyata dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya menyentuh 4,8% dalam sembilan bulan pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, jauh dari target optimis 8%. Survei LSI Denny JA menunjukkan bahwa 60,8% masyarakat merasa lebih sulit mendapat pekerjaan dibandingkan tahun sebelumnya.

Kondisi diperparah oleh kebijakan tarif 32% dari Amerika Serikat terhadap produk ekspor Indonesia, yang berpotensi menghilangkan 1,2 juta lapangan kerja dan menurunkan nilai ekspor sebesar Rp105,98 triliun. Ini menjadi pukulan telak bagi daya saing ekonomi Indonesia di pasar global.

Reshuffle Kabinet: Bukan Solusi Simbolik.

Di tengah krisis ini, Presiden melakukan reshuffle kabinet yang menimbulkan beragam tafsir publik. Menurut saya, langkah ini bukan semata respons atas tekanan demonstrasi, melainkan berdasarkan pertimbangan intelijen strategis.

“Pergantian menteri bukan sekadar respons atas demo, melainkan hasil assessment mendalam dari badan intelijen mengenai kerentanan stabilitas nasional,” ujarnya dalam wawancara eksklusif.

Badan intelijen seperti BIN memiliki kapasitas memetakan sumber masalah sosial dan ekonomi yang memicu instabilitas. Dan bukan rahasia lagi, sejak era Orde Baru, intelijen kerap menjadi alat penting kekuasaan dalam menjaga keseimbangan politik.

Ketegangan Sektor Pendidikan dan Harapan Baru.

Pemilihan Brian Yuliarto sebagai Menteri Pendidikan yang baru, dari kalangan akademisi murni, menunjukkan bahwa pemerintah ingin memulihkan relasi dengan komunitas pendidikan yang belakangan tertekan. Ini juga dibaca sebagai upaya mengembalikan kepercayaan pasar, yang sebelumnya tergerus akibat kebijakan tak populer di sektor pendidikan.

Evaluasi Kabinet: Celios dan Kegagalan Ekonomi.

Survei Center of Economic and Law Studies (Celios) pada Januari 2025 menunjukkan bahwa kinerja sektor ekonomi nasional masih mengecewakan, terutama di bawah koordinasi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Sektor ini dinilai gagal mencapai target dalam lima indikator utama:
1. Pencapaian program,
2. Kesesuaian kebijakan,
3. Kepemimpinan,
4. Tata kelola anggaran, dan
5. Komunikasi publik.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios, bahkan menyebut bahwa Indonesia kalah dari Vietnam dalam diplomasi ekonomi karena strategi yang lemah dan pendekatan yang reaktif.

Demo Tak Hanya Luka Sosial, Tapi Juga Luka Ekonomi.

Dampak demo tak hanya sosial, tapi juga ekonomi langsung. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyebut kerugian infrastruktur mencapai Rp55 miliar, termasuk kerusakan 22 halte Transjakarta dan 6 halte yang dibakar.

Omzet ritel turun hingga 50%, mengganggu rantai pasok harian. Nilai tukar rupiah melemah ke Rp16.500/USD, dan IHSG turun 1,21% ke level 7.736, menandakan kepercayaan investor yang menurun terhadap kestabilan politik.

Empat Langkah Strategis Pemulihan Nasional.

Reshuffle kabinet tidak bisa berhenti sebagai simbol politik. Harus ada langkah strategis terintegrasi, antara lain:

1. Penunjukan Begawan Ekonomi: Figur kredibel dengan pengalaman internasional dan akar kuat dalam ekonomi kerakyatan, untuk memulihkan kepercayaan publik dan investor.

2. Reformasi Kebijakan Proteksionis: Tinjauan ulang terhadap kebijakan perdagangan dan investasi untuk meningkatkan daya saing, sebagaimana Vietnam sukses menavigasi tekanan global.

3. Penguatan Koordinasi Lintas Kementerian: Menko Perekonomian harus menciptakan sinergi konkret dan menghindari tumpang tindih kebijakan yang memicu stagnasi.

4. Transparansi Komunikasi Publik: Pemerintah harus membuka ruang dialog dan informasi terbuka agar kebijakan tidak disalahpahami dan menghindari gejolak sosial.

Harvick Hasnul Qolbi: Figur Ekonomi Kerakyatan.

Salah satu tokoh yang patut dipertimbangkan adalah Harvick Hasnul Qolbi, mantan Wamen Pertanian dan Bendahara PBNU, yang juga dikenal sebagai penggagas Nahdlatut Tujjar gerakan ekonomi NU.

Lahir 17 November 1974, Harvick adalah teknokrat yang menguasai ekonomi riil dan memiliki visi ekonomi inklusif berbasis komunitas. Pengalamannya membangun Mart NU di berbagai pelosok Indonesia menunjukkan kemampuan manajerial dan komitmen terhadap ekonomi akar rumput.

Kesimpulan: Saatnya Indonesia Serius.

Reshuffle harus menjadi langkah awal dari reformasi struktural besar-besaran.

Presiden Prabowo perlu mengevaluasi kabinet secara menyeluruh, terutama sektor ekonomi. Figur seperti Harvick Hasnul Qolbi dapat menjadi jembatan antara ekonomi elite dan ekonomi rakyat, sekaligus mengembalikan kepercayaan NU, sebagai salah satu basis politik dan sosial terbesar di Indonesia.

Indonesia membutuhkan pemimpin ekonomi, bukan manajer birokrasi. Saat rakyat turun ke jalan, jangan hanya diganti menteri tapi ubah arah kebijakan.

Sejarah mencatat, Indonesia pernah bangkit dari krisis berkat kepemimpinan kuat dan kebijakan yang menyentuh rakyat.

Kini, tantangan serupa datang lagi. Pertanyaannya: Apakah kita akan belajar dari masa lalu atau mengulang kesalahan yang sama?

(DON/Red)

Oleh : M. Habibi Pengamat Intelijen dan Politik.

Opini

Anggaran “Gemuk“, Jalan Rusak Masalah Abadi: Uji Nyali Pemkab Tulungagung di APBD 2026

Published

on

TULUNGAGUNG– Dalam tata kelola daerah, anggaran sering dianggap sebagai cerminan nyata kesejahteraan. Logika awamnya sederhana, semakin “gemuk” Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), semakin makmur dan maju daerah tersebut.

Tren peningkatan APBD Kabupaten Tulungagung dalam tiga tahun terakhir seolah mengonfirmasi logika ini.

Berdasarkan data, APBD naik dari Rp 2,75 triliun (2023), menjadi Rp 2,89 triliun (2024), dan menyentuh Rp 3 triliun pada 2025. Sebuah pertumbuhan yang patut disyukuri.

Namun, pertanyaan kritis yang kemudian mengemuka adalah, di mana wujud nyata kenaikan anggaran ini yang paling signifikan dirasakan oleh masyarakat? Silakan publik yang menilai sendiri kondisi jalan, pendidikan, dan layanan kesehatan di sekitar mereka.

Kini, proyeksi untuk APBD 2026 justru menunjukkan angin segar yang lebih kencang. Analisis terhadap Rancangan APBD (RAPBD) 2026 mengungkap adanya tambahan napas fiskal yang cukup berarti.

Terdapat kenaikan Transfer ke Daerah (TKD) dari pusat sebesar Rp 132,786 miliar. Di tengah kabar pemangkasan anggaran di banyak daerah oleh Menteri Keuangan, kondisi Tulungagung ini bagai oase.

Tidak berhenti di situ, Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga diproyeksikan melonjak signifikan menjadi Rp 819,4 miliar dari sebelumnya Rp 776 miliar.

Secara keseluruhan, terjadi kenaikan anggaran sekitar Rp 230 miliar. Yang menarik, meski Dana Desa (DD) dari pusat dipotong Rp 38,16 miliar, justru ini bisa menjadi berkah terselubung. Selisih ini dapat dialihkan untuk membiayai program prioritas lain yang lebih mendesak.

Perubahan signifikan lain adalah pada alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) spesifik untuk pendidikan yang pada 2026 dianggarkan nol rupiah.

Padahal, di tahun 2025, anggaran ini mencapai Rp 35,61 miliar yang biasa digunakan untuk Bantuan Operasional Sekolah Penyelenggara (BOSP). Hilangnya anggaran ini, jika dikelola dengan transparan, justru dapat menghilangkan indikasi duplikasi anggaran seperti yang kerap terjadi sebelumnya.

Dengan perhitungan sederhana, total tambahan anggaran yang dapat dialokasikan untuk program-program prioritas pada 2026 mencapai kisaran Rp 300 miliar.

Sebuah angka yang, untuk kesekian kalinya, kerap disebut-sebut “cukup untuk memperbaiki semua jalan rusak di Tulungagung.” Namun, klaim ini akan tetap menjadi jargon kosong tanpa komitmen dan perencanaan yang matang.

Pada akhirnya, Pemerintah Daerah memiliki ruang gerak yang lebih longgar dalam RAPBD Penyesuaian sebelum disahkan menjadi APBD 2026. Peluang emas ini tidak boleh disia-siakan.

Di balik angka-angka yang menggembirakan ini, tantangan sesungguhnya justru dimulai. Masyarakat sipil, termasuk LSM dan para pengamat, harus mengerahkan fungsi kontrolnya.

Kita harus bersama-sama mengawal postur anggaran dan memastikan realisasinya tepat sasaran, transparan, dan akuntabel. Pemerintahan Bupati dan Wakil Bupati periode ini tidak boleh terjebak kembali pada permainan “teknis” Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang kerap mengaburkan tujuan pembangunan.

Peningkatan anggaran adalah modal, bukan tujuan. Kesejahteraan sejati rakyat Tulungagung akan diukur dari jalan yang mulus, sekolah yang berkualitas, dan layanan kesehatan yang terjangkau bukan sekadar dari deretan angka triliunan di atas kertas.

APBD 2026 adalah ujian nyali bagi pemerintah untuk membuktikan bahwa mereka mampu mengubah potensi finansial menjadi kesejahteraan yang nyata. (*)

Oleh: Susetyo Nugroho, Pengamat Kebijakan Publik

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Opini

Ketika Dua Rumah yang Berhimpitan Berseteru: Refleksi Sosial tentang Makna Tetangga

Published

on

Jakarta — Sebuah pertunjukan kehidupan sosial yang mengundang perhatian publik terjadi di kawasan Joyogrand, Kota Malang, Jawa Timur. Dua rumah yang berhimpitan, yang dahulu tampak damai dan harmonis, kini justru tampil berseri bukan karena kebaikan, melainkan karena perseteruan yang disiarkan secara terbuka melalui media sosial.

Dalam dua pekan terakhir Oktober 2025 ini, masyarakat disuguhi drama nyata dua keluarga yang berselisih, saling mengungkap versi kebenaran masing-masing di ruang digital.

Sebagian menilai ini tidak elok. Lebih menyedihkan lagi, yang berseteru bukan mereka yang kekurangan, melainkan dua orang yang sama-sama berpendidikan dan hidup dalam kecukupan.

Saya tidak ingin membahas apa pemicu konflik, apalagi menentukan siapa yang benar. Karena bisa jadi secara versi pribadi semua merasa benar.

Namun satu hal yang penting disadari adalah sejatinya mereka adalah satu keluarga, meski rumah berbeda. Dan itu pula hakikat dari tetangga.

Tetangga: Cermin Sosial dan Spiritualitas.

Di balik dinding rumah kita, di balik pagar yang memisahkan halaman, sesungguhnya ada sosok-sosok penting yang Allah hadirkan dalam hidup kita adalah tetangga. Mereka bukan sekadar orang yang tinggal berdekatan, tetapi bisa menjadi sahabat, pengingat, bahkan penolong dalam diam.

Dalam ajaran Islam, dalam budaya Jawa, dan dalam nilai-nilai universal kemanusiaan, tetangga memiliki kedudukan yang sangat mulia.

Rasulullah bahkan menyandingkan perintah memuliakan tetangga dengan perintah menyembah Allah.

Maka jika suatu saat terjadi peristiwa yang mengganggu hati, sabar adalah kuncinya. Kenapa harus sabar?

Karena kita tidak memilih tetangga, tetapi Allah-lah yang memilihkan untuk kita. Dan semua yang Allah pilihkan, pasti mengandung hikmah.

Prinsip Bertetangga dalam Tradisi dan Spiritualitas.

Saya pribadi, sebagai pendatang di lingkungan baru, selalu berupaya menanamkan prinsip bahwa tetangga adalah keluarga besar kita.

Sebagaimana nasihat Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu: “Tetangga itu bukan hanya yang rumahnya berdempetan, tetapi juga yang berada dalam radius 40 rumah dari tempat tinggal kita.”

Artinya, tetangga adalah komunitas kecil yang menjadi cermin akhlak dan karakter kita.

Beberapa prinsip yang saya pegang dalam bertetangga:

1. Pager mangkok lebih kuat dari pager besi yakni berbagi makanan dan kebaikan lebih mempererat hubungan dibanding pagar setinggi apapun.

2. Sapa dengan senyuman bahkan anggukan kecil bisa membuka pintu hati.

3. Menjaga lisan, tidak berkata yang menyakitkan meski akrab.

4. Tolong-menolong dalam kesederhanaan dari meminjam alat hingga menjaga rumah.

5. Menjaga adab dan privasi — tidak membicarakan tetangga di dunia nyata apalagi di media sosial.

6. Menghormati hak tetangga seperti memberi tahu jika ada kegiatan yang bisa mengganggu.

Sabar dan Maaf, Jalan Mulia dalam Konflik.

Saya juga belajar bahwa tidak semua tetangga mudah dipahami. Tapi bukan berarti harus dilawan. Justru ini ladang amal yang luar biasa.

Maka, saya membiasakan diri:
• Mengalah, bukan kalah.
• Menganggap keunikan tetangga sebagai peluang bersabar.
• Memaafkan sebelum diminta.
• Mendoakan diam-diam.
• Menghindari debat yang memicu api.
• Tetap berbuat baik meski tidak dibalas.
• Menjaga silaturahim, karena sowan ke tetangga adalah obat hati.

Tetangga: Investasi Dunia dan Akhirat.

Tetangga adalah keberkahan yang sering terlupakan. Saat darurat, mereka yang pertama hadir. Saat kita sepi, merekalah yang bisa menyapa.

Saya mencatat tiga manfaat besar dari keberadaan tetangga:

1. Keamanan sosial saling menjaga dengan niat baik.
2. Dukungan emosional dalam suka maupun duka.
3. Pendidikan karakter anak lingkungan yang harmonis mencetak generasi yang mulia.

Penutup: Kembalilah pada Hakikat.

Perseteruan dua rumah berhimpitan di Joyogrand seharusnya menyadarkan kita, bahwa tetangga bukan musuh, tetapi amanah sosial dan spiritual. Kita tidak sedang berbicara tentang siapa benar dan siapa salah, tetapi tentang siapa yang ingin menghadirkan ketenangan, bukan kebisingan, kedamaian, bukan perpecahan.

Mari kita rawat relasi dengan tetangga, karena mereka adalah bagian dari takdir sosial kita. Bukan kebetulan, tetapi panggilan ibadah dan akhlak. (DON/Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam.

Continue Reading

Opini

Dua Keluarga Bertetangga Saling Laporkan, Dimana Letak Hati Nurani?

Published

on

Jakarta— Hingga pekan kedua Oktober 2025, publik disuguhi drama hukum yang mempertemukan dua keluarga bertetangga di ranah pidana. Keduanya hidup berdempetan, namun justru saling melaporkan ke polisi.

Dunia maya pun ramai. Para netizen dan penggiat media sosial menjadi saksi bagaimana hubungan antar tetangga bisa memburuk, berubah dari kerukunan menjadi saling serang.

Entah siapa yang puas, jika satu di antara mereka dipenjara. Atau bahkan, bisa jadi keduanya akan berakhir di balik jeruji.

Namun di balik pusaran konflik tersebut, kita patut bertanya lebih dalam, bagaimana kondisi hati mereka?

Dalam kehidupan, kita selalu dihadapkan pada pilihan. Salah satunya adalah jalan tasawuf jalan yang tak hanya menata tubuh lahiriah, tetapi juga jiwa dan ruh.

Jalan ini bukanlah jalan mudah. Menata hati ibarat menaklukkan lautan yang tak pernah tenang. Hati berasal dari kata qalaba yang berarti mudah terbolak-balik.

Ia mudah condong pada hawa nafsu, dan hawa nafsu adalah kegelapan yang menjauhkan manusia dari nur Ilahi.

Banyak yang mampu mengajarkan ilmu tentang ketenangan, kesabaran, dan pencerahan jiwa. Tetapi belum tentu mampu mengaplikasikan semua itu dalam konflik nyata.

Tak heran, di tengah masyarakat yang mengaku religius, masih tampak dendam, takabur, dan keinginan untuk menyakiti sesama. Padahal, prilaku lahiriah adalah cermin dari kondisi hati.

Jika hati bening, maka lahiriah akan memancarkan rahmat. Sebaliknya, jika hati keruh, prilaku pun akan menebar fitnah.

Jika prilaku tidak dijaga, maka hati akan kehilangan kendali. Jasad akan bebas melampiaskan syahwat, jiwa akan menonjolkan ego, dan muncullah keangkuhan. Inilah bibit dari kerusakan sosial. Dari hati yang rusak lahir prilaku menyakiti. Dari prilaku menyakiti, lahir lingkungan penuh konflik.

Solusi atas krisis hati ini bukan sekadar ilmu atau hukum, tetapi dzikir yang menghidupkan hati dan membimbing prilaku.

Dzikir bukan sekadar di lisan, tetapi harus nyata dalam tindakan. Dzikir sejati adalah ketika manusia menjelma menjadi Abdullah, hamba Allah yang menebar kasih, bukan permusuhan.

Bagi para ahli tasawuf, bertetangga bukan soal siapa benar atau siapa salah, tetapi soal siapa yang lebih ingin menghadirkan keberkahan. Mereka tidak sibuk menuntut, tetapi sibuk melayani.

Mereka tidak sibuk menilai, tetapi sibuk mendoakan. Bagi mereka, tetangga adalah ladang amal, bukan ladang konflik.

Karena itu, mari kita ingat: lahiriah adalah cermin hati. Jika cermin itu retak, maka bayangan yang muncul pun menyesatkan.

Maka jagalah prilaku, karena ia adalah jalan menuju keseimbangan batin. Jangan hanya menjadi orang berilmu, tetapi jadilah insan yang menebar kedamaian. Karena ilmu tanpa ketenangan hati hanyalah kilau tanpa cahaya. (DON/Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam

Continue Reading

Trending