Opini
Abu Grahadi, Ramalan Jayabaya, dan Jejak Prabu Siliwangi: Fredi Moses Lihat Api Rakyat Tak Bisa Memusnahkan Pemimpin Tulus

Surabaya— Malam itu, langit Surabaya memerah. Gedung Negara Grahadi dilalap si jago merah dalam kobaran api yang menembus atap dan meruntuhkan dinding-dinding bersejarah.
Sirene meraung, kepanikan membuncah, dan warga berkumpul menyaksikan bagaimana simbol kekuasaan itu perlahan menjadi abu.
Namun di tengah kepungan bara dan asap pekat, muncul satu pemandangan ganjil yang membuat bulu kuduk banyak orang merinding: lukisan Pakde Karwo, mantan Gubernur Jawa Timur, berdiri utuh tanpa tersentuh sedikit pun oleh api.
Seorang relawan pemadam kebakaran mengaku menyaksikan kilatan cahaya aneh sebelum menemukan lukisan itu dalam keadaan utuh. “Bagaimana mungkin kain kanvas tidak terbakar, padahal lemari besi saja meleleh?” ujarnya dengan nada tak percaya.
Fenomena ini segera memantik beragam tafsir, baik dari kalangan spiritual, adat, maupun masyarakat umum. Dari Jawa hingga Sumatera, dari Bugis hingga Bali, tafsir bermunculan bak percikan api yang tak bisa dipadamkan.
Dalam tradisi Jawa, dikenal pepatah: “geni mung ngobong sing reged” api hanya membakar yang kotor.
Maka, selamatnya lukisan itu diyakini sebagai tanda bahwa semesta masih merestui sosok tersebut.
Tafsir ini menyiratkan bahwa roh kepemimpinan yang tulus dan bersih tak bisa dimusnahkan.
Di Bali, api adalah penyuci. Sesuatu yang lolos dari api dianggap sudah melewati ujian suci. Di Bugis, kisah tentang benda pusaka yang tak mempan api merupakan tanda hadirnya leluhur.
Di Sunda, pitutur Prabu Siliwangi mengisahkan raja besar yang “ngahiang” tanpa bekas tidak bisa dibakar, tidak bisa dikubur.
Banten memiliki kisah para ulama yang kitab dan mukenanya tetap utuh meski rumah terbakar.
Minangkabau pun punya petuah adat: “Nan sabana murni, indak kaabu dek api” yang benar-benar murni, tak jadi abu oleh api.
Serat Jayabaya, naskah kuno yang sering dikaitkan dengan ramalan masa depan Jawa, menyebut bahwa dalam masa gonjang-ganjing negeri, akan muncul “isyarat dari api”: sesuatu yang tak terbakar sebagai pertanda bahwa roh penjaga tanah Jawa masih berjaga.
Apakah ini saatnya? Abu Grahadi menyisakan satu simbol yang tak tersentuh: lukisan seorang pemimpin yang dikenal dekat dengan rakyatnya.
Dari kalangan muda, suara reflektif datang dari Fredi Moses Ulemlem, tokoh muda marhaenis dan pengamat sosial-politik.
Ia memandang fenomena ini bukan sekadar mistis, tapi sebagai pesan zaman.
“Lukisan yang selamat dari api bukan cuma keanehan, tapi simbol bahwa rakyat masih menyimpan memori kolektif tentang pemimpin yang tulus. Api baik api amarah maupun api kebencian tak bisa memusnahkan kepemimpinan yang lahir dari niat baik dan kerja nyata. Yang terbakar adalah simbol kekuasaan kosong, bukan jiwa pengabdian.”
Fredi bahkan mengaitkan fenomena ini dengan pesan abadi Bung Karno:
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.”
Menurutnya, Grahadi bisa hancur, tapi jiwa kepemimpinan yang berpihak pada wong cilik tak akan pernah musnah.
Kini, peristiwa ini ramai diperbincangkan di berbagai sudut Nusantara. Ada yang melihatnya sebagai kebetulan, ada pula yang menganggapnya sebagai wahyu zaman.
Tapi yang pasti, dari puing-puing Grahadi, sebuah cerita baru lahir: tentang jiwa kepemimpinan yang tak bisa dilalap api.
Apakah ini isyarat untuk generasi pemimpin ke depan? Atau peringatan bahwa hanya ketulusan yang akan dikenang dan dilindungi semesta?
Yang jelas, api telah berbicara dan rakyat, pelan-pelan, mulai mendengar. (By/DON)
Opini
Dari Sempalan hingga Partai Baru: Tak Ada yang Berhasil Menggerus PDI-Perjuangan

Jakarta— Pernyataan Ali, Ketua Harian PSI, yang menyentil soal politik “yang tak pernah menghasilkan Presiden” dan mengusik trah Sukarno bukan sekadar manuver verbal.
Ini adalah langkah yang dengan sengaja diarahkan untuk memasuki ceruk merah ruang historis, ideologis, dan emosional yang selama puluhan tahun menjadi rumah besar PDI-Perjuangan.
Untuk memahami respons publik dan arah kontestasi politiknya, perjalanan panjang PDI-P serta kegagalan para rivalnya dalam mengoyak konsistensi ideologis banteng perlu dilihat secara utuh.
1. Menyentuh Sukarnoisme: PSI Bermain di Area Berbahaya.
Ketika Ali menyinggung sejarah politik Megawati dan menyebut kubu “yang tidak pernah melahirkan presiden”, ia sesungguhnya menyentuh nadi terdalam PDI-P: legitimasi historis dan trah Sukarno.
Bagi PDI-P, Sukarnoisme bukan ornamen simbolik. Ia adalah ideologi yang dirawat, diwariskan, dan menjadi identitas kolektif kader hingga akar rumput.
Karena itu, serangan ke wilayah ini terbaca sebagai tantangan langsung terhadap fondasi ideologis banteng.
2. Momentum PSI: Basis Banteng Memang Sedang Cair, Namun Tidak Kosong Nilai.
PSI melihat peluang politik melalui beberapa indikator:
• Kemenangan Prabowo–Gibran di Jawa Tengah, jantung basis PDI-P.
• Kecenderungan pemilih muda terhadap politik populis ala Jokowi–Gibran.
• Fragmentasi politik lokal yang membuka celah baru.
Namun cairnya basis bukan berarti hilangnya fondasi. Ceruk merah bukan sekadar pasar elektoral, melainkan ruang ideologis yang telah mengakar selama lebih dari dua dekade. Banyak yang gagal memahami kedalaman ini.
3. Sempalan Banteng: PNBK dan PDP Runtuh Karena Tanpa Ideologi.
PNBK dan PDP, dua sempalan awal PDI-P pernah mencoba menjadi alternatif. Namun keduanya hilang tanpa jejak politik yang berarti.
Pelajarannya jelas: PDI-P bukan sekadar mesin elektoral; ia adalah kultur.
Tidak cukup mengandalkan simbol merah dan nama besar untuk merebut ceruk Sukarnois.
4. Demokrat Berkuasa 10 Tahun, Tapi Tetap Tak Bisa Menggeser PDI-P.
Jika ada partai yang pernah menjadi penantang serius PDI-P, itu adalah Partai Demokrat pada era SBY (2004–2014).
Dengan kekuasaan penuh dua periode:
• Demokrat memimpin pemerintahan.
• PDI-P berada sebagai oposisi keras.
• Ketegangan SBY–Megawati menjadi dinamika politik nasional.
Namun hasil jangka panjangnya ironis:
• PDI-P tetap kokoh.
• Elektabilitas Demokrat merosot setelah SBY turun.
• PDI-P justru bangkit dan memenangi Pemilu 2014 dan 2019.
Ini menunjukkan bahwa kekuasaan negara tidak otomatis melemahkan ideologi.
5. Gerindra Menang Pilpres, Tapi Ceruk Banteng Tetap Tak Tersentuh.
Kini Gerindra memegang kursi kepresidenan. Namun polanya kembali sama:
• Gerindra tumbuh bukan dengan menggerus suara PDI-P.
• Basis banteng tetap stabil.
• Dominasi eksekutif tidak serta-merta mengalihkan loyalitas ideologis.
Kemenangan Pilpres bukan kemenangan atas identitas politik.
6. PDI-P: Satu-Satunya Partai yang Konsisten di Era Reformasi.
Inilah faktor pembeda paling fundamental.
Sejak 1999, PDI-P adalah satu-satunya partai yang:
• Pernah menang, kalah, lalu menang kembali.
• Bertahan sebagai oposisi tanpa kehilangan basis.
• Bangkit dari konflik internal besar.
• Memiliki struktur masif yang teruji puluhan tahun.
• Menjaga kontinuitas ideologi Sukarnoisme lintas tiga generasi pemilih.
Di tengah turbulensi reformasi, hanya PDI-P yang mampu membangun tradisi politik yang konsisten, bukan sekadar mengikuti arus kekuasaan.
Kunci utamanya: Kepemimpinan Megawati yang tegas menjaga ideologi, disiplin organisasi, dan kesinambungan sejarah partai.
Partai lain datang dan pergi. PDI-P justru menua, matang, dan bertahan.
7. Kesimpulan: PSI Boleh Ribut, Tetapi Ceruk Merah Memiliki Gerbang Ideologi.
Manuver PSI yang mengusik trah Sukarno memang memancing perhatian, tetapi memasuki ceruk merah bukan pekerjaan retorika. Ia membutuhkan:
• Konsistensi ideologi
• Basis akar rumput yang terjaga
• Struktur organisasi yang solid
• Rekam jejak panjang
• Kepemimpinan yang stabil
PDI-P telah menghadapi:
• Sempalan banteng — tumbang
• Dua rezim kekuasaan — bertahan
• Rival besar seperti Demokrat dan Gerindra — tetap kokoh
• Pergeseran generasi pemilih — tetap relevan
Kini PSI mencoba masuk gelanggang yang sama. Pertanyaannya sederhana namun berat:
Apakah PSI siap menghadapi bukan hanya PDI-P sebagai partai, tetapi PDI-P sebagai tradisi politik?
Atau sejarah kembali berulang, penantang datang dan pergi, sementara banteng tetap berdiri kokoh di jalur ideologinya. (By/Red)
Oleh: Freddy Moses Ulemlem, SH, MH.
Opini
Hari Jadi Tulungagung ke-820: Saatnya Menata Ulang Prioritas Pembangunan Daerah

TULUNGAGUNG – Kabupaten Tulungagung resmi memasuki usia ke-820 tahun, sebuah capaian historis yang mengingatkan betapa panjang perjalanan daerah ini dalam mengarungi dinamika budaya, politik, dan pembangunan.
Peringatan ini seharusnya tidak berhenti sebagai tradisi seremonial, tetapi menjadi momentum refleksi: bagaimana arah pembangunan Tulungagung akan digagas untuk satu dekade ke depan?
Dikenal sebagai wilayah dengan kekayaan budaya yang kokoh mulai dari peninggalan kerajaan, kesenian jaranan, sampai tradisi agraris Tulungagung memiliki bekal kuat untuk menancapkan identitasnya di tengah perubahan zaman. Namun sekadar merawat budaya tidak lagi cukup.
Dengan potensi wisata pesisir dan seni lokal yang terus hidup, diperlukan langkah strategis untuk menjadikan unsur budaya sebagai penggerak ekonomi.
Pengembangan pariwisata berbasis sejarah, peningkatan kualitas pelaku seni, hingga penyediaan ruang kreatif publik harus masuk dalam prioritas nyata, bukan hanya rencana di atas kertas. Usia ke-820 menjadi waktu tepat untuk melahirkan kebijakan yang mampu menjembatani nilai tradisi dengan kebutuhan generasi modern.
Setahun terakhir, pembangunan infrastruktur di Tulungagung terlihat cukup pesat: perbaikan jalan, pembenahan fasilitas publik, serta revitalisasi kawasan terus digencarkan.
Meski demikian, pembangunan yang ideal tidak hanya diukur dari seberapa banyak proyek fisik yang berdiri.
Masyarakat kini menunggu hadirnya pembangunan yang menyentuh aspek yang lebih fundamental, seperti:
• Penguatan ekonomi rakyat berbasis potensi lokal,
• Pemerataan layanan pendidikan dan kesehatan,
• Penyediaan lapangan pekerjaan berkualitas untuk menekan urbanisasi,
• Digitalisasi layanan publik yang lebih transparan dan mudah diakses.
Warga berharap pembangunan tidak berhenti pada simbol kemajuan, tetapi memberikan manfaat langsung bagi kesejahteraan mereka.
Dengan slogan Hari Jadi ke-820 “Tulungagung Bersatu, Satukan Langkah untuk Tulungagung Maju” serta visi “Masyarakat Tulungagung yang Sejahtera, Maju, dan Berakhlak Mulia, Sepanjang Masa”, tahun ini terasa berbeda.
Kepemimpinan baru dengan latar belakang dunia usaha menghadirkan ekspektasi bahwa manajemen pemerintahan akan lebih profesional dan adaptif terhadap perubahan.
Namun ekspektasi membutuhkan pembuktian. Terobosan nyata yang dapat mempercepat lompatan pembangunan harus diwujudkan melalui:
• Inovasi layanan publik,
• Kolaborasi erat dengan UMKM dan sektor usaha,
• Optimalisasi kekuatan desa sebagai motor ekonomi,
• Pengelolaan anggaran yang amanah dan terukur.
Masyarakat kini menanti pemimpin yang bukan hanya berwacana, tetapi mampu menempatkan warga sebagai aktor utama pembangunan.
Usia 820 tahun adalah penanda sejarah, tetapi jauh lebih penting untuk membayangkan bagaimana Tulungagung pada usia 830 tahun mendatang.
Apakah menjadi daerah yang makin kompetitif dan modern, atau tertinggal karena kurang berani mengambil langkah besar?
Di tengah kompetisi antar-kabupaten yang semakin ketat, Tulungagung membutuhkan visi jangka panjang yang bukan hanya kuat di narasi, tapi konsisten dalam pelaksanaan.
Pemerintah, masyarakat, pelaku bisnis, serta komunitas lokal perlu berjalan dalam satu irama untuk mewujudkan daerah yang berdaya saing dan tetap berakar pada budaya.
Peringatan Hari Jadi ke-820 seyogianya menjadi pengingat bahwa perjalanan panjang tidak boleh membuat Tulungagung berpuas diri.
Tantangan ke depan menuntut arah pembangunan yang lebih inklusif, progresif, dan berorientasi pada manusia.
Hanya dengan kesatuan visi dan keberanian mengimplementasikannya, Tulungagung dapat tumbuh menjadi kabupaten yang lebih baik dan membanggakan. Selamat Hari Jadi Tulungagung ke-820. Semoga menjadi momentum kebangkitan baru bagi seluruh masyarakatnya.(DON/Red)
Oleh: Abdul Maliq Hasim, Anggota Banser Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung.
Editor: Joko Prasetyo
Opini
Transisi Kepemimpinan Global dalam Geopolitik Energi

Jakarta— Dalam salah satu pidato TED-nya, ilmuwan politik Ian Bremmer mengajukan pertanyaan sederhana tapi tajam “Who runs the world?”
Pertanyaan itu kini sulit dijawab. Dunia yang dulu dipimpin oleh satu kekuatan dominan Amerika Serikat kini berubah menjadi sistem multipolar yang cair.
Kekuasaan tersebar, koordinasi global melemah, dan aliansi lama kehilangan daya rekat.
Bremmer menyebut fenomena ini sebagai dunia G-Zero dunia tanpa pemimpin global yang jelas.
Dalam kondisi seperti ini, politik internasional lebih sering diwarnai oleh kepentingan nasional jangka pendek ketimbang visi kolektif untuk masa depan.
Namun, di balik gejolak politik ini, terdapat satu faktor kunci yang jarang dibicarakan secara mendalam yaitu geopolitik energi.
Energi Sebagai Poros Kekuasaan Dunia.
Menurut Carlos Pascual dan Evie Zambetakis dalam The Geopolitics of Energy (2010), energi bukan sekadar komoditas ekonomi, ia adalah alat kekuasaan.
Negara yang mampu mengendalikan pasokan energi, jalur distribusi, dan teknologi ekstraksi akan memiliki pengaruh politik yang luar biasa.
Contoh paling nyata terlihat dalam ketegangan antara Rusia dan Eropa. Ketergantungan Eropa terhadap gas Rusia selama dua dekade terakhir telah membentuk hubungan politik yang asimetris di mana keputusan energi sering kali menjadi senjata diplomasi.
Pascual menegaskan, “energy security is the new currency of power.” Dalam politik ekonomi global, sumber daya energi kini berfungsi layaknya cadangan devisa geopolitik.
Transisi Energi dan Politik di Asia Timur dan Tenggara.
Namun, dinamika kekuasaan ini mulai bergeser seiring masuknya era transisi energi. Studi oleh Jérémy Jammes, Éric Mottet, dan Frédéric Lasserre (2020) dari Conseil québécois d’Études géopolitiques menunjukkan bahwa Asia Timur dan Asia Tenggara kini menjadi laboratorium besar bagi politik energi baru.
Negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan bersaing dalam investasi teknologi hijau, sementara Indonesia, Vietnam, dan Malaysia bernegosiasi antara ketergantungan pada batu bara dan tekanan global untuk beralih ke energi terbarukan.
Transisi energi ini bukan hanya soal iklim, tapi juga politik ekonomi industrialisasi baru siapa yang akan menguasai rantai pasok lithium, rare earth elements, dan teknologi baterai menjadi pertaruhan strategis abad ke-21.
Mediterania dan Jalur Energi Baru.
Di sisi lain, kawasan Mediterania muncul sebagai pusat energi strategis bagi Eropa. Jalur pipa gas dari Afrika Utara, proyek offshore gas di Laut Tengah, hingga ekspansi terminal LNG menjadikan wilayah ini kunci dalam strategi diversifikasi Eropa.
Keseimbangan baru ini menunjukkan bahwa geopolitik energi kini lebih kompleks, tidak lagi dikontrol oleh segelintir negara produsen, melainkan oleh jaringan ekonomi politik global yang menghubungkan negara, korporasi, dan pasar.
Politik Ekonomi Transisi Antara Pasar dan Kedaulatan.
Dari perspektif politik ekonomi, transisi energi global menggambarkan tarik-menarik antara dua kutub kedaulatan nasional dan mekanisme pasar global.
Negara membutuhkan kebijakan industri strategis untuk menjaga kemandirian energi, namun pada saat yang sama tidak bisa lepas dari tekanan pasar internasional dan investor hijau.
Dalam konteks ini, kebijakan energi bukan hanya soal efisiensi atau emisi karbon, melainkan juga tentang siapa yang mengatur arah akumulasi kapital global. Seperti diingatkan Jammes dkk.
Transisi energi bisa memperkuat ketimpangan baru antara negara produsen bahan baku dan negara penguasa teknologi hijau.
Demokrasi dan Tantangan Kepemimpinan Global.
Ian Bremmer menutup refleksinya dengan peringatan jika dunia tanpa pemimpin, maka tanggung jawab kepemimpinan harus berpindah ke masyarakat global.
Demokrasi hanya bertahan jika warganya sadar akan keterlibatan mereka dalam sistem ekonomi-politik global yang memengaruhi kehidupan sehari-hari mulai dari harga energi hingga arah investasi publik.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, politik energi menjadi cermin politik manusia siapa yang berani berpikir melampaui kepentingan jangka pendek untuk masa depan bersama.
Dunia tidak lagi dikendalikan oleh satu kekuatan tunggal. Namun, kekuasaan baru sedang terbentuk di titik pertemuan antara energi, teknologi, dan ekonomi politik global. Pertanyaannya kini bukan lagi siapa yang menguasai dunia, tetapi siapa yang mampu memahami dan mengelola perubahan itu dengan visi jangka panjang.
Referensi.
• Bremmer, Ian. Who Runs the World? (TED Talk, 2022).
• Pascual, Carlos & Zambetakis, Evie. The Geopolitics of Energy. In Energy Security: Economics, Politics, Strategies, and Implications, 2010.
• Jammes, Jérémy; Mottet, Éric; Lasserre, Frédéric. East and Southeast Asian Energy Transition and Politics. Conseil québécois d’Études géopolitiques, 2020. (By/Red)
Oleh: Yuwono Setyo Widagdo, S.Sos., MH.
Jawa Timur4 hari agoTruk Tangki BBM Terbalik di JLS Tulungagung, Sopir Hilang dan Solar 6.000 Liter Diselidiki Polisi
Nasional6 hari agoPolemik Pemulangan Pasien Kritis Memanas, RSUD dr. Iskak Tulungagung Paparkan Hasil Audit Internal
Redaksi1 minggu agoPinka Kian Kumuh, Warga Geram PKL Tinggalkan Tenda dan Sampah Usai Jualan
Redaksi3 hari agoDampak Proyek JLS Picu Gejolak di Ngrejo: Warga Ancam Gelar Aksi 2.000 Massa, Tuntut PT HK Gala Bertanggung Jawab
Jawa Timur1 minggu agoAroma Korupsi dan Kerusakan Lingkungan: Protes Warga Ngepoh Meletup soal Proyek Shangrila Memorial Park
Redaksi1 minggu agoJebakan Maut! Jalan Baru ke Segawe Berlumpur, Truk Galian C Diduga Biang Kerok
Redaksi2 minggu agoMeresahkan! Copet Berkedok Wartawan Gadungan Ditangkap di Tengah Keramaian HUT Tulungagung
Redaksi17 jam agoProtes Dampak JLS, Warga Ngrejo Serbu DPRD Tulungagung; Kejati Jatim Ikut Cari Solusi












