Opini
Momentum Hari Santri 2025, Refleksi Kritis atas Peran Santri di Tengah Kemiskinan dan Keterbelakangan

TULUNGAGUNG— Tema Hari Santri 2025, “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia”, mengandung makna yang sangat dalam dan relevan dengan kondisi umat Islam Indonesia hari ini.
Tema itu tidak sekadar slogan seremonial tahunan, melainkan ajakan reflektif bagi seluruh santri untuk kembali menyadari jati diri dan tanggung jawab kebangsaannya.
Kalimat “mengawal Indonesia merdeka” menegaskan peran santri dalam menjaga kedaulatan bangsa dari ancaman ideologis, ekonomi, dan moral.
Sedangkan frasa “menuju peradaban dunia” menunjukkan visi besar: bahwa Islam Indonesia, dengan corak pesantrennya yang moderat dan berkarakter rahmatan lil ‘alamin, dapat menjadi model peradaban yang memberi inspirasi bagi dunia.
Kemerdekaan dan Keterbelakangan Sosial.
Namun di balik semangat besar itu, kita menghadapi kenyataan sosial yang tidak mudah. Umat Islam Indonesia yang mayoritas justru masih banyak bergelut dengan kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, dan ketimpangan ekonomi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, wilayah dengan tingkat kemiskinan tertinggi sering kali adalah daerah dengan basis masyarakat santri dan pesantren.
Kondisi ini menunjukkan paradoks: di satu sisi, umat Islam memiliki kekuatan spiritual dan moral yang luar biasa, tetapi di sisi lain masih terbelenggu oleh persoalan sosial-ekonomi yang kronis.
Dalam konteks ini, tugas santri hari ini tidak lagi melawan penjajahan fisik seperti era kolonial, melainkan penjajahan ekonomi dan kebodohan struktural yang membuat sebagian umat tak kunjung berdaya.
Santri dan Tantangan Zaman.
Pesantren secara historis bukan hanya lembaga pendidikan agama, tetapi juga pusat pembentukan karakter dan basis perjuangan sosial. Sejak era perlawanan terhadap penjajahan Belanda, santri tampil sebagai kekuatan rakyat yang berjiwa patriotik.
Kini, perjuangan itu perlu diteruskan dalam bentuk baru: jihad melawan kemiskinan dan keterbelakangan.
Masalah terbesar umat Islam Indonesia bukanlah kurangnya iman, tetapi kurangnya kapasitas ekonomi dan teknologi.
Banyak pesantren masih terbatas dalam akses informasi, literasi digital, serta manajemen kewirausahaan. Padahal, potensi ekonomi pesantren sangat besar jika mampu diorganisir dan dikembangkan secara produktif.
Hadis Rasulullah SAW bahwa “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” menegaskan bahwa kekuatan umat tidak hanya ditentukan oleh spiritualitas, tetapi juga oleh keunggulan dan kemandirian ekonomi.
Karena itu, membangun kekuatan ekonomi umat adalah bagian dari jihad masa kini. Santri seharusnya menjadi pelaku ekonomi, bukan hanya pengamat; menjadi pemberi, bukan penerima.
Integrasi Ilmu dan Transformasi Pesantren.
Salah satu penyebab keterbelakangan umat Islam adalah dikotomi ilmu agama dan ilmu dunia. Mayoritas pesantren selama ini lebih menekankan kajian keagamaan secara tekstual, sementara aspek ilmu terapan, sains, dan teknologi sering kali dianggap sekunder.
Padahal, sejarah peradaban Islam menunjukkan bahwa kejayaan Islam justru lahir ketika ulama sekaligus menjadi ilmuwan ketika wahyu dan akal berjalan seiring.
Karena itu, pesantren perlu melakukan reorientasi kurikulum. Santri tetap mendalami ilmu agama, tetapi juga harus dibekali keterampilan abad 21: literasi digital, kewirausahaan, ekonomi syariah, hingga teknologi ramah lingkungan.
Pesantren bisa menjadi pusat ekonomi rakyat, tempat inovasi sosial, dan laboratorium kemanusiaan.
Program-program seperti Santripreneur, Pesantren Go Digital, dan Pesantren Hijau patut terus dikembangkan.
Jika pesantren berhasil mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan inovasi sosial, maka kebangkitan ekonomi umat akan dimulai dari pesantren itu sendiri.
Mengawal Kemerdekaan dari Kolonialisme Baru.
“Mengawal Indonesia Merdeka” di era modern berarti menjaga bangsa dari bentuk penjajahan baru yang lebih halus: ketergantungan ekonomi, eksploitasi sumber daya, dan korupsi moral.
Penjajahan hari ini bukan lagi dalam bentuk keuatan dan kekuasaan senjata, tetapi melalui penguasaan pasar dan mentalitas konsumtif yang menjerat masyarakat.
Santri harus tampil sebagai penjaga moral dan akal sehat bangsa. Dengan karakter keikhlasan, kesederhanaan, dan semangat kebersamaan, santri dapat menjadi teladan bagi masyarakat luas.
Mentalitas pejuang para santri harus menginspirasi Gerak Langkah kehidupan mereka. Kejujuran yang tumbuh di pesantren harus menjadi fondasi etika publik di tengah maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, santri perlu terlibat aktif dalam membangun narasi Islam yang moderat dan damai. Dunia saat ini membutuhkan wajah Islam yang mampu menjadi inspirasi peradaban, bukan ancaman.
Melalui pesantren, nilai-nilai toleransi, gotong royong, dan kasih sayang dapat ditanamkan untuk membentuk karakter bangsa yang berkeadaban.
Solusi dan Agenda Perubahan
Untuk mewujudkan cita-cita besar “Menuju Peradaban Dunia”, ada empat agenda penting yang perlu diperkuat: Pertama, pemberdayaan ekonomi pesantren.
Negara dan masyarakat perlu mendorong terbentuknya ekosistem ekonomi pesantren: koperasi santri, unit usaha mikro, dan lembaga keuangan syariah berbasis pesantren. Negara harus hadir untuk memberi modal, pelatihan, pendampingan dan pemberdayaan secara berkelanjutan.
Kedua, penguatan literasi dan sains aplikatif. Pesantren harus membuka diri terhadap ilmu modern, sains, bahasa asing, dan teknologi digital, tanpa meninggalkan tradisi keilmuan Islam klasik.
Lagi-lagi negara harus hadir untuk mengarahkan dan mewujudkan subsistem Pendidikan yang mayoritas ada di pedesaan ini Ketiga, kepemimpinan santri di ruang publik. Santri perlu hadir di dunia politik, akademik, dan sosial dengan membawa etika pesantren: jujur, amanah, tidak koruptif, sederhana dan berpihak pada rakyat kecil.
Santri dan warga pesantren harus mulai meninggalkan gaya hidup mewah, sesuatu yang tidak sesuai dengan ciri khas pesantren.
Keempat, gerakan sosial berbasis nilai agama. Santri bisa menginisiasi gerakan lingkungan, santripreneursip, literasi, dan kemanusiaan sebagai bentuk dakwah kontekstual yang menyentuh kebutuhan masyarakat.
Penutup.
Tema Hari Santri 2025 mengingatkan kita bahwa kemerdekaan tidak boleh berhenti pada simbol, tetapi harus diwujudkan dalam kesejahteraan nyata.
“Menuju peradaban dunia” bukan berarti mengejar gemerlap globalisasi, tetapi membangun peradaban berbasis moral, ilmu, dan kemanusiaan.
Kini saatnya santri keluar dari zona nyaman spiritual menuju gelanggang perjuangan sosial. Santri yang dulu memegang senjata melawan penjajah, kini harus memegang pena, komputer, dan alat produksi untuk melawan kemiskinan dan kebodohan.
Bila nilai-nilai pesantren berpadu dengan semangat inovasi dan kemandirian, maka cita-cita besar mengawal Indonesia merdeka dan membangun peradaban dunia bukanlah utopia, tetapi takdir sejarah yang siap diwujudkan oleh generasi santri hari ini. (DON/Red)
Oleh: Ahmad Zainal Abidin, Pengasuh Pesantren Subulussalam Tulungagung dan Guru Besar Ilmu Living Quran UIN SATU Tulungagung.
Opini
Anggaran “Gemuk“, Jalan Rusak Masalah Abadi: Uji Nyali Pemkab Tulungagung di APBD 2026

TULUNGAGUNG– Dalam tata kelola daerah, anggaran sering dianggap sebagai cerminan nyata kesejahteraan. Logika awamnya sederhana, semakin “gemuk” Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), semakin makmur dan maju daerah tersebut.
Tren peningkatan APBD Kabupaten Tulungagung dalam tiga tahun terakhir seolah mengonfirmasi logika ini.
Berdasarkan data, APBD naik dari Rp 2,75 triliun (2023), menjadi Rp 2,89 triliun (2024), dan menyentuh Rp 3 triliun pada 2025. Sebuah pertumbuhan yang patut disyukuri.
Namun, pertanyaan kritis yang kemudian mengemuka adalah, di mana wujud nyata kenaikan anggaran ini yang paling signifikan dirasakan oleh masyarakat? Silakan publik yang menilai sendiri kondisi jalan, pendidikan, dan layanan kesehatan di sekitar mereka.
Kini, proyeksi untuk APBD 2026 justru menunjukkan angin segar yang lebih kencang. Analisis terhadap Rancangan APBD (RAPBD) 2026 mengungkap adanya tambahan napas fiskal yang cukup berarti.
Terdapat kenaikan Transfer ke Daerah (TKD) dari pusat sebesar Rp 132,786 miliar. Di tengah kabar pemangkasan anggaran di banyak daerah oleh Menteri Keuangan, kondisi Tulungagung ini bagai oase.
Tidak berhenti di situ, Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga diproyeksikan melonjak signifikan menjadi Rp 819,4 miliar dari sebelumnya Rp 776 miliar.
Secara keseluruhan, terjadi kenaikan anggaran sekitar Rp 230 miliar. Yang menarik, meski Dana Desa (DD) dari pusat dipotong Rp 38,16 miliar, justru ini bisa menjadi berkah terselubung. Selisih ini dapat dialihkan untuk membiayai program prioritas lain yang lebih mendesak.
Perubahan signifikan lain adalah pada alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) spesifik untuk pendidikan yang pada 2026 dianggarkan nol rupiah.
Padahal, di tahun 2025, anggaran ini mencapai Rp 35,61 miliar yang biasa digunakan untuk Bantuan Operasional Sekolah Penyelenggara (BOSP). Hilangnya anggaran ini, jika dikelola dengan transparan, justru dapat menghilangkan indikasi duplikasi anggaran seperti yang kerap terjadi sebelumnya.
Dengan perhitungan sederhana, total tambahan anggaran yang dapat dialokasikan untuk program-program prioritas pada 2026 mencapai kisaran Rp 300 miliar.
Sebuah angka yang, untuk kesekian kalinya, kerap disebut-sebut “cukup untuk memperbaiki semua jalan rusak di Tulungagung.” Namun, klaim ini akan tetap menjadi jargon kosong tanpa komitmen dan perencanaan yang matang.
Pada akhirnya, Pemerintah Daerah memiliki ruang gerak yang lebih longgar dalam RAPBD Penyesuaian sebelum disahkan menjadi APBD 2026. Peluang emas ini tidak boleh disia-siakan.
Di balik angka-angka yang menggembirakan ini, tantangan sesungguhnya justru dimulai. Masyarakat sipil, termasuk LSM dan para pengamat, harus mengerahkan fungsi kontrolnya.
Kita harus bersama-sama mengawal postur anggaran dan memastikan realisasinya tepat sasaran, transparan, dan akuntabel. Pemerintahan Bupati dan Wakil Bupati periode ini tidak boleh terjebak kembali pada permainan “teknis” Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang kerap mengaburkan tujuan pembangunan.
Peningkatan anggaran adalah modal, bukan tujuan. Kesejahteraan sejati rakyat Tulungagung akan diukur dari jalan yang mulus, sekolah yang berkualitas, dan layanan kesehatan yang terjangkau bukan sekadar dari deretan angka triliunan di atas kertas.
APBD 2026 adalah ujian nyali bagi pemerintah untuk membuktikan bahwa mereka mampu mengubah potensi finansial menjadi kesejahteraan yang nyata. (*)
Oleh: Susetyo Nugroho, Pengamat Kebijakan Publik
Editor: Joko Prasetyo
Opini
Ketika Dua Rumah yang Berhimpitan Berseteru: Refleksi Sosial tentang Makna Tetangga

Jakarta — Sebuah pertunjukan kehidupan sosial yang mengundang perhatian publik terjadi di kawasan Joyogrand, Kota Malang, Jawa Timur. Dua rumah yang berhimpitan, yang dahulu tampak damai dan harmonis, kini justru tampil berseri bukan karena kebaikan, melainkan karena perseteruan yang disiarkan secara terbuka melalui media sosial.
Dalam dua pekan terakhir Oktober 2025 ini, masyarakat disuguhi drama nyata dua keluarga yang berselisih, saling mengungkap versi kebenaran masing-masing di ruang digital.
Sebagian menilai ini tidak elok. Lebih menyedihkan lagi, yang berseteru bukan mereka yang kekurangan, melainkan dua orang yang sama-sama berpendidikan dan hidup dalam kecukupan.
Saya tidak ingin membahas apa pemicu konflik, apalagi menentukan siapa yang benar. Karena bisa jadi secara versi pribadi semua merasa benar.
Namun satu hal yang penting disadari adalah sejatinya mereka adalah satu keluarga, meski rumah berbeda. Dan itu pula hakikat dari tetangga.
Tetangga: Cermin Sosial dan Spiritualitas.
Di balik dinding rumah kita, di balik pagar yang memisahkan halaman, sesungguhnya ada sosok-sosok penting yang Allah hadirkan dalam hidup kita adalah tetangga. Mereka bukan sekadar orang yang tinggal berdekatan, tetapi bisa menjadi sahabat, pengingat, bahkan penolong dalam diam.
Dalam ajaran Islam, dalam budaya Jawa, dan dalam nilai-nilai universal kemanusiaan, tetangga memiliki kedudukan yang sangat mulia.
Rasulullah bahkan menyandingkan perintah memuliakan tetangga dengan perintah menyembah Allah.
Maka jika suatu saat terjadi peristiwa yang mengganggu hati, sabar adalah kuncinya. Kenapa harus sabar?
Karena kita tidak memilih tetangga, tetapi Allah-lah yang memilihkan untuk kita. Dan semua yang Allah pilihkan, pasti mengandung hikmah.
Prinsip Bertetangga dalam Tradisi dan Spiritualitas.
Saya pribadi, sebagai pendatang di lingkungan baru, selalu berupaya menanamkan prinsip bahwa tetangga adalah keluarga besar kita.
Sebagaimana nasihat Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu: “Tetangga itu bukan hanya yang rumahnya berdempetan, tetapi juga yang berada dalam radius 40 rumah dari tempat tinggal kita.”
Artinya, tetangga adalah komunitas kecil yang menjadi cermin akhlak dan karakter kita.
Beberapa prinsip yang saya pegang dalam bertetangga:
1. Pager mangkok lebih kuat dari pager besi yakni berbagi makanan dan kebaikan lebih mempererat hubungan dibanding pagar setinggi apapun.
2. Sapa dengan senyuman bahkan anggukan kecil bisa membuka pintu hati.
3. Menjaga lisan, tidak berkata yang menyakitkan meski akrab.
4. Tolong-menolong dalam kesederhanaan dari meminjam alat hingga menjaga rumah.
5. Menjaga adab dan privasi — tidak membicarakan tetangga di dunia nyata apalagi di media sosial.
6. Menghormati hak tetangga seperti memberi tahu jika ada kegiatan yang bisa mengganggu.
Sabar dan Maaf, Jalan Mulia dalam Konflik.
Saya juga belajar bahwa tidak semua tetangga mudah dipahami. Tapi bukan berarti harus dilawan. Justru ini ladang amal yang luar biasa.
Maka, saya membiasakan diri:
• Mengalah, bukan kalah.
• Menganggap keunikan tetangga sebagai peluang bersabar.
• Memaafkan sebelum diminta.
• Mendoakan diam-diam.
• Menghindari debat yang memicu api.
• Tetap berbuat baik meski tidak dibalas.
• Menjaga silaturahim, karena sowan ke tetangga adalah obat hati.
Tetangga: Investasi Dunia dan Akhirat.
Tetangga adalah keberkahan yang sering terlupakan. Saat darurat, mereka yang pertama hadir. Saat kita sepi, merekalah yang bisa menyapa.
Saya mencatat tiga manfaat besar dari keberadaan tetangga:
1. Keamanan sosial saling menjaga dengan niat baik.
2. Dukungan emosional dalam suka maupun duka.
3. Pendidikan karakter anak lingkungan yang harmonis mencetak generasi yang mulia.
Penutup: Kembalilah pada Hakikat.
Perseteruan dua rumah berhimpitan di Joyogrand seharusnya menyadarkan kita, bahwa tetangga bukan musuh, tetapi amanah sosial dan spiritual. Kita tidak sedang berbicara tentang siapa benar dan siapa salah, tetapi tentang siapa yang ingin menghadirkan ketenangan, bukan kebisingan, kedamaian, bukan perpecahan.
Mari kita rawat relasi dengan tetangga, karena mereka adalah bagian dari takdir sosial kita. Bukan kebetulan, tetapi panggilan ibadah dan akhlak. (DON/Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam.
Opini
Dua Keluarga Bertetangga Saling Laporkan, Dimana Letak Hati Nurani?

Jakarta— Hingga pekan kedua Oktober 2025, publik disuguhi drama hukum yang mempertemukan dua keluarga bertetangga di ranah pidana. Keduanya hidup berdempetan, namun justru saling melaporkan ke polisi.
Dunia maya pun ramai. Para netizen dan penggiat media sosial menjadi saksi bagaimana hubungan antar tetangga bisa memburuk, berubah dari kerukunan menjadi saling serang.
Entah siapa yang puas, jika satu di antara mereka dipenjara. Atau bahkan, bisa jadi keduanya akan berakhir di balik jeruji.
Namun di balik pusaran konflik tersebut, kita patut bertanya lebih dalam, bagaimana kondisi hati mereka?
Dalam kehidupan, kita selalu dihadapkan pada pilihan. Salah satunya adalah jalan tasawuf jalan yang tak hanya menata tubuh lahiriah, tetapi juga jiwa dan ruh.
Jalan ini bukanlah jalan mudah. Menata hati ibarat menaklukkan lautan yang tak pernah tenang. Hati berasal dari kata qalaba yang berarti mudah terbolak-balik.
Ia mudah condong pada hawa nafsu, dan hawa nafsu adalah kegelapan yang menjauhkan manusia dari nur Ilahi.
Banyak yang mampu mengajarkan ilmu tentang ketenangan, kesabaran, dan pencerahan jiwa. Tetapi belum tentu mampu mengaplikasikan semua itu dalam konflik nyata.
Tak heran, di tengah masyarakat yang mengaku religius, masih tampak dendam, takabur, dan keinginan untuk menyakiti sesama. Padahal, prilaku lahiriah adalah cermin dari kondisi hati.
Jika hati bening, maka lahiriah akan memancarkan rahmat. Sebaliknya, jika hati keruh, prilaku pun akan menebar fitnah.
Jika prilaku tidak dijaga, maka hati akan kehilangan kendali. Jasad akan bebas melampiaskan syahwat, jiwa akan menonjolkan ego, dan muncullah keangkuhan. Inilah bibit dari kerusakan sosial. Dari hati yang rusak lahir prilaku menyakiti. Dari prilaku menyakiti, lahir lingkungan penuh konflik.
Solusi atas krisis hati ini bukan sekadar ilmu atau hukum, tetapi dzikir yang menghidupkan hati dan membimbing prilaku.
Dzikir bukan sekadar di lisan, tetapi harus nyata dalam tindakan. Dzikir sejati adalah ketika manusia menjelma menjadi Abdullah, hamba Allah yang menebar kasih, bukan permusuhan.
Bagi para ahli tasawuf, bertetangga bukan soal siapa benar atau siapa salah, tetapi soal siapa yang lebih ingin menghadirkan keberkahan. Mereka tidak sibuk menuntut, tetapi sibuk melayani.
Mereka tidak sibuk menilai, tetapi sibuk mendoakan. Bagi mereka, tetangga adalah ladang amal, bukan ladang konflik.
Karena itu, mari kita ingat: lahiriah adalah cermin hati. Jika cermin itu retak, maka bayangan yang muncul pun menyesatkan.
Maka jagalah prilaku, karena ia adalah jalan menuju keseimbangan batin. Jangan hanya menjadi orang berilmu, tetapi jadilah insan yang menebar kedamaian. Karena ilmu tanpa ketenangan hati hanyalah kilau tanpa cahaya. (DON/Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam
- Nasional2 minggu ago
APBD Jebol untuk Gaji Pegawai, Jalan Rusak di Tulungagung Jadi Anak Tiri
- Nasional2 minggu ago
Gizi atau Cemari?, MBG untuk Anak TK Tuai Kecaman di Tulungagung
- Nasional6 hari ago
Keracunan Siswa di Tulungagung, LMP Desak Penghentian Sementara Total Program MBG
- Nasional2 minggu ago
Misteri Miliaran Rupiah, PPJ Disetor Rakyat, Jalan Tetap Gelap; Apakah Ada Tabir di BPKAD Tulungagung ?
- Nasional2 minggu ago
Dua Orang di Tulungagung Dipukuli Usai Tolak Pemalakan, Aksi Brutal Terekam CCTV
- Nasional1 minggu ago
Mencoreng Citra Program Gizi, MBG Berujung Petaka, Puluhan Siswa di Tulungagung Keracunan
- Nasional3 minggu ago
Usai KPK OTT Hibah Jatim, Aktivis Peringatkan “Prabowo Subianto Big Projects” Rawan Korupsi
- Nasional2 minggu ago
Bakar Ban dan Hentakkan Orasi, Massa Pejuang Gayatri Tuntut Bupati Tegas Urusan Korupsi Pendidikan dan Tambang Ilegal