Opini

Uranium dan Thorium: Amanah Rakyat untuk Kedaulatan Energi Bangsa

Published

on

Jakarta – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, mengingatkan bangsa Indonesia bahwa negeri ini sedang duduk di atas harta strategis dunia: lebih dari 24 ribu ton uranium di Melawi, Kalimantan Barat, serta 130 ribu ton thorium di Bangka Belitung.

Bukan sekadar data geologi, cadangan ini adalah modal energi dan geopolitik yang bisa menentukan posisi Indonesia di panggung dunia.

“Masa depan bangsa tidak lagi hanya ditentukan oleh emas atau nikel, tetapi oleh uranium dan thorium yang bisa mengubah peta kekuatan global,” tegas Haidar Alwi.

Energi Murah, Kedaulatan Nyata.

Uranium dan thorium bukan mineral biasa. Satu kilogram uranium-235 mampu menghasilkan energi setara 2,7 juta kilogram batubara.

Artinya, cadangan Indonesia dapat menghadirkan listrik murah bagi rakyat sekaligus menjadikan bangsa ini berdaulat di sektor energi.

Namun ironinya, harga uranium di pasar internasional hanya Rp 2–2,6 juta/kg, sementara nilai riilnya jauh melampaui itu bila dikonversi menjadi energi.

“Murah harga, tapi mahal energi. Inilah kekayaan kita yang bisa membebaskan rakyat dari jerat impor, namun tanpa pengelolaan berpihak rakyat, kekayaan itu hanya akan jadi tontonan,” jelas Haidar.

Jejak Asing dan Lupa pada Rakyat.

Sejarah membuktikan bahwa asing selalu lebih dulu mengincar kekayaan strategis bangsa.

Pada 1971–1976, perusahaan Prancis CEA bekerja sama dengan BATAN mengeksplorasi uranium di Melawi. Amerika Serikat pun sejak lama menaruh perhatian, meski investasi nyata tak pernah diwujudkan.

Kini, UU No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran sedang direvisi dalam Prolegnas 2025. Haidar menilai revisi ini menjadi titik krusial:

“Jika berpihak pada rakyat, ia akan jadi benteng kedaulatan. Tapi jika hanya membuka pintu investor asing, sejarah lama akan terulang: asing menguasai, rakyat menonton,” tegasnya.

Prabowo, Putin, dan Pertarungan Blok Global.

Momentum geopolitik baru hadir ketika Presiden Prabowo Subianto bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin. Rusia melalui Rosatom adalah raksasa industri PLTN dunia. Bagi Indonesia, kerja sama ini bisa mempercepat kemandirian energi nuklir.

Namun risiko juga besar. AS dan Prancis jelas tidak tinggal diam. Indonesia kini berada di tengah tarik-menarik blok Barat dan Timur.

“Diplomasi energi harus berpijak pada Pasal 33 UUD 1945. Jangan sampai uranium dan thorium jadi alat tawar asing. Prabowo harus tegas, tidak tunduk pada tekanan siapa pun,” ujar Haidar.

Risiko yang Mengintai.

Tiga ancaman nyata menurut Haidar Alwi:

Cadangan strategis jatuh ke tangan asing bila regulasi longgar.

Lahirnya oligarki energi bila proyek nuklir dikuasai segelintir elite.

Indonesia hanya jadi pion geopolitik bila tidak punya sikap tegas.

“Pasal 33 bukan sekadar hiasan di dinding DPR. Ia mandat yang harus diwujudkan untuk rakyat. Jika pemerintah abai, uranium dan thorium hanya akan jadi komoditas politik global, sementara rakyat tetap bayar listrik mahal,” tandasnya.

Jalan Kedaulatan Energi Rakyat.

Haidar menawarkan solusi agar kekayaan strategis ini benar-benar berpihak pada rakyat:

Bangun kemandirian nuklir nasional: riset, SDM, dan infrastruktur dalam negeri.

Bentuk Badan Kedaulatan Nuklir Rakyat: transparan, akuntabel, anti-oligarki.

Dorong koperasi energi rakyat masuk dalam rantai pertambangan.

Pastikan diplomasi energi Prabowo berpijak pada Pasal 33, bukan agenda asing.

Gunakan uranium & thorium untuk listrik murah rakyat, bukan elite.

“Uranium Melawi dan thorium Bangka Belitung adalah amanah sejarah. Amanah ini harus digunakan untuk kedaulatan energi rakyat, bukan untuk elit, bukan untuk asing. Energi nuklir untuk rakyat, dan hanya dengan itu Indonesia bisa berdiri sejajar dengan bangsa besar dunia,” pungkas Haidar Alwi. (By/Red)

Editor: Joko Prasetyo

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version