Connect with us

Opini

Ancaman Pemred “Bau Kencur” terhadap Kredibilitas Media di Era Digital

Published

on

JAKARTA,- Pertumbuhan media siber yang masif di era digital dinilai membawa ancaman serius terhadap kredibilitas jurnalisme Indonesia. Fenomena pengangkatan Pemimpin Redaksi (Pemred) yang minim kompetensi dan pengalaman disebut sebagai akar persoalan.

Di tengah kemudahan mendirikan media online, muncul kekhawatiran dari kalangan ahli pers terkait maraknya Pemimpin Redaksi (Pemred) yang tidak memenuhi standar profesional.

Mahmud Marhaba, Ahli Pers Dewan Pers, dalam opininya menyebut fenomena ini sebagai “Pemred Bau Kencur”, istilah yang merujuk pada pemimpin redaksi berpengetahuan dangkal dan minim pengalaman.

“Banyak media online mengangkat Pemred hanya karena kedekatan atau alasan non-jurnalistik, bukan kompetensi. Akibatnya, kualitas berita turun drastis, bahkan melanggar etika,” kata Marhaba dalam keterangan tertulisnya, pada Senin (18/03).

Menurutnya, kemudahan pendirian media siber dengan biaya rendah dan prosedur cepat memicu pertumbuhan media “instan”. Sayangnya, hal ini tidak diimbangi sumber daya manusia mumpuni. Banyak media tidak memiliki tim redaksi profesional, sehingga menghasilkan konten tidak akurat, provokatif, dan cenderung mengabaikan verifikasi fakta.

“Pemred yang tidak kompeten gagal membimbing wartawan. Berita tidak berimbang, sensasional, dan menyesatkan pun menjadi konsumsi publik. Ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap media secara keseluruhan,” tegasnya.

Persoalan ini diperparah oleh budaya “jurnalisme instan” di era digital, di mana kecepatan sering dikorbankan demi akurasi. Marhaba menegaskan, banyak wartawan muda terjebak memproduksi berita sensasional tanpa verifikasi, bahkan melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Pelanggaran seperti ini, menurutnya, berpotensi memicu tuntutan hukum dan memperdalam krisis kredibilitas media.

Dewan Pers pun mengingatkan pentingnya prinsip KEJ: independensi, akurasi, dan keseimbangan. Namun, penerapannya memerlukan kepemimpinan redaksi yang kuat.

Marhaba mendesak pemilik media untuk tidak lagi mengabaikan kualitas.

“Pemilik media harus memilih Pemred kompeten, membangun tim profesional, dan berinvestasi pada pelatihan berkelanjutan. Hanya dengan ini, media bisa menjadi pilar demokrasi yang dipercaya,” paparnya.

Di tengah gempuran informasi, masyarakat diimbau kritis memilih sumber berita terpercaya.(*)

Naskah diproduksi berdasarkan opini resmi Mahmud Marhaba, Ahli Pers Dewan Pers.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Opini

Eks Direktur KPK Mengkritisi Pemerintahan Tulungagung: Jagalah Keseimbangan Antara Pemimpin dan Rakyat

Published

on

TULUNGAGUNG– Sujanarko, mantan Direktur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memberikan peringatan serius terhadap pemerintahan Kabupaten Tulungagung.

Dalam pandangannya, keseimbangan antara pemimpin daerah dan masyarakat sipil harus dijaga secara ketat, mengingat potensi besar dari pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan oleh sanjungan berlebihan terhadap kepala daerah.

“Saya setuju bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, semua pihak harus dilibatkan. Namun, kita perlu waspada terhadap kelompok yang terlalu mengagungkan pemimpin. Ini bisa menjerumuskan kita ke dalam jurang ketidakadilan,” tegas Sujanarko dalam sebuah diskusi yang dikutip dari group whatsapp Tulungagung Kritis, Selasa(8/4).

Menurutnya, di era modern saat ini, peran bupati seharusnya bukanlah seperti tumenggung pada jaman penjajahan, melainkan sebagai pelayan masyarakat.

Sanjungan yang berlebihan dapat menciptakan jarak yang berbahaya antara pemimpin dan rakyat yang dilayani.

Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely,” tambahnya, memperingatkan bahwa ketidakadilan bisa muncul ketika pemimpin merasa berada di atas angin.

Dirinya menyerukan agar bupati dan wakilnya tidak terjebak dalam menara gading, yang dapat memisahkan mereka dari realitas kehidupan masyarakat.

“Harus ada keterhubungan yang nyata. Ketika bupati terangkat ke ketinggian yang berlebihan, masyarakat di bawah justru menjadi tidak terlihat,” ujarnya dengan nada yang mendalam.

Peringatan ini sepatutnya menjadi perhatian serius bagi seluruh elemen pemerintahan dan masyarakat, demi terciptanya pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan benar-benar melayani kepentingan rakyat. (DON-red)

Editor : Joko Prasetyo

Continue Reading

Opini

Problematika SKTM dan Layanan Kesehatan Jauh dari Harapan

Published

on

TULUNGAGUNG– Munculnya kebijakan pemerintah mengenai Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sebagai syarat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis seharusnya menjadi langkah positif untuk menjamin akses kesehatan bagi masyarakat kurang mampu.

Namun, banyaknya kendala dan problematika yang terjadi dalam implementasinya menunjukkan bahwa kebijakan ini masih jauh dari harapan dan perlu dievaluasi dengan serius.

Salah satu masalah utama yang muncul adalah prosedur pengajuan SKTM yang terkesan rumit dan berbelit-belit.

Masyarakat, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil dan kurang mendapatkan pendidikan, sering kali sulit untuk memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan.

Akibatnya, banyak orang yang seharusnya berhak mendapatkan layanan kesehatan gratis justru terhambat oleh administrasi yang tidak efisien.

Ini menciptakan diskriminasi tidak hanya dalam akses kesehatan, tetapi juga merusak esensi dari bantuan sosial itu sendiri.

Selain itu, ada isu tentang ketidakakuratan data yang seringkali dijadikan dasar dalam penerbitan SKTM. Banyak warga yang terdaftar sebagai penerima program ini bukanlah yang paling membutuhkan, sementara mereka yang benar-benar berada dalam keterbatasan sering kali terlewatkan.

Data yang tidak akurat menjadi batu sandungan bagi upaya pemerintah untuk menjangkau masyarakat secara efektif.

Seharusnya, pemerintah melakukan pengkinian dan validasi data secara berkala agar SKTM bisa lebih mencerminkan kondisi nyata masyarakat.

Tak kalah pentingnya adalah kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pemegang SKTM.

Masyarakat sering kali melaporkan bahwa meskipun mereka memiliki SKTM, pelayanan yang mereka terima tidak memadai, baik dari segi waktu tunggu, perhatian tenaga medis, maupun ketersediaan obat-obatan.

Ini menciptakan rasa ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap sistem kesehatan yang seharusnya melindungi mereka.

Jika tujuan dari SKTM adalah untuk menjamin akses terhadap layanan kesehatan, maka seharusnya pemerintah juga memastikan bahwa kualitas pelayanan tersebut tidak tereduksi, terlepas dari status ekonomi individu.

Ada pula masalah stigmatisasi yang dialami oleh pemegang SKTM. Dalam beberapa kasus, mereka yang menggunakan SKTM mendapatkan perlakuan diskriminatif dari petugas maupun masyarakat lainnya.

Ini menimbulkan rasa malu dan menghalangi mereka untuk memanfaatkan layanan kesehatan yang seharusnya menjadi hak mereka.

Strategi komunikasi publik yang lebih baik harus diterapkan untuk mendorong kesadaran akan pentingnya SKTM sebagai alat untuk membantu mereka yang sedang kesulitan, bukannya sebagai label negatif.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, pemerintah perlu meninjau ulang dan mereformasi sistem SKTM secara menyeluruh.

Pertama, perlu ada simplifikasi proses pengajuan SKTM agar lebih user-friendly dan dapat diakses oleh semua kalangan.

Kedua, pengelolaan data yang lebih baik harus menjadi prioritas utama. Implementasi teknologi informasi dalam pengelolaan data sosial akan membantu pemerintah dalam mengidentifikasi dan menjangkau masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Ketiga, pelatihan bagi tenaga medis dalam memberikan layanan kepada pemegang SKTM juga sangat penting untuk memastikan kualitas layanan tetap terjaga.

Akhirnya, perlu ditekankan bahwa SKTM seharusnya bukan sekadar kebijakan administrasi, tetapi merupakan cerminan dari komitmen pemerintah untuk menghormati hak asasi setiap warga negara dalam mendapatkan layanan kesehatan. Kesehatan adalah hak, bukan privilese.

Jika pemerintah ingin menjadikan SKTM sebagai alat untuk mendukung akses kesehatan, maka pembaruan dan penyesuaian kebijakan yang mendasar adalah keharusan.

Hanya dengan cara ini, kita dapat menciptakan sistem layanan kesehatan yang adil, merata, dan berkelanjutan, demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Penulis : Mashuri, seorang Jurnalis dan juga Ketua Ikatan Wartawan Online (IWOI) DPD Tulungagung.

Editor : JK

Continue Reading

Opini

Kehadiran Kritik dalam Pembangunan: Membangun Kualitas, Bukan Menjatuhkan Harapan

Published

on

TULUNGAGUNG– Di tengah dinamika kehidupan sosial dan politik yang kian kompleks, kritik sering dipandang sebagai hal yang negatif. Banyak yang beranggapan bahwa mengkritik adalah tanda ketidakpuasan atau bahkan pembangkangan terhadap pihak berwenang.

Namun, jika kita telaah lebih dalam, kritik sejatinya merupakan salah satu bentuk partisipasi yang paling penting dalam proses pembangunan suatu bangsa.

Kritik adalah cermin dari keberagaman pendapat yang ada di masyarakat. Ia memberikan ruang bagi individu untuk menyampaikan pandangannya terhadap berbagai isu, mulai dari kebijakan publik, pemerintahan, hingga masalah sosial.

Dalam hal ini, kritik bisa menjadi alat pengingat bagi pemimpin agar tetap pada jalur yang benar dan tidak melupakan tanggung jawab mereka terhadap rakyat.

Sayangnya, banyak pihak yang terjebak dalam pemikiran sempit tentang kritik. Mereka beranggapan bahwa kritik berarti menghancurkan, padahal yang terjadi sebenarnya adalah membangun.

Di era demokrasi, kritik menjadi vital untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas. Tanpa adanya kritik yang konstruktif, akan sulit bagi setiap pihak untuk mengevaluasi kinerja mereka dan memperbaiki kesalahan yang ada.

Lebih jauh lagi, kritik yang disampaikan dengan cara yang santun dan rasional dapat mendorong dialog yang positif.

Ini penting dalam menciptakan ruang diskusi yang sehat, di mana pendapat yang berbeda dapat saling mendengarkan dan mencari solusi bersama.

Masyarakat yang terbuka terhadap kritik akan lebih mampu beradaptasi dan menghadapi tantangan yang ada.

Namun, kritik haruslah disertai dengan data dan fakta yang kuat, serta tujuan yang jelas. Kritik yang sarkastik atau hanya berorientasi pada penghinaan justru akan menghambat dialog konstruktif.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk belajar menyampaikan kritik dengan bijak dan mendidik.

Dalam konteks pembangunan bangsa, baik pemerintah maupun masyarakat sipil perlu menyadari bahwa kritik bukanlah musuh, melainkan teman.

Kita perlu menciptakan budaya yang menghargai keberanian untuk mengkritik serta keterbukaan untuk menerima kritik.

Sebagai penutup, mari kita hargai dan junjung tinggi kritik yang konstruktif. Dengan begitu, kita semua dapat berkontribusi pada pembangunan bangsa yang lebih baik, lebih transparan, dan lebih berkeadilan.

Setiap suara, termasuk kritik, memiliki kekuatan untuk mendorong perubahan positif. Sudah saatnya kita menjadikan kritik sebagai bagian dari proses belajar bersama. (*)

Penulis: Donny Docken, sebagai jurnalis dan pimpinan redaksi media 90detik.com

Editor : JK

Continue Reading

Trending