Opini
Prabowo Teriak, DPR Kedinginan! Koruptor Ketar-Ketir, RUU Perampasan Aset Terhenti

Jakarta— Di tengah rakyat yang makin sengsara dan harga-harga meroket, satu kenyataan memalukan, DPR masih menunda RUU Perampasan Aset, sementara Presiden Prabowo bersuara lantang.
Di warung kopi, Pak Slamet, Kobar, dan Jeri menertawakan pahitnya politik.
“Koruptor itu maling kelas dewa. Ditangkap? Bisa. Tapi hartanya aman. Rakyat? Terus dihantam,” kata Kobar.
“Bedanya maling ayam miskin, maling negara kaya raya. DPR? Mereka diam, melindungi mafia,” tambah Jeri.
Fredi Moses Ulemlem menimpali dengan nada keras.
“Sejak SBY sampai Jokowi, RUU ini digodok. Prabowo teriak bersihkan diri. Tapi DPR? Masih main aman! Ini jelas perlindungan oligarki”, kecamnya, Kamis(4/9).
Pidato Prabowo Subianto berdentum seperti petir.
“Bersihkan dirimu, sebelum kau akan dibersihkan, dan kau akan dibersihkan pasti”
Rakyat membaca jelas siapa yang main-main dengan korupsi, siap-siap disapu bersih. Namun DPR masih bermain aman, takut panas, takut kehilangan jaringan gelap mereka.
DPR Dalih Hukum atau Pelindung Koruptor?
Sturman Panjaitan: “Kita hati-hati…” Jangan sampai hukum menimpa diri sendiri.
Edhie Baskoro Yudhoyono: “Kami siap jika diperlukan cepat.” Siap? Asal aman untuk mereka sendiri.
Muhammad Kholid: “RUU ini solusi adil, efektif.” Minoritas progresif. Tapi cukup berani lawan partai besar ?
Sufmi Dasco: “Tunggu KUHAP selesai.” Alasan klasik untuk memingpong rakyat bertahun-tahun.
Siapa Untung Jika RUU Mandek?
Oligarki dan Mafia Bisnis Bisa tetap menikmati kekayaan rakyat.
Politisi Kaya yang Menyiapkan 2029 → Bisa “cuci uang” tanpa takut kehilangan aset.
Koruptor yang Masih Tidur Nyenyak, Hartanya tetap aman, rakyat terus menanggung akibatnya.
Di warung kopi, rakyat sudah membaca arah angin: DPR pengecut, koruptor tenang, rakyat terhimpit.
“Kalau koruptor kaya makin aman, rakyat miskin makin sengsara. DPR pikir kita bodoh? Semua orang tahu ini soal keberanian, bukan hukum,” tegas Fredi.
Prabowo berdiri di sisi rakyat. DPR? Masih terjebak oligarki. RUU Perampasan Aset bukan sekadar hukum, ini pertempuran keadilan rakyat vs koruptor! (By/Red)
Opini
Anggaran “Gemuk“, Jalan Rusak Masalah Abadi: Uji Nyali Pemkab Tulungagung di APBD 2026

TULUNGAGUNG– Dalam tata kelola daerah, anggaran sering dianggap sebagai cerminan nyata kesejahteraan. Logika awamnya sederhana, semakin “gemuk” Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), semakin makmur dan maju daerah tersebut.
Tren peningkatan APBD Kabupaten Tulungagung dalam tiga tahun terakhir seolah mengonfirmasi logika ini.
Berdasarkan data, APBD naik dari Rp 2,75 triliun (2023), menjadi Rp 2,89 triliun (2024), dan menyentuh Rp 3 triliun pada 2025. Sebuah pertumbuhan yang patut disyukuri.
Namun, pertanyaan kritis yang kemudian mengemuka adalah, di mana wujud nyata kenaikan anggaran ini yang paling signifikan dirasakan oleh masyarakat? Silakan publik yang menilai sendiri kondisi jalan, pendidikan, dan layanan kesehatan di sekitar mereka.
Kini, proyeksi untuk APBD 2026 justru menunjukkan angin segar yang lebih kencang. Analisis terhadap Rancangan APBD (RAPBD) 2026 mengungkap adanya tambahan napas fiskal yang cukup berarti.
Terdapat kenaikan Transfer ke Daerah (TKD) dari pusat sebesar Rp 132,786 miliar. Di tengah kabar pemangkasan anggaran di banyak daerah oleh Menteri Keuangan, kondisi Tulungagung ini bagai oase.
Tidak berhenti di situ, Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga diproyeksikan melonjak signifikan menjadi Rp 819,4 miliar dari sebelumnya Rp 776 miliar.
Secara keseluruhan, terjadi kenaikan anggaran sekitar Rp 230 miliar. Yang menarik, meski Dana Desa (DD) dari pusat dipotong Rp 38,16 miliar, justru ini bisa menjadi berkah terselubung. Selisih ini dapat dialihkan untuk membiayai program prioritas lain yang lebih mendesak.
Perubahan signifikan lain adalah pada alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) spesifik untuk pendidikan yang pada 2026 dianggarkan nol rupiah.
Padahal, di tahun 2025, anggaran ini mencapai Rp 35,61 miliar yang biasa digunakan untuk Bantuan Operasional Sekolah Penyelenggara (BOSP). Hilangnya anggaran ini, jika dikelola dengan transparan, justru dapat menghilangkan indikasi duplikasi anggaran seperti yang kerap terjadi sebelumnya.
Dengan perhitungan sederhana, total tambahan anggaran yang dapat dialokasikan untuk program-program prioritas pada 2026 mencapai kisaran Rp 300 miliar.
Sebuah angka yang, untuk kesekian kalinya, kerap disebut-sebut “cukup untuk memperbaiki semua jalan rusak di Tulungagung.” Namun, klaim ini akan tetap menjadi jargon kosong tanpa komitmen dan perencanaan yang matang.
Pada akhirnya, Pemerintah Daerah memiliki ruang gerak yang lebih longgar dalam RAPBD Penyesuaian sebelum disahkan menjadi APBD 2026. Peluang emas ini tidak boleh disia-siakan.
Di balik angka-angka yang menggembirakan ini, tantangan sesungguhnya justru dimulai. Masyarakat sipil, termasuk LSM dan para pengamat, harus mengerahkan fungsi kontrolnya.
Kita harus bersama-sama mengawal postur anggaran dan memastikan realisasinya tepat sasaran, transparan, dan akuntabel. Pemerintahan Bupati dan Wakil Bupati periode ini tidak boleh terjebak kembali pada permainan “teknis” Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang kerap mengaburkan tujuan pembangunan.
Peningkatan anggaran adalah modal, bukan tujuan. Kesejahteraan sejati rakyat Tulungagung akan diukur dari jalan yang mulus, sekolah yang berkualitas, dan layanan kesehatan yang terjangkau bukan sekadar dari deretan angka triliunan di atas kertas.
APBD 2026 adalah ujian nyali bagi pemerintah untuk membuktikan bahwa mereka mampu mengubah potensi finansial menjadi kesejahteraan yang nyata. (*)
Oleh: Susetyo Nugroho, Pengamat Kebijakan Publik
Editor: Joko Prasetyo
Opini
Ketika Dua Rumah yang Berhimpitan Berseteru: Refleksi Sosial tentang Makna Tetangga

Jakarta — Sebuah pertunjukan kehidupan sosial yang mengundang perhatian publik terjadi di kawasan Joyogrand, Kota Malang, Jawa Timur. Dua rumah yang berhimpitan, yang dahulu tampak damai dan harmonis, kini justru tampil berseri bukan karena kebaikan, melainkan karena perseteruan yang disiarkan secara terbuka melalui media sosial.
Dalam dua pekan terakhir Oktober 2025 ini, masyarakat disuguhi drama nyata dua keluarga yang berselisih, saling mengungkap versi kebenaran masing-masing di ruang digital.
Sebagian menilai ini tidak elok. Lebih menyedihkan lagi, yang berseteru bukan mereka yang kekurangan, melainkan dua orang yang sama-sama berpendidikan dan hidup dalam kecukupan.
Saya tidak ingin membahas apa pemicu konflik, apalagi menentukan siapa yang benar. Karena bisa jadi secara versi pribadi semua merasa benar.
Namun satu hal yang penting disadari adalah sejatinya mereka adalah satu keluarga, meski rumah berbeda. Dan itu pula hakikat dari tetangga.
Tetangga: Cermin Sosial dan Spiritualitas.
Di balik dinding rumah kita, di balik pagar yang memisahkan halaman, sesungguhnya ada sosok-sosok penting yang Allah hadirkan dalam hidup kita adalah tetangga. Mereka bukan sekadar orang yang tinggal berdekatan, tetapi bisa menjadi sahabat, pengingat, bahkan penolong dalam diam.
Dalam ajaran Islam, dalam budaya Jawa, dan dalam nilai-nilai universal kemanusiaan, tetangga memiliki kedudukan yang sangat mulia.
Rasulullah bahkan menyandingkan perintah memuliakan tetangga dengan perintah menyembah Allah.
Maka jika suatu saat terjadi peristiwa yang mengganggu hati, sabar adalah kuncinya. Kenapa harus sabar?
Karena kita tidak memilih tetangga, tetapi Allah-lah yang memilihkan untuk kita. Dan semua yang Allah pilihkan, pasti mengandung hikmah.
Prinsip Bertetangga dalam Tradisi dan Spiritualitas.
Saya pribadi, sebagai pendatang di lingkungan baru, selalu berupaya menanamkan prinsip bahwa tetangga adalah keluarga besar kita.
Sebagaimana nasihat Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu: “Tetangga itu bukan hanya yang rumahnya berdempetan, tetapi juga yang berada dalam radius 40 rumah dari tempat tinggal kita.”
Artinya, tetangga adalah komunitas kecil yang menjadi cermin akhlak dan karakter kita.
Beberapa prinsip yang saya pegang dalam bertetangga:
1. Pager mangkok lebih kuat dari pager besi yakni berbagi makanan dan kebaikan lebih mempererat hubungan dibanding pagar setinggi apapun.
2. Sapa dengan senyuman bahkan anggukan kecil bisa membuka pintu hati.
3. Menjaga lisan, tidak berkata yang menyakitkan meski akrab.
4. Tolong-menolong dalam kesederhanaan dari meminjam alat hingga menjaga rumah.
5. Menjaga adab dan privasi — tidak membicarakan tetangga di dunia nyata apalagi di media sosial.
6. Menghormati hak tetangga seperti memberi tahu jika ada kegiatan yang bisa mengganggu.
Sabar dan Maaf, Jalan Mulia dalam Konflik.
Saya juga belajar bahwa tidak semua tetangga mudah dipahami. Tapi bukan berarti harus dilawan. Justru ini ladang amal yang luar biasa.
Maka, saya membiasakan diri:
• Mengalah, bukan kalah.
• Menganggap keunikan tetangga sebagai peluang bersabar.
• Memaafkan sebelum diminta.
• Mendoakan diam-diam.
• Menghindari debat yang memicu api.
• Tetap berbuat baik meski tidak dibalas.
• Menjaga silaturahim, karena sowan ke tetangga adalah obat hati.
Tetangga: Investasi Dunia dan Akhirat.
Tetangga adalah keberkahan yang sering terlupakan. Saat darurat, mereka yang pertama hadir. Saat kita sepi, merekalah yang bisa menyapa.
Saya mencatat tiga manfaat besar dari keberadaan tetangga:
1. Keamanan sosial saling menjaga dengan niat baik.
2. Dukungan emosional dalam suka maupun duka.
3. Pendidikan karakter anak lingkungan yang harmonis mencetak generasi yang mulia.
Penutup: Kembalilah pada Hakikat.
Perseteruan dua rumah berhimpitan di Joyogrand seharusnya menyadarkan kita, bahwa tetangga bukan musuh, tetapi amanah sosial dan spiritual. Kita tidak sedang berbicara tentang siapa benar dan siapa salah, tetapi tentang siapa yang ingin menghadirkan ketenangan, bukan kebisingan, kedamaian, bukan perpecahan.
Mari kita rawat relasi dengan tetangga, karena mereka adalah bagian dari takdir sosial kita. Bukan kebetulan, tetapi panggilan ibadah dan akhlak. (DON/Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam.
Opini
Dua Keluarga Bertetangga Saling Laporkan, Dimana Letak Hati Nurani?

Jakarta— Hingga pekan kedua Oktober 2025, publik disuguhi drama hukum yang mempertemukan dua keluarga bertetangga di ranah pidana. Keduanya hidup berdempetan, namun justru saling melaporkan ke polisi.
Dunia maya pun ramai. Para netizen dan penggiat media sosial menjadi saksi bagaimana hubungan antar tetangga bisa memburuk, berubah dari kerukunan menjadi saling serang.
Entah siapa yang puas, jika satu di antara mereka dipenjara. Atau bahkan, bisa jadi keduanya akan berakhir di balik jeruji.
Namun di balik pusaran konflik tersebut, kita patut bertanya lebih dalam, bagaimana kondisi hati mereka?
Dalam kehidupan, kita selalu dihadapkan pada pilihan. Salah satunya adalah jalan tasawuf jalan yang tak hanya menata tubuh lahiriah, tetapi juga jiwa dan ruh.
Jalan ini bukanlah jalan mudah. Menata hati ibarat menaklukkan lautan yang tak pernah tenang. Hati berasal dari kata qalaba yang berarti mudah terbolak-balik.
Ia mudah condong pada hawa nafsu, dan hawa nafsu adalah kegelapan yang menjauhkan manusia dari nur Ilahi.
Banyak yang mampu mengajarkan ilmu tentang ketenangan, kesabaran, dan pencerahan jiwa. Tetapi belum tentu mampu mengaplikasikan semua itu dalam konflik nyata.
Tak heran, di tengah masyarakat yang mengaku religius, masih tampak dendam, takabur, dan keinginan untuk menyakiti sesama. Padahal, prilaku lahiriah adalah cermin dari kondisi hati.
Jika hati bening, maka lahiriah akan memancarkan rahmat. Sebaliknya, jika hati keruh, prilaku pun akan menebar fitnah.
Jika prilaku tidak dijaga, maka hati akan kehilangan kendali. Jasad akan bebas melampiaskan syahwat, jiwa akan menonjolkan ego, dan muncullah keangkuhan. Inilah bibit dari kerusakan sosial. Dari hati yang rusak lahir prilaku menyakiti. Dari prilaku menyakiti, lahir lingkungan penuh konflik.
Solusi atas krisis hati ini bukan sekadar ilmu atau hukum, tetapi dzikir yang menghidupkan hati dan membimbing prilaku.
Dzikir bukan sekadar di lisan, tetapi harus nyata dalam tindakan. Dzikir sejati adalah ketika manusia menjelma menjadi Abdullah, hamba Allah yang menebar kasih, bukan permusuhan.
Bagi para ahli tasawuf, bertetangga bukan soal siapa benar atau siapa salah, tetapi soal siapa yang lebih ingin menghadirkan keberkahan. Mereka tidak sibuk menuntut, tetapi sibuk melayani.
Mereka tidak sibuk menilai, tetapi sibuk mendoakan. Bagi mereka, tetangga adalah ladang amal, bukan ladang konflik.
Karena itu, mari kita ingat: lahiriah adalah cermin hati. Jika cermin itu retak, maka bayangan yang muncul pun menyesatkan.
Maka jagalah prilaku, karena ia adalah jalan menuju keseimbangan batin. Jangan hanya menjadi orang berilmu, tetapi jadilah insan yang menebar kedamaian. Karena ilmu tanpa ketenangan hati hanyalah kilau tanpa cahaya. (DON/Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam
- Nasional2 minggu ago
APBD Jebol untuk Gaji Pegawai, Jalan Rusak di Tulungagung Jadi Anak Tiri
- Nasional1 minggu ago
Gizi atau Cemari?, MBG untuk Anak TK Tuai Kecaman di Tulungagung
- Nasional4 hari ago
Keracunan Siswa di Tulungagung, LMP Desak Penghentian Sementara Total Program MBG
- Nasional2 minggu ago
Dua Orang di Tulungagung Dipukuli Usai Tolak Pemalakan, Aksi Brutal Terekam CCTV
- Nasional2 minggu ago
Misteri Miliaran Rupiah, PPJ Disetor Rakyat, Jalan Tetap Gelap; Apakah Ada Tabir di BPKAD Tulungagung ?
- Nasional7 hari ago
Mencoreng Citra Program Gizi, MBG Berujung Petaka, Puluhan Siswa di Tulungagung Keracunan
- Nasional2 minggu ago
Usai KPK OTT Hibah Jatim, Aktivis Peringatkan “Prabowo Subianto Big Projects” Rawan Korupsi
- Nasional2 minggu ago
Bakar Ban dan Hentakkan Orasi, Massa Pejuang Gayatri Tuntut Bupati Tegas Urusan Korupsi Pendidikan dan Tambang Ilegal