Nasional
Tutup Dapur MBG yang Langgar Standar, Jangan Main-Main dengan Masa Depan Anak
TULUNGAGUNG — Dalam sepekan terakhir, kasus keracunan makanan kembali mencuat di sejumlah kota besar di Indonesia. Korbannya adalah para siswa yang mengalami mual, muntah, pusing hingga lemas usai mengonsumsi makanan dari dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam program Menu Bergizi Gratis (MBG).
Sebagai pengamat sosial dan aktivis kemanusiaan, saya tidak menutup mata terhadap kerja keras para relawan dapur MBG. Saya tahu betul mereka telah berjuang dan berkhidmat untuk negeri.
Namun, kenyataan di lapangan tidak bisa diabaikan, keracunan demi keracunan terus terjadi. Ini bukan sekadar insiden, tapi alarm keras atas kegagalan sistemik.
Keracunan Adalah Bentuk Gagal Lindungi Hak Anak.
Kita sepakat, kasus-kasus ini tidak bisa terus dimaafkan sebagai “ketidaksengajaan.” Dinas Kesehatan, BPOM, dan Satgas setempat harus segera turun tangan melakukan investigasi menyeluruh. Sebab, apapun alasannya, makanan yang menyebabkan anak-anak jatuh sakit adalah bentuk kegagalan melindungi hak anak atas makanan yang aman, bergizi, dan halalan thoyyiban.
Presiden dan Badan Gizi Nasional (BGN) telah menitipkan amanah besar melalui program MBG. Maka para Kasatpel, ahli gizi, dan relawan harus bekerja secara profesional, bukan sekadar niat baik tanpa kemampuan teknis.
Saya mendukung sikap tegas BGN untuk menghentikan operasional dapur-dapur yang menjadi sumber keresahan dan penyakit.
Evaluasi Total: Jangan Biarkan Dapur Jadi Sumber Malapetaka.
Pemberhentian sementara bukan tindakan kejam. Itu adalah bentuk kasih sayang tertinggi kepada anak-anak penerima manfaat. Saat dapur ditutup, adakan evaluasi menyeluruh. Audit distribusi bahan, pengolahan makanan, hingga kualitas SDM relawan harus dilakukan. Kita tidak sedang membahas soal rasa kenyang, tapi masa depan bangsa.
Makanan anak adalah pondasi tumbuh kembang, kecerdasan, dan pembentukan karakter. Jika makanan tercemar, maka tubuh, mental, bahkan cita-cita anak bisa rusak.
Rekrutmen Relawan Harus Ketat, Bebas dari Titipan.
Masalah berikutnya adalah rekrutmen relawan dan tenaga dapur.
Tidak bisa asal tunjuk atau berdasarkan “titipan.” Harus melalui prosedur ketat, diperiksa oleh Dinas Kesehatan, Puskesmas, dan Satgas daerah.
Kita tidak bisa mempercayakan asupan gizi anak bangsa pada relawan yang tidak paham standar keamanan pangan.
Saya khawatir, selama ini proses rekrutmen tidak didasarkan pada keahlian, tetapi kedekatan. Ini bentuk salah urus yang fatal.
Benahi Tata Kelola, Awasi Penggunaan Dana MBG.
Kita juga perlu jujur bahwa dapur-dapur yang menyebabkan keracunan bisa jadi tidak hanya bermasalah dalam aspek teknis, tapi juga dalam tata kelola dana.
Apakah anggaran benar-benar digunakan untuk bahan makanan yang layak? Atau ada “tangan-tangan nakal” yang bermain di dapur?
Transparansi dan pengawasan harus diperkuat. Setiap rupiah dari APBN dalam program MBG adalah titipan masa depan anak-anak Indonesia. Jangan sampai ada yang berani mengorupsi dana tersebut.
Jika Tak Sanggup, Hentikan. Ini Bukan Tempat Coba-Coba.
Jika ada dapur SPPG yang memang tidak sanggup memenuhi standar, maka hentikan saja. Ini bukan tempat untuk coba-coba. Kita bicara soal anak-anak mereka yang paling rentan dan belum bisa membela diri.
Kepada seluruh pengelola dapur SPPG: belajarlah, benahilah sistem, dan kembalilah dengan niat yang tulus. Layani anak-anak Indonesia dengan keahlian, dengan kehati-hatian, dan dengan cinta. Berikan mereka makanan yang layak, aman, bergizi, dan halalan thoyyiban.
Penutup: MBG Harus Jalan, Tapi dengan Profesionalisme Tinggi.
Program MBG adalah program besar dan mulia. Jangan berubah menjadi malapetaka nasional karena kesembronoan segelintir pihak.
Indonesia membutuhkan relawan yang tulus dan terampil. Para ahli gizi dan tim dapur yang tidak sekadar bekerja, tapi benar-benar melayani.
Mari jaga amanah ini bersama. Karena dalam urusan gizi anak, kita tak boleh main-main. (DON/Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokad Pejuang Islam.