Opini
Krisis Kepemimpinan, Non Wartawan Kembali Nahkodai Dewan Pers

Jakarta– Awan hitam kembali menyelimuti langit pers nasional. Sederet jurnalis berpengalaman rela membiarkan pers Indonesia dinahkodai figure non wartawan. Dewan Pers Periode 2025 -2028 kini diketuai Komarudin Hidayat, sosok yang tidak memiliki pengalaman di bidang pers.
Bisa dibayangkan jika lembaga profesi pelaut dipimpin seorang ahli bangunan, pasti gak nyambung. Sama halnya dengan pers Indonesia. Lembaga independen Dewan Pers yang mengatur ruang lingkup profesi di bidang pers ini justeru berkali-kali dinahkodai orang yang tidak pernah mengalami pengalaman liputan di tengah panas terik matahari.
“The right man on the right place” atau “orang yang tepat di tempat yang tepat” sepertinya tidak berlaku di institusi pers ini. Padahal sejatinya setiap individu harus ditempatkan pada posisi atau peran yang sesuai dengan kompetensi, kemampuan, keterampilan, dan potensi mereka.
‘Kapal’ Pers Indonesia itu seharusnya dinahkodai wartawan sejati yang berpengalaman dan pernah merasakan suka duka meliput di lapangan. Memahami betapa sulitnya Perusahaan pers memenuhi biayai operasional medianya.
Jika tidak paham cara mengemudikan ‘kapal’ pers Indonesia, bisa-bisa nahkodanya melencengkan arah tujuan dan kapal karam di tengah kerasnya suhu politik dalam negeri dan ancaman geopolitik dunia yang kian memanas.
Kemerdekaan Pers Indonesia Terus Merosot.
Tak heran sejak Dewan Pers dipimpin Ninik Rahayu, sosok yang minim pengalaman di bidang pers, kondisi Pers Indonesia sejak 2022 – 2025 makin terpuruk. Buktinya, pada tahun 2024 lalu, Dewan Pers sendiri mengumumkan secara terbuka bahwa Indeks kemerdekaan pers Indonesia tahun 2023 berada di posisi 71,57 atau menurun cukup tajam dibandingkan IKP tahun 2022 yang mencapai 77,88.
Bahkan IKP Indonesia kembali turun pada tahun 2024 yang hanya pada angka 69,36 atau turun 2,21 poin dibandingkan tahun 2023 di posisi 71,57.
Tak hanya penurunan skor IKP, berdasarkan laporan Reporters Without Borders (RSF) dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024, Indonesia berada di peringkat ke-111 dari 180 negara, yang menandakan penurunan dari tahun 2023 di posisi ke-108.
Dalam Laporan World Press Freedom Index 2025 yang dirilis Reporters Without Borders (RSF) pada 2 Mei 2025, indeks kebebasan pers di Indonesia tercatat kian merosot hingga ke posisi 127 dari 180 negara.
Lebih parah lagi organisasi konstituen Aliansi Jurnalis Independen – AJI merilis hasil studinya pada Maret 2025 yang menunjukkan, 75,1 persen jurnalis di Indonesia pernah mengalami kekerasan, baik fisik maupun digital. Laporan ini didasarkan survei terhadap 2.020 jurnalis di Indonesia.
Kondisi ini tentunya menggambarkan betapa buruknya kehidupan pers Indonesia ketika ditangani orang yang tidak memiliki kompetensi, pengalaman, pengetahuan dan keterampilan di bidang pers.
Legalisasi ‘Pelacuran Pers’ Gunakan Uang Rakyat.
Fenomena buruknya potret kehidupan pers ini diprediksi bakal terus berlanjut. Ketika orang yang tidak berpengalaman di bidang pers dipaksa menahkodai Dewan Pers, lagi-lagi kehidupan pers nasional bakal makin terpuruk.
Lihat saja praktek ‘pelacuran pers’ media kian merajalela di berbagai daerah dan Dewan Pers malah semakin kebablasan membiarkan idealisme pers diobral murah. Pemerintah Daerah pun seolah mendapat durian runtuh untuk ikut melegalkan ‘pelacuran pers’ tersebut agar para pejabat bisa dengan mudahnya mengontrol media, bukan sebaliknya.
Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menyebutkan : “dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independent.”
Artinya Dewan Pers berkewajiban melindungi kemerdekaan pers dengan menyarankan pejabat Pemda melakukan kontrak kerjasama publikasi media melalui tender dengan pihak ketiga. Hal itu penting untuk menempatkan Perusahaan Media menerima orderan melalui pihak ketiga untuk menjaga independensi.
Dengan cara itu wartawan akan sangat bebas menjalankan fungsi kontrol sosial, termasuk meliput dan memberitakan kasus korupsi pejabat tanpa takut dipecat perusahan media karena kontrak kerjasama terancam diputus sepihak.
Sayangnya, bertahun-tahun kondisi ini terus berlangsung. Dampak buruknya, pengawasan pers menjadi sangat minim terhadap kinerja pemerintahan. Tak heran berjejeran kepala daerah terlibat kasus korupsi ditangkap aparat hukum karena bablas mencuri uang rakyat tanpa diawasi pers.
Dan mirisnya seluruh organisasi konstituen Dewan Pers tidak ada yang menentang kebijakan Dewan Pers melegalkan ‘pelacuran pers’ di seluruh Indonesia, malahan kelompok konstituen ini menarik keuntungan dari proyek pencitraan pejabat koruptor menggunakan uang rakyat.
Gerombolan perusak kemerdekaan pers ini justeru menikmati privilege atau hak Istimewa sebagai kakitangan Dewan Pers. Karpet merah digelar khusus untuk anggotanya para konstituen Dewan Pers di berbagai daerah, menikmati uang rakyat demi kepentingan pribadi dan pencitraan pejabat koruptor.
Nasib 47 Ribu Media Pers
Dewan Pers pada tahun 2020 memperkirakan jumlah media pers sebanyak 47.000 yang terdiri dari 43.300 media daring, 2.000 media cetak, 674 media radio, dan 523 media televisi. Sejak dirilis tahun 2020, faktanya tahun 2025 ini, Dewan Pers mencatat dalam situs resminya hanya 1156 media pers yang didata dengan menggunakan istilah terverifikasi faktual dan terverifikasi administrasi.
Kondisi ini dari sisi peningkatan kuantitas tentunya sangat bertentangan dengan tujuan dibentuknya Dewan Pers sebagaimana dijelaskan dalam lembar penjelasan atas UU Pers. Disebutkan : Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional.
Faktanya data peningkatan kuantitas media di Dewan Pers justeru sangat minim karena hanya 1156 media pers yang dinyatakan terverifikasi DP dari total sekitar 47 ribu media.
Eks Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu kepada media TEMPO mengklarifikasi bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada waktu lahir tidak mengenal pendaftaran bagi perusahaan pers.
Ketika itu Ninik mengatakan, pendataan perusahaan pers merupakan stelsel pasif dan mandiri. Artinya, perusahaan pers yang berinisiatif untuk mengajukan diri agar diverifikasi (didata) oleh Dewan Pers sesuai Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan DP/I/2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers.
Mengacu dari keterangan Ninik ini, bagaimana mungkin Dewan Pers mendorong Pemda membuat regulasi Kerjasama Media dengan Perusahaan yang terverifikasi, padahal pendataan Perusahaan merupakan stelsel pasif dan mandiri. Hal ini tentunya barakibat terjadi diskriminasi terhadap puluhah ribu perusahaan media yang belum mengikuti pendataan verifikasi di Dewan Pers.
Selama kurun waktu 5 tahun terakhir ini, hampir tidak ada terobosan yang dilakukan Dewan Pers untuk meningkatkan kuantitas pers nasional. Kondisi kehidupan pers nasional justeru makin terpuruk.
Lihat saja berbagai media nasional merilis berita bahwa industri media di Indonesia sedang berada di ujung tanduk. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terus melanda berbagai perusahaan media nasional, termasuk platform digital, seiring dengan penutupan sejumlah media besar di Indonesia, salah satunya adalah media GATRA.
Marjinalisasi pers di Indonesia.
Persoalan lain sektor pers adalah belanja iklan nasional yang mencapai angka fantastis ratusan triliun rupiah pertahun ternyata tidak terdistribusi merata ke seluruh daerah. Semua hanya terpusat di Jakarta.
Lebih miris lagi, angka belanja iklan ratusan triliun rupiah itu hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha media nasional berdomisili di Jakarta. Dengan alsan bisnis, produsen pengguna jasa periklanan hanya diarahkan beriklan di media nasional di Jakarta.
Perusahaan Pers lokal tidak diberi akses untuk bisa ikut menikmati belanja iklan nasional. Media mainstream atau media arus utama nasional justeru dibiarkan memonopoli iklan selama puluhan tahun.
Tak ada satu pun upaya dari Dewan Pers memperjuangkan triliunan rupiah belanja iklan nasional tersebut terdistribusi ke Perusahaan Pers lokal. Pihak Pemerintah Pusat pun turut membiarkan terjadinya Marjinalisasi pers di Indonesia.
Media lokal malahan dipaksa ‘melacurkan’ diri bekerjasama dengan Pemerintah Daerah meski dengan nilai kontrak yang sangat minim. Sementara iklan komersil produk dagang di daerah hanya ditempatkan di media nasional.
Kesejahteraan Pers Terabaikan.
Maraknya pendirian perusahaan pers berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), belum disentuh kebijakan pemerintah. Pers sejatinya memang harus independent. Namun perusahaan pers tetap harus tunduk pada ketentuan perundang-undangan.
Pemerintah telah membuat regulasi bahwa setiap Perusahaan wajib membayar gaji karyawan dengan standar UMR (Upah Minimum Regional). Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003 yang direvisi melalui UU Cipta Kerja) melarang pengusaha membayar upah di bawah UMR.
PT yang tidak membayar gaji sesuai UMR (Upah Minimum Regional) atau UMP (Upah Minimum Provinsi) dapat dikenakan sanksi pidana dan/atau denda. Sanksi ini diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan, seperti Pasal 185 UU Ketenagakerjaan yang diubah oleh UU Cipta Kerja.
Sanksi Pidananya, perusahaan dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun. Selain pidana penjara, perusahaan juga dapat dikenakan denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta. Kemudian Sanksi Administratif, yakni denda administrative maksimal Rp1 juta atau kurungan hingga 3 bulan.
Namun pada kenyataannya, hampir sebagian besar perusahaan media tidak menggaji wartawannya. Kalau pun digaji, banyak wartawan yang nenerima di bawah UMR.
Kondisi ini tentunya sangat mengancam kemerdekaan pers. Wartawan yang tidak sejahtera cenderung gampang menjual idealismenya. Sudah menjadi rahasia umum, tak terkecuali media mainstream, wartawannya rata-rata masih menerima imblan amplop berisi uang dari nara sumber.
Fakta ini tidak bisa dipungkiri karena belum mampu menjamin kesejahteraan wartawan.
Pada akhir tulisan ini, pada prinsipnya penulis tetap menolak mekanisme hasil pemilihan Anggota Dewan Pers termasuk SK Penetapan oleh Presiden, karena bertentangan dengan UU Pers dan berpotensi melanggar hak konstitusional dan hak asazi manusia terhadap pimpinan dan pengurus organisasi pers non konstituen Dewan Pers.
Sebagai penutup penulis menitip asa kepada para Anggota Dewan Pers yang baru untuk berpihak pada media kecil dan wartawan lokal yang termarjinalisasi. Integritas dan ketokohan Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat memang tidak diragukan di bidang pendidikan.
Jika tetap ingin bertahan di Dewan Pers, kemampuan menangani kehidupan pers nasional perlu dibuktikan dengan memahami ketentuan yang diatur dalam UU Pers. (Red)
Oleh : Hence Mandagi – Ketua Umum DPP SPRI.
Opini
Hari Jadi Tulungagung ke-820: Saatnya Menata Ulang Prioritas Pembangunan Daerah

TULUNGAGUNG – Kabupaten Tulungagung resmi memasuki usia ke-820 tahun, sebuah capaian historis yang mengingatkan betapa panjang perjalanan daerah ini dalam mengarungi dinamika budaya, politik, dan pembangunan.
Peringatan ini seharusnya tidak berhenti sebagai tradisi seremonial, tetapi menjadi momentum refleksi: bagaimana arah pembangunan Tulungagung akan digagas untuk satu dekade ke depan?
Dikenal sebagai wilayah dengan kekayaan budaya yang kokoh mulai dari peninggalan kerajaan, kesenian jaranan, sampai tradisi agraris Tulungagung memiliki bekal kuat untuk menancapkan identitasnya di tengah perubahan zaman. Namun sekadar merawat budaya tidak lagi cukup.
Dengan potensi wisata pesisir dan seni lokal yang terus hidup, diperlukan langkah strategis untuk menjadikan unsur budaya sebagai penggerak ekonomi.
Pengembangan pariwisata berbasis sejarah, peningkatan kualitas pelaku seni, hingga penyediaan ruang kreatif publik harus masuk dalam prioritas nyata, bukan hanya rencana di atas kertas. Usia ke-820 menjadi waktu tepat untuk melahirkan kebijakan yang mampu menjembatani nilai tradisi dengan kebutuhan generasi modern.
Setahun terakhir, pembangunan infrastruktur di Tulungagung terlihat cukup pesat: perbaikan jalan, pembenahan fasilitas publik, serta revitalisasi kawasan terus digencarkan.
Meski demikian, pembangunan yang ideal tidak hanya diukur dari seberapa banyak proyek fisik yang berdiri.
Masyarakat kini menunggu hadirnya pembangunan yang menyentuh aspek yang lebih fundamental, seperti:
• Penguatan ekonomi rakyat berbasis potensi lokal,
• Pemerataan layanan pendidikan dan kesehatan,
• Penyediaan lapangan pekerjaan berkualitas untuk menekan urbanisasi,
• Digitalisasi layanan publik yang lebih transparan dan mudah diakses.
Warga berharap pembangunan tidak berhenti pada simbol kemajuan, tetapi memberikan manfaat langsung bagi kesejahteraan mereka.
Dengan slogan Hari Jadi ke-820 “Tulungagung Bersatu, Satukan Langkah untuk Tulungagung Maju” serta visi “Masyarakat Tulungagung yang Sejahtera, Maju, dan Berakhlak Mulia, Sepanjang Masa”, tahun ini terasa berbeda.
Kepemimpinan baru dengan latar belakang dunia usaha menghadirkan ekspektasi bahwa manajemen pemerintahan akan lebih profesional dan adaptif terhadap perubahan.
Namun ekspektasi membutuhkan pembuktian. Terobosan nyata yang dapat mempercepat lompatan pembangunan harus diwujudkan melalui:
• Inovasi layanan publik,
• Kolaborasi erat dengan UMKM dan sektor usaha,
• Optimalisasi kekuatan desa sebagai motor ekonomi,
• Pengelolaan anggaran yang amanah dan terukur.
Masyarakat kini menanti pemimpin yang bukan hanya berwacana, tetapi mampu menempatkan warga sebagai aktor utama pembangunan.
Usia 820 tahun adalah penanda sejarah, tetapi jauh lebih penting untuk membayangkan bagaimana Tulungagung pada usia 830 tahun mendatang.
Apakah menjadi daerah yang makin kompetitif dan modern, atau tertinggal karena kurang berani mengambil langkah besar?
Di tengah kompetisi antar-kabupaten yang semakin ketat, Tulungagung membutuhkan visi jangka panjang yang bukan hanya kuat di narasi, tapi konsisten dalam pelaksanaan.
Pemerintah, masyarakat, pelaku bisnis, serta komunitas lokal perlu berjalan dalam satu irama untuk mewujudkan daerah yang berdaya saing dan tetap berakar pada budaya.
Peringatan Hari Jadi ke-820 seyogianya menjadi pengingat bahwa perjalanan panjang tidak boleh membuat Tulungagung berpuas diri.
Tantangan ke depan menuntut arah pembangunan yang lebih inklusif, progresif, dan berorientasi pada manusia.
Hanya dengan kesatuan visi dan keberanian mengimplementasikannya, Tulungagung dapat tumbuh menjadi kabupaten yang lebih baik dan membanggakan. Selamat Hari Jadi Tulungagung ke-820. Semoga menjadi momentum kebangkitan baru bagi seluruh masyarakatnya.(DON/Red)
Oleh: Abdul Maliq Hasim, Anggota Banser Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung.
Editor: Joko Prasetyo
Opini
Transisi Kepemimpinan Global dalam Geopolitik Energi

Jakarta— Dalam salah satu pidato TED-nya, ilmuwan politik Ian Bremmer mengajukan pertanyaan sederhana tapi tajam “Who runs the world?”
Pertanyaan itu kini sulit dijawab. Dunia yang dulu dipimpin oleh satu kekuatan dominan Amerika Serikat kini berubah menjadi sistem multipolar yang cair.
Kekuasaan tersebar, koordinasi global melemah, dan aliansi lama kehilangan daya rekat.
Bremmer menyebut fenomena ini sebagai dunia G-Zero dunia tanpa pemimpin global yang jelas.
Dalam kondisi seperti ini, politik internasional lebih sering diwarnai oleh kepentingan nasional jangka pendek ketimbang visi kolektif untuk masa depan.
Namun, di balik gejolak politik ini, terdapat satu faktor kunci yang jarang dibicarakan secara mendalam yaitu geopolitik energi.
Energi Sebagai Poros Kekuasaan Dunia.
Menurut Carlos Pascual dan Evie Zambetakis dalam The Geopolitics of Energy (2010), energi bukan sekadar komoditas ekonomi, ia adalah alat kekuasaan.
Negara yang mampu mengendalikan pasokan energi, jalur distribusi, dan teknologi ekstraksi akan memiliki pengaruh politik yang luar biasa.
Contoh paling nyata terlihat dalam ketegangan antara Rusia dan Eropa. Ketergantungan Eropa terhadap gas Rusia selama dua dekade terakhir telah membentuk hubungan politik yang asimetris di mana keputusan energi sering kali menjadi senjata diplomasi.
Pascual menegaskan, “energy security is the new currency of power.” Dalam politik ekonomi global, sumber daya energi kini berfungsi layaknya cadangan devisa geopolitik.
Transisi Energi dan Politik di Asia Timur dan Tenggara.
Namun, dinamika kekuasaan ini mulai bergeser seiring masuknya era transisi energi. Studi oleh Jérémy Jammes, Éric Mottet, dan Frédéric Lasserre (2020) dari Conseil québécois d’Études géopolitiques menunjukkan bahwa Asia Timur dan Asia Tenggara kini menjadi laboratorium besar bagi politik energi baru.
Negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan bersaing dalam investasi teknologi hijau, sementara Indonesia, Vietnam, dan Malaysia bernegosiasi antara ketergantungan pada batu bara dan tekanan global untuk beralih ke energi terbarukan.
Transisi energi ini bukan hanya soal iklim, tapi juga politik ekonomi industrialisasi baru siapa yang akan menguasai rantai pasok lithium, rare earth elements, dan teknologi baterai menjadi pertaruhan strategis abad ke-21.
Mediterania dan Jalur Energi Baru.
Di sisi lain, kawasan Mediterania muncul sebagai pusat energi strategis bagi Eropa. Jalur pipa gas dari Afrika Utara, proyek offshore gas di Laut Tengah, hingga ekspansi terminal LNG menjadikan wilayah ini kunci dalam strategi diversifikasi Eropa.
Keseimbangan baru ini menunjukkan bahwa geopolitik energi kini lebih kompleks, tidak lagi dikontrol oleh segelintir negara produsen, melainkan oleh jaringan ekonomi politik global yang menghubungkan negara, korporasi, dan pasar.
Politik Ekonomi Transisi Antara Pasar dan Kedaulatan.
Dari perspektif politik ekonomi, transisi energi global menggambarkan tarik-menarik antara dua kutub kedaulatan nasional dan mekanisme pasar global.
Negara membutuhkan kebijakan industri strategis untuk menjaga kemandirian energi, namun pada saat yang sama tidak bisa lepas dari tekanan pasar internasional dan investor hijau.
Dalam konteks ini, kebijakan energi bukan hanya soal efisiensi atau emisi karbon, melainkan juga tentang siapa yang mengatur arah akumulasi kapital global. Seperti diingatkan Jammes dkk.
Transisi energi bisa memperkuat ketimpangan baru antara negara produsen bahan baku dan negara penguasa teknologi hijau.
Demokrasi dan Tantangan Kepemimpinan Global.
Ian Bremmer menutup refleksinya dengan peringatan jika dunia tanpa pemimpin, maka tanggung jawab kepemimpinan harus berpindah ke masyarakat global.
Demokrasi hanya bertahan jika warganya sadar akan keterlibatan mereka dalam sistem ekonomi-politik global yang memengaruhi kehidupan sehari-hari mulai dari harga energi hingga arah investasi publik.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, politik energi menjadi cermin politik manusia siapa yang berani berpikir melampaui kepentingan jangka pendek untuk masa depan bersama.
Dunia tidak lagi dikendalikan oleh satu kekuatan tunggal. Namun, kekuasaan baru sedang terbentuk di titik pertemuan antara energi, teknologi, dan ekonomi politik global. Pertanyaannya kini bukan lagi siapa yang menguasai dunia, tetapi siapa yang mampu memahami dan mengelola perubahan itu dengan visi jangka panjang.
Referensi.
• Bremmer, Ian. Who Runs the World? (TED Talk, 2022).
• Pascual, Carlos & Zambetakis, Evie. The Geopolitics of Energy. In Energy Security: Economics, Politics, Strategies, and Implications, 2010.
• Jammes, Jérémy; Mottet, Éric; Lasserre, Frédéric. East and Southeast Asian Energy Transition and Politics. Conseil québécois d’Études géopolitiques, 2020. (By/Red)
Oleh: Yuwono Setyo Widagdo, S.Sos., MH.
Opini
Santri dan Resolusi Jihad di Era Modern

Jakarta — Sejak sebelum subuh, kehidupan pesantren sudah berdenyut. Para santri telah menunaikan tugas wajibnya: tahajud dan wirid. Namun pagi Rabu (22/10/2025) itu terasa berbeda.
Seusai wirid Subuh dan pengajian tafsir, para santri bergegas membersihkan diri, tampak lebih rapi dari biasanya.
Melihat pemandangan itu, Kyai Badrun tersenyum sambil bertanya.
“Khok sudah mandi? Biasanya kan menjelang Dzuhur baru mandi?”
Salah seorang santri menjawab.
“Kita semua ikut upacara, Kyai. Bahkan ada yang jadi petugas.”
Sang Kyai menggoda.
“Ah, ini pasti cuma alasan supaya libur ngaji, ya?”
Santri itu tertawa lalu menjawab,
“Kyai, hari ini itu hari kita, Kyai. Hari Santri. Sekali-kali santri juga harus keren.”
Dialog sederhana itu menggambarkan kebanggaan para santri menyambut Hari Santri Nasional (HSN).
Di berbagai penjuru negeri, peringatan ini dirayakan dengan penuh semangat, mengenang Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang digelorakan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Jombang sebuah seruan suci untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pesantren Sebagai Benteng Moral Bangsa.
Bagi saya, yang dibesarkan di lingkungan pesantren dan kini diberi amanah untuk merintis pesantren sendiri, pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi sebuah sistem kehidupan yang khas dan paripurna.
Pesantren mengajarkan kemandirian, bukan ketergantungan. Prinsipnya sederhana: tubuh harus menyesuaikan selimut, bukan sebaliknya. Dengan segala keterbatasan, pesantren tetap menempatkan ilmu sebagai pusat peradaban.
Fasilitas boleh seadanya, tetapi pembelajaran tetap utama sebagai proses pengkaderan risalah dan jalan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Dari sarana sederhana itu, pesantren mendidik jiwa dan akhlak sebuah proses tazkiyatun nafs, penyucian diri. Proses ini tidak bisa dijalankan tanpa kehadiran murobbi (pendidik ruhani), yang di dunia pesantren dikenal sebagai kyai.
Kyai: Figur Epistemik dan Penjaga Adab.
Dalam tradisi pesantren, kyai bukan hanya pengajar, tetapi juga figur epistemik: penjaga ilmu, akhlak, dan adab. Santri tidak hanya belajar kitab, tetapi juga belajar hidup.
Banyak ilmuwan besar mungkin menguasai teori, tapi tak semua memiliki khasanah adab santri terhadap kyainya.
Di pesantren, adab tidak berdiri sendiri ia menyatu dengan ilmu, khidmat, amal, akhlak, dan ngalap berkah. Inilah fondasi moral yang membuat pesantren bertahan ratusan tahun.
Jihad Ala Pesantren.
Resolusi Jihad 1945 menjadi bukti bahwa pesantren tidak hanya mendidik, tetapi juga berjihad. Para kyai kala itu berjuang dengan dua senjata: doa dan tindakan nyata. Mereka salat, puasa, berdzikir, membaca hizib, dan pada saat yang sama turun ke medan laga.
Suwuk kyai kala itu diyakini menjadi pelindung batin para pejuang. Semangat perjuangan itu adalah wujud dari hubbul wathan minal iman cinta tanah air sebagian dari iman.
Dari Tebuireng ke Indonesia.
Pasca-kemerdekaan, para santri tetap mengabdi kepada bangsa. Dari Tebuireng lahir KH. Wahid Hasyim, tokoh penting yang melahirkan Departemen Agama pada 1946.
Dari rahim pesantren pula lahir presiden, menteri, cendekiawan, hingga diplomat yang membawa semangat keislaman dan kebangsaan secara seimbang.
Kini, setelah disahkannya Undang-Undang Pesantren (2019), perjuangan kaum santri memasuki babak baru. Pemerintah tengah menyiapkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren, sebagai bentuk pengakuan negara terhadap sistem pendidikan khas pesantren.
Namun, perlu diingat: Ditjen Pesantren tidak boleh mengubah jati diri pesantren. Justru ia harus menjadi instrumen untuk mengangkat khasanah pesantren dengan tata kelola modern tanpa menghilangkan ruhnya.
Santri masa kini harus menjadi insan tafaqquh fiddin (mendalami agama) yang juga menguasai sains dan teknologi.
Pendidikan pesantren harus diakui sejajar dengan pendidikan formal, tanpa kehilangan karakter keikhlasan dan kemandirian.
Pesan Hari Santri.
Dalam momentum Hari Santri 2025 ini, saya sengaja menghadirkan Prof. Dr. KH. Imam Suprayogo, tokoh yang menghadirkan model pendidikan pesantren di kampus UIN Malang.
Gagasannya kemudian diikuti banyak UIN di Indonesia.
Beliau menegaskan, sistem pendidikan pesantren adalah yang terbaik dan paling paripurna bukan hanya mengajarkan ilmu, tapi juga menghidupkan akhlak, adab, dan kemandirian.
“Pendidikan formal seharusnya belajar dari sistem pesantren,” tegasnya.
Santri, Pilar Negeri.
Bagi saya, Hari Santri bukan sekadar peringatan seremonial, tetapi perwujudan komitmen kaum santri untuk terus berkhidmat menjaga negeri.
Pesantren telah melahirkan generasi yang mencintai ilmu dan tanah air. Dari ruang-ruang kecil beralaskan tikar, lahir jiwa-jiwa besar yang siap memimpin bangsa.
Di tengah arus globalisasi dan krisis moral, hanya pesantren yang mampu menjaga ruh keindonesiaan dan keislaman secara utuh. Maka, memperkuat pesantren berarti memperkuat masa depan bangsa.
Santri hari ini adalah pemimpin masa depan.
Semoga Allah Ta’ala selalu memberkahi langkah para santri dalam berjihad di jalan ilmu dan menjaga negeri. (DON/Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan
Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam
Nasional3 minggu agoWarga Desa di Blitar Swadaya Tambal Jalan Rusak Parah, Minta Perhatian Pemkab
Redaksi14 jam agoPinka Kian Kumuh, Warga Geram PKL Tinggalkan Tenda dan Sampah Usai Jualan
Jawa Timur3 minggu agoKoperasi Kelurahan Merah Putih Khawatir Mafia Pangan Kuasai Program MBG di Blitar
Redaksi1 minggu agoMeresahkan! Copet Berkedok Wartawan Gadungan Ditangkap di Tengah Keramaian HUT Tulungagung
Jawa Timur2 hari agoAroma Korupsi dan Kerusakan Lingkungan: Protes Warga Ngepoh Meletup soal Proyek Shangrila Memorial Park
Redaksi1 hari agoJebakan Maut! Jalan Baru ke Segawe Berlumpur, Truk Galian C Diduga Biang Kerok
Redaksi2 hari agoRatusan Komunitas Jazz GE8 Jatim Meriahkan Anniversary ke-2 di Ranting Sewu Pasuruan
Nasional2 minggu agoKKMP Suarakan Kekhawatiran, Pemkab Blitar Pastikan MBG Tidak Dikuasai Mafia Pangan












