Opini
Janji Manis Berujung Petaka: Tulungagung Terbelah Akibat Pengkhianatan Bupati ‘Loncat Pagar’

TULUNGAGUNG,- Sujanarko, seorang pengamat politik, memberikan kritik tajam terkait kondisi pemerintahan di Tulungagung yang dinilai tidak baik-baik saja.
Ia menyoroti adanya berbagai gejala yang menunjukkan keretakan antara pemimpin daerah, terutama terkait dengan proses rekrutmen pejabat daerah yang tidak melibatkan Wakil Bupati (Wabup) Tulungagung, Ahmad Baharudin, serta ketidakhadirannya dalam rapat paripurna DPRD.
Sujanarko mengungkapkan bahwa keretakan ini sudah diprediksi oleh banyak orang, mengingat kandidat bupati yang terpilih bukanlah calon yang disodorkan oleh partai, melainkan seorang mantan kader PDIP yang ‘loncat pagar’ setelah kalah dalam pemilihan melawan calon bupati incumbent, Maryoto Birowo.
“Dengan pola seperti ini, bisa dipastikan bahwa Gerindra, sebagai partai besar di Tulungagung, seharusnya bisa mencalonkan kader sendiri sebagai calon bupati. Pencalonan mantan bacalon bupati PDIP pasti didasari komitmen besar kepada Gerindra, baik dalam hal pendanaan maupun peran Wabup sebagai kader Gerindra sehingga diterima sebagai calon resmi Gerindra,” ujarnya.
Sujanarko mencatat beberapa alasan yang menyebabkan keretakan ini, antara lain:
1. Komitmen yang Tidak Dipenuhi: Janji saat pencalonan yang tidak dilaksanakan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pengurus partai.
2. Gestur Bupati yang Menyudutkan Wabup: Tindakan bupati yang terlihat sengaja menjauh dari Wabup, seperti memberikan tugas-tugas penting kepada pejabat lain, menunjukkan adanya ketegangan dalam hubungan mereka.
3. Minimnya Ethical Leadership: Kebijakan yang tidak didasari oleh kewajiban untuk memenuhi janji dan menghargai rekan kerja, serta pengambilan keputusan yang terpusat pada bupati, berpotensi menimbulkan masalah baru.
4. Pertemuan Bupati dengan DPP Gerindra: Seringnya bupati bertemu dengan DPP Gerindra tanpa koordinasi dengan Ketua DPC Gerindra dapat meningkatkan perselisihan politik di daerah dan mendorong pengurus yang pragmatis untuk berpihak kepada pihak yang menjanjikan kesejahteraan.
5. Pertarungan Politik yang Semakin Sengit: Pertarungan ini diprediksi akan semakin sulit diredakan di tahun-tahun mendatang, terutama terkait dengan nilai-nilai politik Gerindra dan janji-janji yang belum direalisasikan.
Sujanarko menekankan pentingnya solusi untuk masalah krusial ini.
“Jawabannya sederhana, tinggal duduk bersama antara bupati dan wakil bupati untuk membicarakan apa yang pernah dijanjikan saat mereka berdua setuju untuk menjadi calon. Uraikan satu per satu janji yang belum dipenuhi dan penuhi komitmen itu untuk dilaksanakan bersama,” tegasnya.
Dirinya juga menyarankan agar kebijakan satu pintu diganti dengan kebijakan satu atap, serta pentingnya komunikasi yang baik antara bupati dan wabup untuk membangun soliditas.
“Jangan perluas pertarungan ke dalam partai Gerindra. Akan lebih baik jika setelah bupati mendapatkan jabatannya, ia kembali ke pangkuan PDIP,” pungkas Sujanarko. (Abd/DON)
Editor: Joko Prasetyo
Opini
TNI: Dari Rakyat, Bersama Rakyat, untuk Rakyat

Jakarta— Prajurit TNI sejati tidak berdiri sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai penjaga nurani bangsa. Mereka hadir bukan untuk menakuti, tetapi untuk menemani.
Mereka adalah wajah kekuatan yang penuh kasih, keberanian yang tidak membabi buta, dan keberpihakan yang tulus pada ibu pertiwi.
Dalam setiap langkahnya, mereka tahu, senjata bukan selalu solusi, dan kehangatan adalah kunci pencegah anarki.
Netral Tapi Aktif: Makna Sesungguhnya Keberpihakan.
Netralitas TNI bukan berarti pasif tanpa tindakan. Netralitas itu adalah keberanian untuk tidak terseret arus kepentingan, namun tetap sigap menjaga stabilitas negeri.
Ketika rakyat berdemo, TNI hadir bukan untuk membungkam, tetapi untuk mendengar dan menjaga.
Prajurit TNI yang netral dapat mencium gelagat. Mereka tidak kaku dalam menghadapi situasi. Di tengah orasi, mereka menjadi penyejuk.
Di tengah potensi anarki, mereka menjadi penyangga. Mereka bukan lawan rakyat, melainkan bagian dari rakyat.
Ketika Hoaks dan Huru-Hara Mengintai.
Dalam situasi yang sarat provokasi dan narasi palsu yang beredar liar, peran TNI sangat krusial. Mereka menjadi penyeimbang nalar dan peredam api konflik. Ketika rencana anarkisme mulai disusun dengan bungkus demokrasi, prajurit TNI hadir untuk meredam, bukan dengan kekuatan senjata, tetapi dengan kekuatan empati.
Mereka bukan hanya menjaga perbatasan wilayah, tetapi juga batas-batas nurani.
Prajurit Nurani: Harapan di Tengah Gejolak.
Dalam lima hari terakhir Agustus 2025, kita menyaksikan bagaimana prajurit TNI mengambil peran sebagai penjaga moral bangsa. Mereka membaur, merangkul, dan meredam tanpa kekerasan.
Ketika banyak pihak terjebak dalam kemarahan, mereka memilih jalan keberanian yang tenang.
“Engkau, prajurit TNI, adalah kekuatan yang tidak membinasakan. Engkau kekuatan yang menghidupkan,” tulis Imam Mawardi Ridlwan dalam refleksinya.
Penutup: Ketika Ibu Pertiwi Menangis, TNI Hadir Pertama.
Saat Ibu Pertiwi bersimbah air mata, prajurit TNI adalah yang pertama datang, bukan untuk menggertak, tetapi untuk menguatkan.
Karena mereka berasal dari rakyat, dan rakyat tidak pernah meminta peran mereka untuk mundur.
Dalam dunia yang penuh distraksi dan provokasi, semoga tetap ada ruang bagi prajurit-prajurit nurani. Yang tidak hanya menjaga keamanan, tapi juga menjaga kemanusiaan. (DON/Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan ,Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokad Pejuang Islam.
Opini
Merayakan Maulid: Jika Abu Lahab Saja Diberi Keringanan, Bagaimana dengan Kita yang Merayakannya dengan Cinta?

Jawa Timur— Saya tidak tahu apakah Abu Lahab pernah tersenyum dalam hidupnya. Namun, saya pernah membaca sebuah riwayat bahwa ia tersenyum bahagia pada hari kelahiran keponakannya, manusia paling mulia: Sayyidina Muhammad bin Abdullah.
Riwayat ini, yang jika saya tidak salah berasal dari Imam al-Bukhari, menyebut bahwa ekspresi bahagia Abu Lahab tersebut yang diwujudkan dengan memerdekakan budaknya, Tsuwaibah, sebagai ungkapan syukur mendatangkan satu bentuk keringanan baginya.
Di neraka, tempat ia kelak disiksa, ia mendapat setetes air setiap hari Senin. Hanya karena ia gembira saat Nabi Muhammad lahir.
Bayangkan. Abu Lahab, yang dengan terang-terangan memusuhi dakwah Rasulullah, tetap mendapatkan ganjaran ringan atas kebahagiaannya menyambut kelahiran Nabi. Lalu, bagaimana dengan kita?
Umat Islam yang merayakan Maulid Nabi dengan cinta, dengan shalawat, dengan ilmu, dan dengan hati yang bersyukur?
Kini Rabiul Awal kembali hadir. Bulan kelahiran manusia paling sempurna. Bulan yang membuat langit dan bumi damai, yang membuat para malaikat turun membawa kabar gembira.
Bulan yang menjadi alasan berkumpulnya umat Islam di seluruh dunia dari kampung kecil hingga masjid-masjid besar untuk bershalawat, berbagi makanan, dan menimba ilmu.
Allah sendiri, dalam Al-Ahzab ayat 56, menegaskan:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”
Jadi ketika ada yang bertanya, “Mengapa Maulid dirayakan?” Jawabannya sederhana: karena kita cinta. Karena kita bahagia.
Karena Rasulullah sendiri pun memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa setiap hari Senin, sebagai bentuk syukur.
Saya teringat dawuh dari Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, ulama besar dari Mekkah. Beliau mengatakan bahwa merayakan Maulid pasti membawa manfaat. Dunia dan akhirat.
Karena Maulid adalah ekspresi mahabbah cinta. Dan cinta tak bisa dipaksakan. Ia tumbuh dari hati yang mengenal dan menyayangi.
Tentu, ada sebagian yang menyebut Maulid sebagai bid’ah. Tapi para ulama bijak menjawabnya dengan konsep bid’ah hasanah amal baru yang tidak bertentangan dengan syariat dan membawa kebaikan. Bahkan sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud RA, pernah berkata:
“Apa yang dilihat umat Islam sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut baik di sisi Allah. Dan apa yang dilihat umat Islam sebagai perkara yang buruk, maka perkara tersebut buruk di sisi Allah.”
Tulisan ini saya buat sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, dan juga ajakan kepada saudara-saudaraku: monggo maulidan.
Mari rayakan Maulid dengan cara yang sesuai kemampuan kita. Dengan shalawat. Dengan pengajian. Dengan berbagi makanan. Dengan menyebar ilmu dan rasa syukur.
Karena Maulid bukan sekadar peringatan. Ia adalah pernyataan cinta. Cinta yang menumbuhkan harapan untuk mendapat syafaat dari manusia paling penyayang: Rasulullah Muhammad.
Dan jika Abu Lahab saja mendapat setetes air di neraka karena Maulid, maka sungguh besar harapan kita yang merayakannya dengan iman. (Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan
Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Sosial Bani Kyai Tasir Mayong
Opini
Prabowo Teriak, DPR Kedinginan! Koruptor Ketar-Ketir, RUU Perampasan Aset Terhenti

Jakarta— Di tengah rakyat yang makin sengsara dan harga-harga meroket, satu kenyataan memalukan, DPR masih menunda RUU Perampasan Aset, sementara Presiden Prabowo bersuara lantang.
Di warung kopi, Pak Slamet, Kobar, dan Jeri menertawakan pahitnya politik.
“Koruptor itu maling kelas dewa. Ditangkap? Bisa. Tapi hartanya aman. Rakyat? Terus dihantam,” kata Kobar.
“Bedanya maling ayam miskin, maling negara kaya raya. DPR? Mereka diam, melindungi mafia,” tambah Jeri.
Fredi Moses Ulemlem menimpali dengan nada keras.
“Sejak SBY sampai Jokowi, RUU ini digodok. Prabowo teriak bersihkan diri. Tapi DPR? Masih main aman! Ini jelas perlindungan oligarki”, kecamnya, Kamis(4/9).
Pidato Prabowo Subianto berdentum seperti petir.
“Bersihkan dirimu, sebelum kau akan dibersihkan, dan kau akan dibersihkan pasti”
Rakyat membaca jelas siapa yang main-main dengan korupsi, siap-siap disapu bersih. Namun DPR masih bermain aman, takut panas, takut kehilangan jaringan gelap mereka.
DPR Dalih Hukum atau Pelindung Koruptor?
Sturman Panjaitan: “Kita hati-hati…” Jangan sampai hukum menimpa diri sendiri.
Edhie Baskoro Yudhoyono: “Kami siap jika diperlukan cepat.” Siap? Asal aman untuk mereka sendiri.
Muhammad Kholid: “RUU ini solusi adil, efektif.” Minoritas progresif. Tapi cukup berani lawan partai besar ?
Sufmi Dasco: “Tunggu KUHAP selesai.” Alasan klasik untuk memingpong rakyat bertahun-tahun.
Siapa Untung Jika RUU Mandek?
Oligarki dan Mafia Bisnis Bisa tetap menikmati kekayaan rakyat.
Politisi Kaya yang Menyiapkan 2029 → Bisa “cuci uang” tanpa takut kehilangan aset.
Koruptor yang Masih Tidur Nyenyak, Hartanya tetap aman, rakyat terus menanggung akibatnya.
Di warung kopi, rakyat sudah membaca arah angin: DPR pengecut, koruptor tenang, rakyat terhimpit.
“Kalau koruptor kaya makin aman, rakyat miskin makin sengsara. DPR pikir kita bodoh? Semua orang tahu ini soal keberanian, bukan hukum,” tegas Fredi.
Prabowo berdiri di sisi rakyat. DPR? Masih terjebak oligarki. RUU Perampasan Aset bukan sekadar hukum, ini pertempuran keadilan rakyat vs koruptor! (By/Red)
- Nasional13 jam ago
Pejuang Gayatri Buka Donasi Aksi: Masyarakat Bersatu Melawan Kebijakan Pemerintah Miring
- Jawa Timur3 minggu ago
Pemerintah atau Parade Borjuis? Jalan Rusak Diabaikan, Pengadaan Mobil Mewah Pejabat Diprioritaskan
- Nasional3 minggu ago
Gugat Tanah Adat, Warga Geruduk DPRD Tulungagung: Proyek Pemakaman Elite Diduga Ilegal
- Nasional7 hari ago
Demonstrasi 4/9 di Tulungagung, Ketua Almasta Tegaskan Bukan Inspirator Aksi
- Nasional6 hari ago
Spanduk “Aksi Selasa Rakyat”: Suara Diam yang Menggemuruh di Tulungagung
- Jawa Timur2 minggu ago
Diduga Dekat dengan Pejabat, CV Pendatang Baru Kuasai Proyek Konsultan di Tulungagung
- Investigasi2 minggu ago
LSM LASKAR Soroti Tiang WiFi ‘Siluman’ Ancam Keselamatan Warga Blitar
- Jawa Timur2 minggu ago
DPUPR Kabupaten Blitar Siapkan Perbaikan Darurat untuk Jalan Rusak di Jambewangi