Connect with us

Opini

MERDEKA! 80 Tahun Indonesia Merdeka, Bagaimana dengan Kemerdekaan Pers Kita?

Published

on

JAKARTA, Delapan puluh tahun merdeka, Indonesia bukan hanya bebas dari penjajahan, tetapi juga ditantang menjaga kemerdekaan yang tak kalah penting, kemerdekaan pers. Sebab tanpa pers yang merdeka, suara rakyat bisa kembali terbungkam.

Hari ini, 17 Agustus 2025, bangsa Indonesia memperingati 80 tahun kemerdekaan. Sebuah usia matang yang mestinya menandai kedewasaan dalam berdemokrasi, termasuk dalam hal kebebasan pers. Sebab, kemerdekaan pers adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kemerdekaan bangsa itu sendiri.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemerdekaan pers di Indonesia masih jauh dari ideal

Pertama, masih banyak aparat penegak hukum (APH) yang tidak konsisten menggunakan *UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers* ketika berhadapan dengan kasus pemberitaan. Sebaliknya, wartawan kerap dijerat dengan pasal-pasal pidana di luar UU Pers. Ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi yang telah menghapus praktik pemberangusan pers.

Kedua, kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi. Penganiayaan, teror, hingga tekanan psikologis dialami wartawan hanya karena menjalankan tugas jurnalistik.

Fenomena ini menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap insan pers yang sejatinya bekerja untuk kepentingan publik.

Ketiga, persoalan kesejahteraan wartawan juga menjadi ironi besar. Tidak sedikit jurnalis yang tidak menerima haknya, termasuk gaji layak dari perusahaan pers.

Situasi ini rentan mendorong wartawan untuk melanggar kode etik hanya demi bertahan hidup. Jika hal ini dibiarkan, maka kemerdekaan pers hanya akan menjadi slogan, tanpa substansi.

Keempat, munculnya dominasi media sosial semakin menekan ruang gerak media profesional. Banyak pejabat dan lembaga pemerintah lebih memilih menyebarkan informasi lewat platform media sosial pribadi ketimbang media massa berbadan hukum yang jelas.

Akibatnya, media resmi tidak mendapatkan dukungan publikasi yang semestinya. Hal serupa juga dilakukan oleh lembaga swasta yang lebih suka menaruh iklan di media sosial, membuat pendapatan perusahaan pers kian menurun drastis.

Semua kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pers kita benar-benar merdeka?

Kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari sensor, melainkan bagaimana jurnalis bisa bekerja tanpa takut ditekan, diintimidasi, atau diperlakukan sewenang-wenang.

Kemerdekaan sejati adalah ketika wartawan dihargai, dilindungi, dan diberi ruang untuk mengabdi pada kebenaran.

Di usia ke-80 tahun Indonesia merdeka, kita tidak hanya merayakan hasil perjuangan para pahlawan, tetapi juga harus meneguhkan kembali tekad untuk menjaga kemerdekaan pers.

Sebab tanpa pers yang merdeka, demokrasi akan pincang, rakyat akan kehilangan hak untuk tahu, dan bangsa ini akan kehilangan salah satu pilar penopangnya.

Maka, momentum HUT RI ke-80 ini harus menjadi alarm bersama: kemerdekaan pers bukanlah hadiah, melainkan amanah yang wajib ditegakkan, dijaga, dan diperjuangkan.

Merdeka……! Untuk Indonesia. Merdeka……! Untuk pers Indonesia

Oleh: Mahmud Marhaba Ketum DPP PJS

Opini

Menjadi Penyejuk di Tengah Fitnah

Published

on

Jakarta— Fitnah merupakan gelombang. Ia bisa menenggelamkan jiwa, menghancurkan reputasi, dan memecah keharmonisan. Namun, bagi mereka yang berjalan di jalur kebenaran, fitnah justru bisa menjadi ujian yang mengangkat derajat.

Ia datang bukan sekadar untuk menguji kesabaran, tetapi untuk menyingkap ketulusan. Maka pertanyaannya, apakah kita akan menjadi bara yang membakar, atau rahmat yang menyejukkan?

Zaman Fitnah dan Media Sosial.

Di era digital, fitnah tak lagi berbisik di lorong-lorong sempit. Ia berteriak di layar-layar publik. Baru-baru ini, viral di media sosial seorang dosen PTN yang dikenal baik, terlihat menjatuhkan diri di tanah. Narasi yang dibangun: “sedang gulung-gulung di tanah.” Tanpa tabayun, netizen menghakimi. Tanpa klarifikasi, mereka menghujat. Padahal, peristiwa itu berakar dari ketidaknyamanan dan ketidakharmonisan dengan tetangga. Tapi dunia maya tak menunggu penjelasan. Ia menuntut sensasi. Terpenting viral. Tidak pernah takut bahaya ghibah.

Inilah zaman fitnah. Zaman di mana kebenaran dikalahkan oleh kecepatan opini. Kecepatan jempol berselayaran. Keberanian berteriak lantang. Tanpa takut dosa.

Saya Tabayun: Mengenal Sosok Kyai Min.

Saya tidak kenal warga Joyogrand Malang yang sedang dibahas netizen. Tidak pernah bertemu. Juga tidak pernah membaca tulisannya atau karyanya. Tapi saya belajar dari kaidah, jika datang berita dari orang fasik, maka tabayunlah. Saya pun bertanya kepada rekan-rekan di Malang.

Nama yang sedang viral adalah Muhammad Imam Muslimin, atau akrab disapa Kyai Min. Seorang dosen yang disiplin, pengajar ilmu tasawuf, penghafal Al-Qur’an, dan imam sholat di lingkungan masyarakat. Ia bukan sosok tertutup. Ia santun, sering mengalah, dan tidak membalas dengan amarah. Ia hidup dalam ketulusan.

Saya bertanya, “Apakah karena nama yang indah itu, media menghujat tanpa tabayun?” Jawaban rekan saya, Mas Choiron, menegaskan: Kyai Min adalah sosok yang bermasyarakat, rajin sholat, dan sering memberi tausiyah.

Menjadi Penyejuk di Tengah Luka.

Kyai Min sedang menapaki jalan ujian. Ia tidak membalas fitnah dengan kemarahan. Ia memilih menjadi penyejuk. Memang sulit menjadi penyejuk saat disakiti. Tapi itulah jalan para pembawa risalah. Jalan orang-orang yang diberi amanah ilmu.

Di zaman fitnah, membela diri di medsos bukanlah solusi. Yang lebih utama adalah berdoa. Mendoakan tetangga, RT, RW, dan lingkungan yang termakan fitnah. Karena rahmat tidak lahir dari debat, tapi dari ketulusan.

Bara atau Penyejuk: Kita yang Memilih.

Ketika fitnah datang, kita punya pilihan. Menjadi bara yang membakar, atau rahmat yang menyembuhkan. Kyai Min memilih menjadi rahmat. Ia tidak sibuk membalas. Ia sibuk menenangkan. Ia tidak sibuk menjelaskan. Ia sibuk mendoakan.

Dan semoga kita pun belajar darinya. Bahwa di tengah gelombang fitnah, menjadi rahmat adalah pilihan yang paling mulia.

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Sekretaris PW IPHI Jawa Timur.

Continue Reading

Opini

Catatan Awal Pekan, Rumor Pencabutan Kartu Liputan CNN Indonesia dan Ujian Kebebasan Pers

Published

on

JAKARTA, Sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pro Jurnalismemedia Siber (PJS), saya merasa perlu memberikan catatan di awal pekan ini terkait rumor yang beredar bahwa Istana telah mencabut kartu liputan wartawan CNN Indonesia.

Reaksi dari berbagai organisasi pers, termasuk Dewan Pers, merupakan tanda keseriusan insiden ini.

Publik berhak bertanya tentang kasus ini. Jika benar, apakah ini tanggapan langsung dari Presiden, ataukah lahir dari ketakutan pihak-pihak tertentu, khususnya Humas di lingkungan Istana?

Bagi saya, kebebasan pers bukan sekadar jargon, melainkan amanat konstitusional. Pasal 28F UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi.

Pers berfungsi sebagai sarana bagi rakyat untuk memperoleh hak tersebut. Oleh karena itu, pencabutan kartu liputan bukan sekadar urusan administratif, melainkan dapat dipahami sebagai pembatasan hak konstitusional warga negara.

Kartu liputan hanyalah sarana akses, bukan instrumen penghargaan atau hukuman. Jika suatu berita dianggap tidak akurat, mekanismenya jelas. Undang-Undang Pers mengatur hal ini melalui penggunaan hak jawab, hak koreksi, atau pengajuan kepada Dewan Pers.

Semua ini merupakan jalur konstitusional dan etis. Menutup akses liputan hanya akan menimbulkan kecurigaan bahwa pemerintah anti-kritik.

Saya ingin mengingatkan kita semua bahwa demokrasi kita hanya akan sehat jika pers secara bebas menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial.

Membatasi akses media sama saja dengan menutup ruang kritik. Ini berbahaya, karena media lain dapat mengalami “efek ketakutan” dan memilih keamanan daripada kritik. Kritik yang sehat, bagaimanapun juga, adalah vitamin bagi pemerintah, bukan racun.

Oleh karena itu, saya menawarkan solusi sederhana namun mendasar:

1. Pemerintah, melalui Istana, perlu mengklarifikasi masalah ini secara terbuka agar publik tidak terjebak dalam spekulasi.

2. Jika pencabutan tersebut benar, Presiden harus memastikan apakah itu keputusannya atau sekadar blunder aparat Humas.

3. Jalin dialog rutin antara Presiden dan pers untuk menjaga kepercayaan publik terhadap komitmen demokrasi.

4. Anggap saja kritik media sebagai refleksi, bukan ancaman.

Saya yakin Presiden tidak pernah alergi terhadap kritik. Namun, jika langkah-langkah pembatasan ini terus berlanjut, citra demokrasi kita yang dibangun dengan susah payah pasca-reformasi akan tercoreng.

Di sinilah Presiden akan diuji:, akankah ia teguh dalam melindungi kebebasan pers atau membiarkan demokrasi kita digagalkan oleh ketakutan dari lingkaran dalamnya sendiri?.

Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.(*)

Oleh: Mahmud Marhaba (Ketua Dewan Pimpinan Pusat PJS)

Continue Reading

Opini

DPR Ditinggal Saraswati, Kursi Menpora Masih Kosong dan Terbuka?

Published

on

Jakarta— Panggung politik Senayan kembali bergejolak. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, resmi menyatakan mundur dari kursinya di parlemen. Langkah ini diyakini sebagai manuver politik menuju kursi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) yang saat ini masih kosong pasca reshuffle kabinet.

Dalam pernyataan video yang dibagikan, Saraswati menegaskan niatnya untuk tetap menuntaskan satu tugas terakhir sebagai legislator, yakni pembahasan dan pengesahan RUU Kepariwisataan.

“Dengan ini saya menyatakan pengunduran diri sebagai anggota DPR RI kepada Fraksi Partai Gerindra. Saya berharap masih dapat menyelesaikan pembahasan RUU Kepariwisataan yang menjadi produk legislasi Komisi VII,” ujar Saraswati.

Janji Konstituen dan Sisa Dana Dapil.

Saraswati tidak lupa menyampaikan permintaan maaf kepada konstituen di Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu. Ia berjanji mengalokasikan dana sisa di rekening khusus untuk kebutuhan rakyat, mulai dari bantuan alat kesehatan, pelatihan kewirausahaan, hingga pemberdayaan anak-anak muda.

“Saya mohon maaf jika ada kekecewaan. Dengan sisa dana Dapil, saya akan tetap mendukung masyarakat sampai dana tersebut habis,” tegasnya.

Klarifikasi Kontroversi “Anak Muda Jangan Bergantung pada Pemerintah”

Tak hanya soal pengunduran diri, Saraswati juga menyinggung kembali potongan wawancara yang sempat viral, di mana ia menyebut anak muda jangan bergantung pada pemerintah.

Ia mengaku niatnya adalah mendorong jiwa wirausaha di era digital, namun kata-katanya justru melukai sebagian masyarakat.

“Kesalahan sepenuhnya ada di saya. Saya meminta maaf sebesar-besarnya atas ucapan yang menyakiti hati rakyat,” katanya.

Saraswati meminta publik untuk menonton pernyataannya secara utuh agar mendapat konteks yang lebih jelas, bukan potongan video singkat yang dijadikan bahan provokasi.

Manuver Politik dan Arah Baru.

Pengunduran diri Saraswati dinilai sebagai langkah strategis di tengah kekosongan kursi Menpora.

Dalam pusaran politik pasca reshuffle, nama Saraswati masuk dalam bursa kuat calon Menpora yang diharapkan mampu menjembatani aspirasi anak muda, olahraga nasional, dan dunia digital-ekonomi kreatif.

Langkah mundur ini sekaligus menegaskan bahwa regenerasi politik di tubuh Gerindra mulai menguat.

Saraswati bukan sekadar melanjutkan trah politik keluarga, tetapi mencoba menunjukkan politik pengabdian dan keterbukaan terhadap kritik publik.

Jika kursi Menpora akhirnya menjadi miliknya, ujian besar menanti: apakah ia benar-benar dapat membalik persepsi publik dan mewujudkan janji keberpihakan pada anak muda, atau justru terjebak pada politik simbolik belaka. (By/Red)

Continue Reading

Trending