Redaksi
Perang Raja-Raja Mataraman: Pacitan vs Solo di Panggung Pemilu 2029
Jakarta— Di tanah subur Mataraman hamparan budaya Jawa timuran yang merawat keteduhan Majapahit dan ketegasan Mataram sedang bergolak sebuah peperangan yang tidak memakai keris, namun jauh lebih tajam: perang merebut hati rakyat.
Inilah pentas besar dua poros, dua dinasti, dua gaya kepemimpinan. Dua “raja modern” dari jantung kebudayaan Jawa.
Di satu sisi berdiri Susilo Bambang Yudhoyono, putra Pacitan, pewaris tradisi prajurit yang teduh, penuh perhitungan, dan bergerak dalam diam. Dari tanah karst Pacitan yang keras namun melahirkan jiwa-jiwa sabar, SBY menata jejaring politiknya seperti barisan laskar Mataram yang teratur pada masa Sultan Agung: senyap, tetapi menghunjam tepat pada waktunya.
Di sisi lain, dari kota Solo yang luwes namun tajam, bangkit Joko Widodo. Ia menguasai seni politik blusukan, tetapi menjelang 2029 ia mengubahnya menjadi gerilya kultural: menyebar kader, simpatisan, dan jaringan pengaruh seperti laskar-laskar kecil yang masuk ke setiap pasar, gang, dan simpul ekonomi rakyat.
Keduanya lahir dari akar budaya yang sama: Mataraman wilayah yang disiplin, religius, paternalistik, dan setia pada figur pemimpin.
Dan justru karena kesamaan inilah, pertarungan mereka menjadi semakin genting.
Babak I — Gerakan Senyap Pacitan.
Dari Puri Cikeas, para penasihat SBY membentangkan peta politik Mataraman:
Pacitan, Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, hingga sebagian Jawa Tengah. Mereka tahu: siapa menguasai Mataraman, ia menguasai separuh nadi pulau Jawa.
Strategi SBY tersusun dalam tiga lapis:
- Reaktivasi Jaringan Pacitan–Madiun–Ngawi–Magetan. Layaknya panglima Mataram yang memanggil kembali prajurit Widodaren, loyalis lama dihidupkan kembali.
- Pendekatan Intelektual & Aparatur
Sosok SBY yang rasional dan santun kembali menarik PNS, guru, tokoh organisasi, dan pejabat daerah ke orbitnya. - Taktik “Perisai Biru” Demokrat
Bukan serangan frontal, melainkan pembangunan simpati lewat isu stabilitas dan nostalgia kejayaan 2004–2014.
Gerakan SBY mengalir seperti Bengawan Solo: tampak tenang, namun diam-diam menggerus tepiannya.
Babak II — Serangan Lembut dari Solo.
Sementara itu di Solo, Jokowi tak lagi bergerak sebagai presiden, tetapi sebagai penguasa moral-politik yang masih memegang energi massa.
Taktik yang ia bangun:
- Gerilya Infrastruktur Sosial
Relawan lama dihidupkan kembali lebih cair, lebih muda, lebih organik. - Siasat “Pasar dan Gang-Gang Kecil”
Jokowi memahami wong Mataraman: mereka percaya pada yang hadir, bukan yang hanya pasang baliho.
Maka tokoh-tokoh dekatnya dikirim ke desa-desa sebagai simbol konsistensi. - Aliansi Penguasa Daerah
Figur kepala daerah dan penggerak ormas yang tumbuh di era Jokowi menjadi tulang punggung pasukannya.
Serangannya adalah gelombang halus tidak terlihat sebagai badai, tetapi tiba-tiba memenuhi seluruh pantai.
Babak III — Rebutan Takhta Budaya Mataraman.
Pemilu 2029 menjelma lebih dari adu program. Ia berubah menjadi adu legitimasi budaya.
- SBY hadir sebagai “Raja Mataram yang bijak”, lambang stabilitas dan ketertiban ala Sri Sultan HB II.
- Jokowi tampil sebagai “Raja Rakyat”, figur pemimpin yang membumi, sebagaimana Panembahan Senopati yang dekat dengan petani dan tanah.
Setiap kubu memiliki trah, kawulo, dan laskar politik-nya sendiri. Benturan mereka terjadi di berbagai titik:
- Di Ngawi, posko biru Demokrat berdiri berhadapan dengan markas relawan pro-Jokowi.
- Di Madiun, pesantren, tokoh budaya, dan paguyuban terbelah dua.
- Di Wonogiri dan Klaten, perang opini berlangsung dari warung soto sampai ruang digital.
Mataraman yang dulu satu payung, kini menjadi medan perang epik.
Babak IV — Siapa “Raja Mataraman” 2029?
Tidak ada keris, tetapi strategi. Tidak ada pasukan kavaleri, tetapi mesin partai dan relawan. SBY membawa kehormatan Pacitan. Jokowi membawa kebanggaan Solo.
Keduanya menatap takhta besar: ceruk suara Mataraman, palagan penentu Jawa dan Jawa tetap kunci Indonesia.
Pertarungan ini pada akhirnya bukan cuma soal pemenang suara. Ia adalah pertarungan tentang siapa yang berhasil menjadi “Raja Mataraman Modern”, pemegang legitimasi moral-politik di wilayah budaya yang membentuk nadi pulau Jawa selama berabad-abad.
Dari sanalah masa depan politik Indonesia 2029 akan tertulis: apakah mengalir ke Pacitan atau ke Solo, ke strategi sunyi atau gerilya rakyat, ke raja yang teduh atau raja yang lincah. (By/Red)
Oleh: Suga Ayip JBT Rewok, Pengamat Politik Budaya Nusantara