Opini
Debat Capres-Cawapres Untuk Menentukan Pemimpin Indonesia yang Ideal

TULUNGAGUNG, 90detik.com -Usai debat Capres-cawapres ke empat yang diselenggarakan oleh KPU RI beberapa lalu, banyak menyisakan cerita, dan cerita ada yang baik dan benar.
Namun banyak juga kabar yang justru membuat gaduh, dan membuat persepsi yang tidak benar. Sehingga menimbulkan kesan adanya keretakan sesama anak bangsa.
Hal tersebut, menjadi perhatian dari tokoh ulama dan pengasuh pondok pesantren Al Azhaar KH Imam Mawardi Ridlwan, bahwa dampak dari debat yang kemarin. Agenda debat yang semestinya untuk saling menemukan solusi, dan berubah menjadi ajang saling menelanjangi antar paslon.
“Saya tidak sempat menyaksikan kegiatan debat capres-cawapres 2024. Saya hanya menyaksikan dampak keretakan dari debat capres-cawapres yang dianggap sebagai pertarungan hidup mati,”ujar Kyai yang akrab disapa Abah Imam, pada Rabu (24/1).
Masih, Abah Imam menjelaskan usai pelaksanaan debat capres-cawapres, dilanjutkan atraksi para timses mengunggulkan idolanya dibarengi merendahkan dan mencaci maki lawan.
“Situasi tersebut berbahaya untuk persatuan dan keutuhan bangsa. Karena pola tersebut merupakan pemicu memecah belah persatuan dan keutuhan bangsa,” jelas Abah Imam.
Menurutnya, semua dibesarkan dalam kultur berbangsa dan negara berdasarkan Pancasila yang telah mengajarkan saling menghormati dan santun. Pancasila mengutamakan nilai-nilai keluhuran, etika, kejujuran dan tidak saling membuat narasi yang menjelekkan antara paslon serta para timsesnya masing-masing paslon.
“Berbangsa berdasarkan Pancasila bukan seperti hidup di negeri liberal yang bebas bertarung (free fight) tanpa etika. Pertarungan rakyat memang selalu dikehendaki dan dirancang oleh pihak asing dan aseng agar mereka bebas menjadikan pemimpin budak mereka”, tegas Abah Imam.
Kesempatan ini, Abah Imam juga berharap dalam waktu yang masih tersisa sebaiknya para timses tidak terjebak menciptakan kondisi menuju perang antara rakyat.
Untuk menyampaikan visi, misi, program dan kebijakan selama lima tahun mendatang.
“Rakyat akan memilih yang sesuai hati nurani mereka, para timses harus kembali ke kehidupan Pancasila yaitu mengembalikan kekuasaan itu anugerah Allah SWT. Tugas kita adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa,” tegasnya.
Lebih lanjut, dirinya menjelaskan masing-masing rakyat terikat dalam hubungan perdamaian. Dan seluruh ikatan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika saat proses Pemilu terjadi perbedaan antar rakyat hanya perbedaan saat ada di bilik suara.
“Kita kembali pada azas kekeluargaan dalam berbangsa dan bernegara. Yaitu prinsip kebersamaan dan keselarasan mewujudkan persatuan bangsa. Pancasila itu hidup secara gotong royong dalam ajaran agama Islam hidup berjama’ah,” tukasnya.
Lebih utama lagi, Abah Imam juga menyatakan dalam berjama’ah cara memilih pemimpin dengan asas permusyawaratan perwakilan bukan dengan pertarungan bebas.
(JK/Red)
Opini
Janji Manis Berujung Petaka: Tulungagung Terbelah Akibat Pengkhianatan Bupati ‘Loncat Pagar’

TULUNGAGUNG,- Sujanarko, seorang pengamat politik, memberikan kritik tajam terkait kondisi pemerintahan di Tulungagung yang dinilai tidak baik-baik saja.
Ia menyoroti adanya berbagai gejala yang menunjukkan keretakan antara pemimpin daerah, terutama terkait dengan proses rekrutmen pejabat daerah yang tidak melibatkan Wakil Bupati (Wabup) Tulungagung, Ahmad Baharudin, serta ketidakhadirannya dalam rapat paripurna DPRD.
Sujanarko mengungkapkan bahwa keretakan ini sudah diprediksi oleh banyak orang, mengingat kandidat bupati yang terpilih bukanlah calon yang disodorkan oleh partai, melainkan seorang mantan kader PDIP yang ‘loncat pagar’ setelah kalah dalam pemilihan melawan calon bupati incumbent, Maryoto Birowo.
“Dengan pola seperti ini, bisa dipastikan bahwa Gerindra, sebagai partai besar di Tulungagung, seharusnya bisa mencalonkan kader sendiri sebagai calon bupati. Pencalonan mantan bacalon bupati PDIP pasti didasari komitmen besar kepada Gerindra, baik dalam hal pendanaan maupun peran Wabup sebagai kader Gerindra sehingga diterima sebagai calon resmi Gerindra,” ujarnya.
Sujanarko mencatat beberapa alasan yang menyebabkan keretakan ini, antara lain:
1. Komitmen yang Tidak Dipenuhi: Janji saat pencalonan yang tidak dilaksanakan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pengurus partai.
2. Gestur Bupati yang Menyudutkan Wabup: Tindakan bupati yang terlihat sengaja menjauh dari Wabup, seperti memberikan tugas-tugas penting kepada pejabat lain, menunjukkan adanya ketegangan dalam hubungan mereka.
3. Minimnya Ethical Leadership: Kebijakan yang tidak didasari oleh kewajiban untuk memenuhi janji dan menghargai rekan kerja, serta pengambilan keputusan yang terpusat pada bupati, berpotensi menimbulkan masalah baru.
4. Pertemuan Bupati dengan DPP Gerindra: Seringnya bupati bertemu dengan DPP Gerindra tanpa koordinasi dengan Ketua DPC Gerindra dapat meningkatkan perselisihan politik di daerah dan mendorong pengurus yang pragmatis untuk berpihak kepada pihak yang menjanjikan kesejahteraan.
5. Pertarungan Politik yang Semakin Sengit: Pertarungan ini diprediksi akan semakin sulit diredakan di tahun-tahun mendatang, terutama terkait dengan nilai-nilai politik Gerindra dan janji-janji yang belum direalisasikan.
Sujanarko menekankan pentingnya solusi untuk masalah krusial ini.
“Jawabannya sederhana, tinggal duduk bersama antara bupati dan wakil bupati untuk membicarakan apa yang pernah dijanjikan saat mereka berdua setuju untuk menjadi calon. Uraikan satu per satu janji yang belum dipenuhi dan penuhi komitmen itu untuk dilaksanakan bersama,” tegasnya.
Dirinya juga menyarankan agar kebijakan satu pintu diganti dengan kebijakan satu atap, serta pentingnya komunikasi yang baik antara bupati dan wabup untuk membangun soliditas.
“Jangan perluas pertarungan ke dalam partai Gerindra. Akan lebih baik jika setelah bupati mendapatkan jabatannya, ia kembali ke pangkuan PDIP,” pungkas Sujanarko. (Abd/DON)
Editor: Joko Prasetyo
Opini
Profesionalisme Media dan Wartawan Wajib Menjunjung KEJ

Oleh: Yusufil Hamdani SH., MH, (Kuasa Hukum Kospin Serba Mulia)
JAKARTA, – Sebagai Advokat, saat ini saya sedang menangani perkara di salah satu lembaga keuangan berbasis koperasi, yakni Koperasi Simpan Pinjam (Kospin) Serba Mulia.
Dalam menangani perkara ini, klien saya sangat terbuka terhadap kritik dan masukan dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan media, sepanjang kritik tersebut membangun, berimbang, dan sesuai dengan kaidah jurnalistik yang berlaku.
Di era digital saat ini, media online tumbuh pesat dan nyaris mendominasi ruang informasi di Tanah Air. Namun, kemajuan ini juga harus diiringi dengan peningkatan profesionalisme.
Media dan wartawan yang beroperasi di ruang publik wajib memahami bahwa mereka memikul tanggung jawab besar dalam menyampaikan informasi yang benar, akurat, dan tidak menyesatkan.
Oleh karena itu, kompetensi wartawan dan kredibilitas perusahaan pers menjadi pilar utama dalam menjaga marwah pers nasional.
Salah satu prinsip penting dalam dunia jurnalistik adalah Ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ). KEJ mengatur bahwa wartawan wajib menyampaikan informasi secara berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta wajib melakukan verifikasi terhadap informasi dan narasumber.
Sayangnya, klien saya mengalami langsung contoh buruk dari praktik jurnalistik yang tidak memenuhi standar tersebut.
Beberapa media di Jawa Timur memberitakan kasus yang melibatkan salah satu nasabah Kospin secara sepihak, tanpa melakukan konfirmasi atau wawancara dengan klien saya sebagai pimpinan koperasi yang sangat berkompeten dalam memberikan keterangan.
Hasilnya, berita menjadi tidak berimbang dan cenderung menghakimi, bukan mengedukasi.
Untuk meluruskan, izinkan saya menjelaskan duduk perkara yang saya sedang tangani.
Kospin Serba Mulia adalah koperasi yang telah berbadan hukum dan memiliki izin resmi dari Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Koperasi dan UKM RI.
Salah satu nasabah kami, Sdr. Praditya Ardinugroho, telah menerima dua fasilitas pinjaman dari koperasi kami setelah memenuhi syarat administrasi, termasuk penandatanganan dokumen perjanjian kredit serta jaminan berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Dr. Emy Susanti, yang disetujui pula oleh Drs. Win Hendarso.
Pinjaman tersebut seharusnya dilunasi pada Mei 2020. Namun hingga waktu yang ditentukan, Sdr. Praditya hanya membayar bunga tanpa mengangsur pokok pinjaman.
Meski klien saya telah melayangkan tiga kali surat peringatan, tidak ada tanggapan konkret dari yang bersangkutan. Bahkan, lima lembar cek yang sempat diberikan pun ditolak bank karena dana tidak mencukupi.
Kami sempat menawarkan solusi berupa pelelangan objek jaminan, namun ditolak. Sebagai jalan tengah, objek jaminan tersebut kemudian ditawarkan kepada anggota koperasi lain dan disepakati untuk dijual.
Meski diberikan waktu untuk menebus kembali properti tersebut hingga Oktober 2024, Sdr. Praditya tidak mampu melakukannya. Maka, kepemilikan objek jaminan tersebut telah sah beralih kepada pembeli, dan dananya digunakan untuk melunasi kewajiban pinjaman.
Sayangnya, beberapa media tersebut tidak menulis berita dengan lengkap dan terkesan sepihak. Ini menimbulkan persepsi yang keliru terhadap sebuah kasus yang seolah-olah menyalahkan klein saya. Ini jauh dari harapan sebagai media yang profesional.
Sebagai Advokat, saya memahami hak setiap warga negara untuk menempuh jalur hukum, dan klien kami siap menghadapi proses hukum yang kini sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya.
Kami percaya bahwa jalur hukum adalah mekanisme terbaik untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum, baik dalam perkara perdata maupun pidana.
Dari pengalaman ini, sebagai Advokat saya mengingatkan kembali kepada seluruh insan pers, baik media maupun wartawan, untuk kembali ke marwah jurnalistik yang sesungguhnya.
Gunakanlah Kode Etik Jurnalistik sebagai pedoman utama dalam bekerja. Hindari pemberitaan yang tendensius, menghakimi, dan tanpa verifikasi, karena hal ini bukan saja merugikan narasumber, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap media.
Media memiliki kekuatan besar untuk mencerdaskan bangsa, dan wartawan adalah ujung tombaknya. Maka, mari bersama-sama menjaga integritas profesi ini dengan menjunjung tinggi prinsip etika, profesionalisme, dan tanggung jawab sosial.
Dengan demikian, kemerdekaan pers yang telah kita raih dan nikmati hingga saat ini bisa terus kita jaga dan rawat secara bermartabat.(*)
Opini
Menjaga Marwah Jurnalisme: Wartawan Tak Bisa Rangkap Jabatan, Apalagi ASN

Foto, Mahmud Marhaba, Ketum DPP PJS dan Ahli Pers Dewan Pers, (dok/ist)
JAKARTA, – Profesi wartawan bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah panggilan etika, penjaga informasi publik, dan penyambung nalar demokrasi. Wartawan dituntut untuk independen, kritis, dan berdedikasi penuh terhadap tugas-tugas jurnalistik yang mereka emban.
Oleh karena itu, menjadi wartawan tidak bisa dilakukan setengah hati, apalagi disambi dengan jabatan struktural lain, seperti ASN, pengurus LSM, bahkan profesi hukum sekalipun.
Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh laporan sebuah media daring yang membongkar praktik jual beli kartu identitas wartawan kepada Aparatur Sipil Negarai (ASN) dengan tarif antara Rp400.000 hingga Rp500.000.
Praktik ini tidak hanya memalukan, tapi mencoreng wajah jurnalisme profesional di Indonesia. Wartawan sejati tidak bisa dibentuk dalam ruang transaksional yang bertabrakan dengan integritas dan kode etik.
Sebagai Ahli Pers Dewan Pers, saya menyesalkan tindakan media yang memberikan atau memperjualbelikan kartu wartawan kepada pihak yang tidak memenuhi syarat, khususnya ASN.
Dewan Pers wajib memanggil pemimpin redaksi media tersebut untuk klarifikasi dan, bila terbukti, menjatuhkan sanksi tegas sesuai dengan aturan yang berlaku.
Wartawan dan Pers Tak Bisa Dijalankan Sambil Lalu
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik yang mencakup: mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi atau sering kita kenal sebagai (6M).
Aktivitas ini memerlukan dedikasi penuh waktu, kemampuan profesional, dan pemahaman kode etik jurnalistik yang dalam.
Dengan 6M tersebut, wartawan tidak hanya menulis berita. Ia harus terjun ke lapangan, melekukkan verifikasi data, mewawancarai narasumber, menjaga keseimbangan informasi, dan mempublikasikan secara bertanggung jawab.
Maka, bagaimana mungkin seorang ASN yang memiliki kewajiban penuh terhadap negara dapat menjalankan tugas jurnalistik secara profesional dan independen?
Menolak Konflik Kepentingan, Menjaga Independensi
Mengapa ASN, TNI/Polri, pengacara, dan pengurus LSM tidak memperkenankan menjadi wartawan aktif? Jawabannya jelas, konflik kepentingan.
Wartawan adalah mata dan telinga publik. Ia harus berdiri netral, tidak memihak, dan bebas dari tekanan institusional. Seorang ASN tentu terikat pada struktur birokrasi yang bisa mengaburkan objektivitasnya sebagai jurnalis.
Bila seorang penjabat negara juga menyandang identitas wartawan, bagaimana ia dapat melakukan kritik terhadap sistem yang menghidupkannya?
Dalam Pedoman Organisasi Pers dan kebijakan Dewan Pers, larangan rangkap jabatan ini merupakan bentuk perlindungan terhadap independensi pers.
Dewan Pers sendiri secara tegas dalam berbagai forum menyatakan bahwa wartawan harus fokus dan bebas dari benturan kepentingan apa pun. Tidak ada ruang abu-abu dalam dunia jurnalisme.
Panggilan kepada Dewan Pers dan Aparat Penegak Hukum
Praktik jual beli kartu wartawan tidak hanya merugikan citra profesi, tapi bisa digunakan untuk kepentingan manipulatif seperti pemerasan, intervensi kebijakan, hingga pelanggaran etik di instansi pemerintah. Ini adalah alarm serius.
Dewan Pers harus mengambil langkah cepat, tegas, dan menyeluruh terhadap media-media yang dengan sengaja melanggar prinsip dasar profesi jurnalistik. Selain itu, aparat penegak hukum juga harus memahami peran strategis pers.
Mereka wajib membedakan antara wartawan profesional yang bekerja berdasarkan kode etik dan oknum yang menyalahgunakan atribut wartawan untuk kepentingan pribadi.
Menjaga Marwah Pers, Menjaga Masa Depan Demokrasi
Jika profesi wartawan terus dibiarkan dirusak oleh oknum yang tidak kompeten dan tidak memahami etika, maka kita sendang membiarkan jurnalisme terjerumus menjadi alat pencitraan dan kepentingan kelompok.
Ini bukan saja mengancam integritas media, tapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap peran pers sebagai pilar keempat demokrasi.
Sebagai insan pers, sebagai pemimpin organisasi, dan sebagai Ahli Pers Dewan Pers.
Saya menyerukan kepada seluruh pemangku kepentingan, baik media, lembaga pemerintah, ASN, dan organisasi masyarakat sipil, untuk menjaga martabat profesi wartawan.
Profesi ini bukan milik semua orang. Ia adalah milik mereka yang siap menegakkan kebenaran, menjunjung etika, dan berdedikasi penuh kepada kepentingan publik.
Oleh: Mahmud Marhaba (Ahli Pers Dewan Pers, Ketua Umum DPP Pro Jurnalismedia Siber – PJS)
- Budaya6 hari ago
Marching Band Mustika Nada SDN 2 Karangrejo Kampak Trenggalek Bikin Heboh, Lantunkan Lagu “Cinderella”
- Investigasi5 hari ago
Skandal Pungli di Kawasan Pinka, Sedot Darah PKL, Diduga Libatkan Oknum Preman dan Pengurus Lama
- Nasional2 minggu ago
Harumkan Nama Tulungagung dan Jatim, SMKN 1 Rejotangan berhasil Sabet Medali Emas di LKS Nasional 2025
- Investigasi3 hari ago
Jalan Rusak di Tulungagung, Warga “Sulap” Jalan Menjadi Kebun Pisang
- Nasional3 minggu ago
Kampak Trenggalek Menyala, Aroma Agustusan Mulai Terasa
- Jawa Timur2 minggu ago
Mewakili Jawa Timur, SMKN 1 Rejotangan Berpartisipasi di LKS Nasional 2025 Bidang Elektronika
- Jawa Timur1 minggu ago
Rapat Paripurna DPRD Blitar Gagal Gara-Gara Tak Kuorum, LSM LASKAR: Memalukan dan Rakyat Jadi Korban
- Investigasi2 minggu ago
Kuasa Hukum Pokmas ‘Mergo Mulyo’ Desak DPRD Fasilitasi Hearing: Kantah Tulungagung Diduga Lindungi Mafia Tanah