Nasional
Ratusan Massa Pejuang Gayatri Kepung DPRD Tulungagung, Bakar Ban Jadi Simbol Perlawanan
TULUNGAGUNG — Asap hitam membubung tinggi dari ban-ban yang dibakar massa di depan kantor DPRD Tulungagung, pada Senin 6 Oktober 2025 siang.
Ratusan massa dari kelompok Pejuang Gayatri turun ke jalan, membawa amarah rakyat kecil yang merasa ditindas, dan dikhianati oleh para pemegang kekuasaan.
Aksi ini menyasar tiga titik yaitu, Kantor Dinas Perhubungan, Kantor BPN, dan Kantor DPRD Tulungagung, sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat miskin dan petani.
Ini bukan sekadar unjuk rasa. Ini adalah teriakan kemarahan dari rakyat yang lapar, rakyat tanpa tanah, dan rakyat yang tak lagi percaya bahwa negara berdiri untuk mereka.
Di tengah panas matahari dan kepulan asap ban, suara rakyat menggelegar, mereka ingin tanah, keadilan, dan keberpihakan nyata dari penguasa.
Salah satu orator, Ahmad Dardiri, menggelar orasi lantang di depan Kantor BPN. Ia mengecam keras sistem pemerintahan yang menurutnya telah berubah menjadi alat oligarki dan penghisap hak rakyat.
“Kepada siapa lagi rakyat harus mengadu ketika para penguasa menjadi anarki? Kami punya Bupati, tapi keberpihakannya bukan untuk rakyat, melainkan untuk para pemilik modal!” teriak Dardiri dan disambut sorak dan teriakan keras para demonstran.
Dardiri menegaskan bahwa penguasa lokal tidak lagi berpihak pada masyarakat, yang semakin terjepit karena kekurangan lahan dan disingkirkan oleh proyek-proyek besar yang diduga sarat kepentingan elite.
Lebih jauh, ia menyentil matinya kepercayaan rakyat terhadap jalur hukum. Di mata mereka, pengadilan tak lagi tempat mencari keadilan, melainkan ajang tawar-menawar yang hanya bisa diikuti mereka yang punya uang.
“Banyak oknum aparat penegak hukum tertangkap karena jual beli pasal dan putusan! Keadilan jadi barang dagangan, dan rakyat melarat seperti kami tak mampu ikut bersaing dalam pasar hukum yang busuk itu,” tegasnya.
Dengan suara bergetar, Dardiri menyatakan bahwa musuh rakyat di pengadilan adalah uang.
“Musuh rakyat di pengadilan adalah uang. Dan rakyat tidak punya itu. Yang punya uang adalah oligarki. Dan mereka membeli hukum, bukan mencari kebenaran”, ujarnya.
Aksi ini juga menyoroti dugaan kolusi antara penguasa daerah dan pemilik modal, terutama dalam kasus pengaturan lahan dan proyek transportasi.
Massa menilai, negara sudah tak netral dan justru menjadi kaki tangan oligarki.
Ban-ban yang dibakar bukan sekadar properti demonstrasi. Ia menjadi simbol negara yang terbakar oleh ketidakadilan, oleh pengkhianatan pada rakyat yang digantikan dengan kesetiaan kepada pemodal.
Di akhir aksi, massa menuntut DPRD Tulungagung membentuk Tim Investigasi Independen untuk menyelidiki dugaan penyimpangan dalam kebijakan pertanahan dan transportasi yang dianggap menyengsarakan rakyat.
Namun hingga berita ini diturunkan, belum satu pun pejabat dari BPN, Dishub, maupun DPRD Tulungagung yang menjawab atau memenuhi puluhan tuntutan Pejuang Gayatri.
“Suara rakyat kembali diabaikan. Tapi bara kemarahan ini belum padam. Justru sedang menyala-nyala, dan kami tidak akan diam!” pungkas Dardiri. (DON/Red)
Editor: Joko Prasetyo