Opini
Profesionalisme Media dan Wartawan Wajib Menjunjung KEJ

Oleh: Yusufil Hamdani SH., MH, (Kuasa Hukum Kospin Serba Mulia)
JAKARTA, – Sebagai Advokat, saat ini saya sedang menangani perkara di salah satu lembaga keuangan berbasis koperasi, yakni Koperasi Simpan Pinjam (Kospin) Serba Mulia.
Dalam menangani perkara ini, klien saya sangat terbuka terhadap kritik dan masukan dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan media, sepanjang kritik tersebut membangun, berimbang, dan sesuai dengan kaidah jurnalistik yang berlaku.
Di era digital saat ini, media online tumbuh pesat dan nyaris mendominasi ruang informasi di Tanah Air. Namun, kemajuan ini juga harus diiringi dengan peningkatan profesionalisme.
Media dan wartawan yang beroperasi di ruang publik wajib memahami bahwa mereka memikul tanggung jawab besar dalam menyampaikan informasi yang benar, akurat, dan tidak menyesatkan.
Oleh karena itu, kompetensi wartawan dan kredibilitas perusahaan pers menjadi pilar utama dalam menjaga marwah pers nasional.
Salah satu prinsip penting dalam dunia jurnalistik adalah Ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ). KEJ mengatur bahwa wartawan wajib menyampaikan informasi secara berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta wajib melakukan verifikasi terhadap informasi dan narasumber.
Sayangnya, klien saya mengalami langsung contoh buruk dari praktik jurnalistik yang tidak memenuhi standar tersebut.
Beberapa media di Jawa Timur memberitakan kasus yang melibatkan salah satu nasabah Kospin secara sepihak, tanpa melakukan konfirmasi atau wawancara dengan klien saya sebagai pimpinan koperasi yang sangat berkompeten dalam memberikan keterangan.
Hasilnya, berita menjadi tidak berimbang dan cenderung menghakimi, bukan mengedukasi.
Untuk meluruskan, izinkan saya menjelaskan duduk perkara yang saya sedang tangani.
Kospin Serba Mulia adalah koperasi yang telah berbadan hukum dan memiliki izin resmi dari Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Koperasi dan UKM RI.
Salah satu nasabah kami, Sdr. Praditya Ardinugroho, telah menerima dua fasilitas pinjaman dari koperasi kami setelah memenuhi syarat administrasi, termasuk penandatanganan dokumen perjanjian kredit serta jaminan berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Dr. Emy Susanti, yang disetujui pula oleh Drs. Win Hendarso.
Pinjaman tersebut seharusnya dilunasi pada Mei 2020. Namun hingga waktu yang ditentukan, Sdr. Praditya hanya membayar bunga tanpa mengangsur pokok pinjaman.
Meski klien saya telah melayangkan tiga kali surat peringatan, tidak ada tanggapan konkret dari yang bersangkutan. Bahkan, lima lembar cek yang sempat diberikan pun ditolak bank karena dana tidak mencukupi.
Kami sempat menawarkan solusi berupa pelelangan objek jaminan, namun ditolak. Sebagai jalan tengah, objek jaminan tersebut kemudian ditawarkan kepada anggota koperasi lain dan disepakati untuk dijual.
Meski diberikan waktu untuk menebus kembali properti tersebut hingga Oktober 2024, Sdr. Praditya tidak mampu melakukannya. Maka, kepemilikan objek jaminan tersebut telah sah beralih kepada pembeli, dan dananya digunakan untuk melunasi kewajiban pinjaman.
Sayangnya, beberapa media tersebut tidak menulis berita dengan lengkap dan terkesan sepihak. Ini menimbulkan persepsi yang keliru terhadap sebuah kasus yang seolah-olah menyalahkan klein saya. Ini jauh dari harapan sebagai media yang profesional.
Sebagai Advokat, saya memahami hak setiap warga negara untuk menempuh jalur hukum, dan klien kami siap menghadapi proses hukum yang kini sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya.
Kami percaya bahwa jalur hukum adalah mekanisme terbaik untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum, baik dalam perkara perdata maupun pidana.
Dari pengalaman ini, sebagai Advokat saya mengingatkan kembali kepada seluruh insan pers, baik media maupun wartawan, untuk kembali ke marwah jurnalistik yang sesungguhnya.
Gunakanlah Kode Etik Jurnalistik sebagai pedoman utama dalam bekerja. Hindari pemberitaan yang tendensius, menghakimi, dan tanpa verifikasi, karena hal ini bukan saja merugikan narasumber, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap media.
Media memiliki kekuatan besar untuk mencerdaskan bangsa, dan wartawan adalah ujung tombaknya. Maka, mari bersama-sama menjaga integritas profesi ini dengan menjunjung tinggi prinsip etika, profesionalisme, dan tanggung jawab sosial.
Dengan demikian, kemerdekaan pers yang telah kita raih dan nikmati hingga saat ini bisa terus kita jaga dan rawat secara bermartabat.(*)
Opini
Menjaga Marwah Jurnalisme: Wartawan Tak Bisa Rangkap Jabatan, Apalagi ASN

Foto, Mahmud Marhaba, Ketum DPP PJS dan Ahli Pers Dewan Pers, (dok/ist)
JAKARTA, – Profesi wartawan bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah panggilan etika, penjaga informasi publik, dan penyambung nalar demokrasi. Wartawan dituntut untuk independen, kritis, dan berdedikasi penuh terhadap tugas-tugas jurnalistik yang mereka emban.
Oleh karena itu, menjadi wartawan tidak bisa dilakukan setengah hati, apalagi disambi dengan jabatan struktural lain, seperti ASN, pengurus LSM, bahkan profesi hukum sekalipun.
Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh laporan sebuah media daring yang membongkar praktik jual beli kartu identitas wartawan kepada Aparatur Sipil Negarai (ASN) dengan tarif antara Rp400.000 hingga Rp500.000.
Praktik ini tidak hanya memalukan, tapi mencoreng wajah jurnalisme profesional di Indonesia. Wartawan sejati tidak bisa dibentuk dalam ruang transaksional yang bertabrakan dengan integritas dan kode etik.
Sebagai Ahli Pers Dewan Pers, saya menyesalkan tindakan media yang memberikan atau memperjualbelikan kartu wartawan kepada pihak yang tidak memenuhi syarat, khususnya ASN.
Dewan Pers wajib memanggil pemimpin redaksi media tersebut untuk klarifikasi dan, bila terbukti, menjatuhkan sanksi tegas sesuai dengan aturan yang berlaku.
Wartawan dan Pers Tak Bisa Dijalankan Sambil Lalu
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik yang mencakup: mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi atau sering kita kenal sebagai (6M).
Aktivitas ini memerlukan dedikasi penuh waktu, kemampuan profesional, dan pemahaman kode etik jurnalistik yang dalam.
Dengan 6M tersebut, wartawan tidak hanya menulis berita. Ia harus terjun ke lapangan, melekukkan verifikasi data, mewawancarai narasumber, menjaga keseimbangan informasi, dan mempublikasikan secara bertanggung jawab.
Maka, bagaimana mungkin seorang ASN yang memiliki kewajiban penuh terhadap negara dapat menjalankan tugas jurnalistik secara profesional dan independen?
Menolak Konflik Kepentingan, Menjaga Independensi
Mengapa ASN, TNI/Polri, pengacara, dan pengurus LSM tidak memperkenankan menjadi wartawan aktif? Jawabannya jelas, konflik kepentingan.
Wartawan adalah mata dan telinga publik. Ia harus berdiri netral, tidak memihak, dan bebas dari tekanan institusional. Seorang ASN tentu terikat pada struktur birokrasi yang bisa mengaburkan objektivitasnya sebagai jurnalis.
Bila seorang penjabat negara juga menyandang identitas wartawan, bagaimana ia dapat melakukan kritik terhadap sistem yang menghidupkannya?
Dalam Pedoman Organisasi Pers dan kebijakan Dewan Pers, larangan rangkap jabatan ini merupakan bentuk perlindungan terhadap independensi pers.
Dewan Pers sendiri secara tegas dalam berbagai forum menyatakan bahwa wartawan harus fokus dan bebas dari benturan kepentingan apa pun. Tidak ada ruang abu-abu dalam dunia jurnalisme.
Panggilan kepada Dewan Pers dan Aparat Penegak Hukum
Praktik jual beli kartu wartawan tidak hanya merugikan citra profesi, tapi bisa digunakan untuk kepentingan manipulatif seperti pemerasan, intervensi kebijakan, hingga pelanggaran etik di instansi pemerintah. Ini adalah alarm serius.
Dewan Pers harus mengambil langkah cepat, tegas, dan menyeluruh terhadap media-media yang dengan sengaja melanggar prinsip dasar profesi jurnalistik. Selain itu, aparat penegak hukum juga harus memahami peran strategis pers.
Mereka wajib membedakan antara wartawan profesional yang bekerja berdasarkan kode etik dan oknum yang menyalahgunakan atribut wartawan untuk kepentingan pribadi.
Menjaga Marwah Pers, Menjaga Masa Depan Demokrasi
Jika profesi wartawan terus dibiarkan dirusak oleh oknum yang tidak kompeten dan tidak memahami etika, maka kita sendang membiarkan jurnalisme terjerumus menjadi alat pencitraan dan kepentingan kelompok.
Ini bukan saja mengancam integritas media, tapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap peran pers sebagai pilar keempat demokrasi.
Sebagai insan pers, sebagai pemimpin organisasi, dan sebagai Ahli Pers Dewan Pers.
Saya menyerukan kepada seluruh pemangku kepentingan, baik media, lembaga pemerintah, ASN, dan organisasi masyarakat sipil, untuk menjaga martabat profesi wartawan.
Profesi ini bukan milik semua orang. Ia adalah milik mereka yang siap menegakkan kebenaran, menjunjung etika, dan berdedikasi penuh kepada kepentingan publik.
Oleh: Mahmud Marhaba (Ahli Pers Dewan Pers, Ketua Umum DPP Pro Jurnalismedia Siber – PJS)
Opini
Dewan Pers Kunjungi Mahkamah Agung Ditengah Sorotan Kasus Korupsi

Keterangan foto : Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat bersama jajaran pengurus Dewan Pers melakukan kunjungan ke Mahkamah Agung (MA) pada Jumat (16/5/2025) pagi. Dok :Humas MA
JAKARTA,- Sederet kasus korupsi dan praktek suap yang menyeret sejumlah hakim agung telah menuai kecaman publik dan sorotan media massa. Institusi Mahkamah Agung yang seharusnya menjadi benteng terakhir para pencari keadilan di negeri ini, malah menjadi ‘sarang penyamun’ dan kaki tangan para mafia peradilan.
Publik pun makin geram ketika isu ini makin viral dan media massa memberitakannya bak serial drama korea yang lagi ngehitz. Kewibawaan para Hakim Agung di MA runtuh seketika meski pelakunya hanya segelintir oknum hakim agung.
Pemberitaan media yang sangat massif ini, ternyata melahirkan kemarahan dan cacimaki warga yang menghiasi kolom komentar di media berita online maupun di media sosial.
Celakanya, di tengah sorotan keras media terhadap kasus korupsi di MA, tiba-tiba Ketua Dewan Pers dan jajarannya berkunjung ke Mahkamah Agung RI.
Selang dua hari setelah serah terima jabatan, Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat langsung tancap gas menemui Ketua MA Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., di ruang kerjanya pada Jumat (16/5).
Gerakan Komarudin cs ini sangat disayangkan. Bukannya menemui wartawan media nasional yang terancam kehilangan pekerjaannya, atau Perusahaan Pers yang terancam bangkrut, Dewan Pers justru mengawali tugas pertamanya memenuhi kepentingan pihak tertentu dengan kedok memperjuangkan kebebasan meliput wartawan di lingkungan MA.
Sulit menghilangkan pemikiran bahwa kehadiran Dewan Pers di MA bukan untuk menebar sinyal kuat agar media massa meredam isu korupsi Hakim Agung di MA. Dewan Pers boleh saja berdalih kedatangannya ke MA untuk membela kepentingan wartawan agar bebas meliput, meski pada kenyataannya selama ini tidak ada masalah peliputan di MA.
Dewan Pers perlu tahu bahwa MA selama ini tidak pernah menghalangi atau mempersulit tugas peliputan wartawan. Ketua MA dan jajaran selalu mengadakan agenda rutin tahunan yakni pertemuan dengan insan pers peliput di MA.
MA bahkan memberi kemudahan akses peliputan kepada wartawan untuk bisa menemui langsung Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Dr. H. Sobandi, S.H., M.H dalam melakukan wawancara dan konfirmasi.
Tak cuma itu, wartawan peliput MA bahkan punya grup aplikasi WhatsAp yang dihuni Karo Humas Sobandi, sehingga setiap saat wartawan bisa berkomunikasi dengan pejabat humas MA. Oleh karena itu tidak ada urgensi bagi Dewan Pers untuk menemui jajaran pimpinan MA diawal menjalankan fungsinya.
Seharusnya Dewan Pers menjaga independensi menghindari pertemuan dengan pimpinan lembaga yang sedang disorot media dan publik akibat kasus korupsi dan mafia peradilan. Dewan Pers dipandang kegenitan dan tak paham persoalan pers karena menjadikan MA sebagai target utama mengawali kepengurusannya.
Wajar saja peristiwa ini terjadi karena Ketua Dewan Pers Komarudin bukan dari kalangan wartawan. Jadi urat nadi permasalahan pers ternyata hanya bisa dideteksi kalangan wartawan. Persoalan utama pers yang butuh penanganan khusus justeru terabaikan.
Lihat saja belum ada langkah atau terobosan Dewan Pers yang mampu memberi perlindungan kepada wartawan dan media yang terkena dampak krisis. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan, sejumlah media besar nasional bakal mem-PHK wartawan.
Beberapa media pun dikabarkan tutup. PT Era Media Informasi yang mengelola majalah Gatra, situs web Gatra.com, majalah Gatra Jateng, situs Gatrapedia.com, dan kanal Gatra TV, sudah tutup duluan di 31 Juli 2024.
Pada tahun sebelumnya, PT Media Nusantara Indonesia (MNI) memutuskan untuk menghentikan penerbitan Koran SINDO versi cetak maupun versi e-paper pada 17 April 2023 lalu.
PT Cakrawala Andalas Televisi atau ANTV dikabarkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Kabar itu terjadi di tengah proses restrukturisasi utang bersama entitas induknya yakni PT Intermedia Capital Tbk (MDIA) dan PT Visi Media Asia Tbk (VIVA).
Media Tempo.co bahkan mencatat sudah ada 37 media cetak yang tutup, yakni Koran SINDO, Harian Republika, Tabloid NOVA, Majalah Mombi SD, Suara Pembaharuan, Koran Tempo, Indopos, Tabloid Bintang, Tabloid Cek & Ricek, Tabloid Bola, Majalah Gogirl, Esquire Indonesia, Majalah Rolling Stone Indonesia, Jakarta Globe, Surat Kabar Sinar Harapan, dan sejumlah media cetak lainnya.
Selain itu juga ternyata ada media televisi yang tutup, antara lain yakni Bloomberg TV, Spacetoon, Channel Kemanusiaan, dan Net TV.
Kondisi ini memerlukan perhatian serius semua pihak. Pergeseran media informasi sudah memasuki era digitalisasi informasi.
Pers harus segera berbenah diri jika tidak ingin terpinggirkan oleh beragam platform media sosial yang memberi ruang yang sangat luas kepada warga untuk menjalankan praktek jurnalistik.
Tidak bisa dipungkiri nasib puluhan ribu media online yang didalamnya ada ratusan ribu wartawan mengais rejeki, perlu juga diakomodir kepentingannya oleh pimpinan organisasi pers, termasuk pemerintah tentunya.
Dewan Pers yang ada sekarang tidak bisa diharapkan jika programnya hanya berkutat di bisnis Uji Kompetensi Wartawan, Verifikasi Media, dan ‘bisnis’ pelayanan pengaduan.
Baru-baru ini Dewan Pers mengurusi dualisme pengurus Persatuan Wartawan Indonesia. Hendri Bangun yang belum berstatus tersangka tapi sudah kadung dilengserkan tanpa ada proses hukum yang inkrah, kini dipaksa mengikuti kongres luar biasa.
Tidak bermaksud untuk membela Hendri Bangun, tapi secara legal formal, Badan Hukum PWI masih mengesahkan Hendri Bangun sebagai Ketua Umum PWI. Produk kongres luar biasa yang melengserkan Hendri ternyata tidak mendapat legitimasi dari pemerintah di Kementerian Hukum.
Artinya status kepengurusan Hendri Bangun masih sah sebagai Ketum PWI. Dewan Pers malah menambah masalah baru mengintervensi masalah internal PWI.
Dewan Pers yang kini dihuni eks Ketua KPK Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum seharusnya berani mendesak Kapolri agar kasus dugaan korupsi UKW PWI segera diselesaikan.
Dewan Pers harus membuka diri untuk membongkar dugaan keterlibatan Dewan Pers periode lalu dalam kasus Cash Back UKW dana hibah BUMN, serta puluhan miliar rupiah APBN untuk anggaran UKW di Kementerian Kominfo era sebelumnya yang mengalir di seluruh organsiasi konstituen dan Lembaga Uji Kompetensi ilegal. (*)
Naskah disusun oleh: Heintje Mandagi- Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia
Jawa Timur
Wartawan Ditangkap Polisi, Dalih Memeras atau Rekayasa?

TULUNGAGUNG– Penangkapan tiga orang wartawan oleh polisi di Trenggalek, Jawa Timur dengan tuduhan memeras patut dipertanyakan. Apakah benar wartawan tersebut melakukan tindakan memeras, ataukah ini hanya sebuah rekayasa untuk membungkam suara kritis?
Dalam menjalankan tugasnya, wartawan memiliki hak untuk melakukan investigasi dan melaporkan temuan mereka kepada publik.
Jika wartawan tersebut melakukan tindakan yang tidak etis, maka perlu dilakukan pemeriksaan yang objektif dan transparan.
Polisi harus dapat membuktikan bahwa wartawan tersebut benar-benar melakukan tindakan memeras, bukan hanya berdasarkan tuduhan atau laporan yang tidak jelas.
Dalam proses hukum, penting untuk memastikan bahwa hak-hak wartawan sebagai warga negara tetap dilindungi.
Penanganan kasus ini harus dilakukan dengan profesional dan tidak boleh membungkam kebebasan pers.
Jika terbukti bahwa penangkapan tersebut tidak berdasar, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja polisi dan diberikan sanksi yang tepat kepada pihak yang bertanggung jawab.
Kita berharap agar kasus ini dapat diselesaikan secara adil dan transparan, serta tidak menimbulkan chilling effect terhadap kebebasan pers di Indonesia. (DON-red)
Oleh: Catur Santoso, Ketua Aliansi Jurnalis Tulungagung (AJT).
- Pemerintahan19 jam ago
Dikibuli Lagi! Baharudin Geram, Bupati Kuasai Penuh Anggaran & Diduga Incar Gerindra
- Peristiwa2 minggu ago
Bangun Mako, Banser Boyolangu Kerja Bakti Peletakan Batu Pertama
- Jawa Timur7 hari ago
Orang Tua Pasien Keluhkan RS Trisna Medika Tulungagung: Layanan Buruk, Biaya Fantastis
- Papua3 minggu ago
Sertijab Komandan Yonmarhanlan XIV, Brigjen TNI (Mar) Andi Rachmat Tegaskan Profesionalisme Prajurit di Sorong
- Jawa Timur3 hari ago
Pelantikan Pejabat Buka Tabir Retaknya Hubungan Bupati dan Wabup Tulungagung
- Ekonomi & Bisnis3 minggu ago
Telkom Regional 5 Dorong Wirausaha Parfum Lokal Lewat Program Indibiz Insight di Makassar
- Investigasi4 hari ago
264 Hektar Tanah Warga “Dikhianati” Buat Makam Mewah
- Pemerintahan2 minggu ago
Tulungagung Buntu Arah Penataan Pinka: Pemkab Diam, Kesemrawutan Jalanan Kian Parah