Jakarta
Wolak-Walik’e Zaman: Ketika Seorang Kyai Melaporkan Tetangganya dan RT ke Polisi
Jakarta — Di tengah arus deras informasi digital, masyarakat dikejutkan oleh peristiwa yang mengusik nalar sekaligus nurani.
Seorang tokoh yang mengaku sebagai kyai, sosok yang seharusnya menjadi penuntun akhlak dan penyejuk umat, justru mengambil langkah kontroversial, melaporkan tetangganya sendiri bahkan ketua RT dan RW ke kantor polisi.
Peristiwa ini tidak hanya terjadi, tetapi juga diviralkan. Seolah rasa malu telah terkikis dari wajah peradaban.
Padahal, dalam tradisi Islam dan budaya ketimuran, menjaga hubungan baik dengan tetangga adalah bagian dari keimanan.
“Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah Ta’ala akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.”
(HR. Muslim).
Kyai Bukan Sekadar Gelar.
Dalam kultur masyarakat kita, seorang kyai bukan hanya pemilik ilmu agama, tetapi juga penjaga adab. Ia dikenal karena tutur katanya yang menyejukkan dan sikapnya yang mendamaikan.
Maka ketika ada seseorang yang mengklaim dirinya kyai namun bersikap layaknya musuh di lingkungan sendiri, publik pun bertanya, ada apa dengan zaman ini?
Di masa silam, konflik dengan tetangga dianggap sebagai aib. Perselisihan antar warga diselesaikan secara musyawarah, diam-diam, tanpa diumbar ke ruang publik apalagi ke media sosial.
Apalagi sampai membawa perkara ke ranah hukum hanya karena hal-hal yang tidak substansial.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Medsos Jadi Panggung Konflik.
Yang lebih ironis, laporan tersebut justru datang dari seseorang yang bergelar akademik tinggi, mengajar tasawuf dan filsafat, serta mengaku sebagai tokoh agama. Alih-alih menjadi teladan dalam menahan amarah, ia justru mempertontonkan permusuhan di ruang publik.
Bahkan orang awam pun tahu, konflik batin diselesaikan dengan dialog, bukan dengan memenjarakan.
“Bukanlah orang kuat itu yang menang dalam bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan amarahnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Langkah hukum yang diambil terhadap tetangga sendiri, apalagi terhadap ketua RT dan RW, telah mengundang reaksi luas.
Dugaan pun muncul bahwa laporan tersebut bukan murni karena prinsip, melainkan demi keuntungan pribadi. Jika benar, maka seseorang tersebut telah melepas rasa malu yang menjadi perisai utama akhlak.
“Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah sesukamu.”
(HR. Bukhari)
Krisis Akhlak, Krisis Keteladanan.
Fenomena ini menandai perubahan zaman yang mengkhawatirkan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengingatkan, hak tetangga hampir menyerupai hak kerabat.
Menyakiti mereka adalah bentuk keburukan akhlak yang nyata. Ulama sejati selalu menjaga martabat tetangganya, bahkan dalam perbedaan.
“Sesungguhnya kalian hidup di zaman di mana ulama banyak dan para pembicara sedikit. Akan datang suatu zaman di mana para pembicara banyak dan ulama sedikit.”
(Hilyatul Awliya’, Abu Nu’aim)
Di era ketika media sosial menjadi pisau bermata dua, para tokoh agama semestinya tampil sebagai penjaga nalar dan akhlak umat, bukan malah memperkeruh suasana. Apalagi jika masalah yang terjadi masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Doa Sebagai Tameng Fitnah Zaman.
Dalam kondisi seperti ini, hanya dengan doa dan introspeksi diri umat dapat bertahan dari derasnya fitnah. Rasulullah mengajarkan kita untuk memohon perlindungan dari segala arah:
> اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ،
> اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي، وَدُنْيَايَ، وَأَهْلِي، وَمَالِي،
> اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي، وَآمِنْ رَوْعَاتِي،
> اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِي، وَعَنْ يَمِينِي، وَعَنْ شِمَالِي، وَمِنْ فَوْقِي،
> وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِ
“Ya Allah, aku memohon keselamatan di dunia dan akhirat. Aku memohon ampunan dan keselamatan dalam urusan agamaku, duniaku, keluargaku, dan hartaku…”
Penutup: Saatnya Kembali ke Akhlak.
Tulisan ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mengingatkan. Bahwa tugas utama seorang kyai adalah menjadi rahmat bagi sekelilingnya, sebagaimana risalah Nabi:
“Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiya: 107)
Semoga kita semua kembali kepada adab, akhlak, dan rasa malu yang menjadi benteng umat dari kehancuran moral. Dan semoga para kyai kembali menjadi pelita bagi lingkungannya bukan sumber bara konflik. (Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan
Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam