Nasional
Tuntut Jalan Rusak, Asap Perlawanan di Tulungagung: Pejuang Gayatri Gedor Kantor DPRD
TULUNGAGUNG — Langit Tulungagung siang itu tidak hanya diselimuti terik matahari, tetapi juga asap hitam pekat dari ban-ban yang dibakar massa. Pada Senin, 6 Oktober 2025 menjadi saksi ledakan amarah rakyat yang selama ini terpinggirkan.
Ratusan massa yang tergabung dalam kelompok Pejuang Gayatri menggelar aksi serentak di tiga titik strategis yaitu di Kantor Dinas Perhubungan, Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan gedung DPRD Tulungagung.
Mereka datang bukan sekadar berteriak. Mereka datang membawa luka-luka panjang ketidakadilan yang dirasakan oleh warga desa pelosok.
Aksi ini adalah puncak dari kekecewaan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap bias kepentingan elit dan abai terhadap rakyat kecil.
“Ini bukan unjuk rasa biasa. Ini jeritan rakyat yang di abaikan, yang kehilangan akses jalan bagus, dan yang muak dengan janji-janji kosong,” teriaknya.
Suara lantang itu datang dari Teguh Santoso, salah satu orator Pejuang Gayatri Jilid II.
Dalam orasinya, Teguh menyoroti buruknya infrastruktur jalan di pelosok Tulungagung yang hingga kini tak kunjung diperbaiki.
“Jalan rusak masih membentang di desa-desa kami. Mana keberpihakan pemerintah? Kami menuntut transparansi. Tunjukkan berapa panjang jalan yang sudah diperbaiki dan mana yang belum”, tegasnya.
Tak berhenti di situ, Teguh juga mengingatkan keras pemerintah agar tidak bermain api dengan anggaran rakyat.
“Kami ingatkan, jangan coba-coba korupsi anggaran perbaikan jalan. Setiap rupiah dari uang rakyat harus digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat”, cetusnya.
Di bawah kepulan asap dan sorak sorai massa, tuntutan disuarakan berulang kali, redistribusi tanah untuk rakyat kecil, akses jalan yang layak bagi desa terpencil, dan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Aksi ini menunjukkan bahwa ketegangan antara rakyat akar rumput dan elit birokrasi kian membara.
Ketidakpercayaan terhadap lembaga pemerintahan lokal menguat, seiring banyaknya laporan masyarakat tentang ketimpangan pembangunan dan minimnya kontrol terhadap penggunaan anggaran. (DON/Red)