Connect with us

Jawa Timur

DGY Hadiri Acara Slolawat di Kafe Maxy Tulungagung, Begini Harapanya….

Published

on

 

TULUNGAGUNG, 90detik.com – Kafe karaoke Maxy Tulungagung mengadakan acara pengajian dan sholawat yang pertama kalinya di ruangan hall kafe tersebut pada Minggu malam (9/9).

Acara yang berlangsung meriah ini dihadiri oleh sejumlah tokoh agama dan ratusan tamu undangan, termasuk karyawan kafe, pelaku usaha hiburan, serta masyarakat umum.

Acara sholawat yang dipandu oleh pembawa acara Samirin ini juga menampilkan tausiyah serta sesi dialog tanya jawab, memberikan kesempatan bagi tamu untuk berdiskusi.

Beberapa tokoh yang hadir antara lain KH. Tuhfatun Nafi, Gus Saladin, Gus Rismi Haitami Nehru, Tommy Agusta selaku Direktur Al Parfume, dan Wahyudi sebagai CEO PT. Lisa dan owner Kafe Maxi, serta Calon Wakil Bupati Tulungagung Didik Girnoto Yekti (DGY).

Wahyudi, owner Kafe Maxy, menyatakan bahwa acara sholawat ini merupakan yang pertama kalinya diadakan di kafe tersebut.

Suasana saat Kafe Maxy menggelar pengajian dan Sholawat di Hall Kafe Maxy Tulungagung. Foto; dok/Istimewa.

“Kami berharap kegiatan seperti ini bisa mendapatkan keberkahan bagi kita semua yang hadir dan memperoleh syafaat dari para ulama,” ungkapnya.

Ia juga menjelaskan bahwa tujuan dari diselenggarakannya acara sholawat adalah untuk memberikan siraman rohani kepada karyawan kafe Maxy, sehingga mereka dapat bekerja dengan semangat dan selalu ingat kepada Allah SWT.

“Semoga dengan adanya acara ini, kita semua dapat lebih meningkatkan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT,” tambah Wahyudi.

Didik Girnoto Yekti (DGY) selaku Calon Wakil Bupati Tulungagung menyampaikan apresiasi atas penyelenggaraan acara tersebut.

“Kegiatan sholawat seperti ini sangat luar biasa dan patut dicontoh oleh pengusaha tempat hiburan lainnya,” ujarnya.

Dirinya berharap acara ini dapat memberikan manfaat dan menambah ilmu keagamaan bagi semua yang hadir.

“Acara ini diharapkan dapat menjadi langkah positif dalam menjalin hubungan yang lebih baik antara karyawan, pengusaha, dan masyarakat luas, serta merupakan contoh bagi kegiatan serupa di masa mendatang”, tutup DGY. (Abd/Red)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jawa Timur

SPMB 2025/2026: Sistem Baru, Luka Lama, Anak Berprestasi Tergusur 

Published

on

TULUNGAGUNG, — Musim penerimaan siswa baru tahun ajaran 2025/2026 kembali menyisakan keresahan. Di atas kertas, sistem baru bernama SPMB (Sistem Penerimaan Murid Baru) ini terlihat rapi dan penuh semangat reformasi.

Tapi di lapangan, luka lama yang tak kunjung sembuh justru kembali menganga, siswa berprestasi yang tersingkir, anak dari keluarga miskin yang terabaikan, jalur prestasi yang disalahgunakan, hingga “penitipan” yang berbungkus legalitas.

Payung Hukum Terbaru: Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025.

SPMB kini bernaung di bawah Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025, menggantikan Permendikbud No. 1 Tahun 2021 tentang PPDB. Sistem ini membagi jalur penerimaan siswa menjadi empat:

1. Jalur Domisili – berdasarkan tempat tinggal terdekat sekolah.

2. Jalur Afirmasi – untuk siswa dari keluarga tidak mampu dan penyandang disabilitas.

3. Jalur Prestasi – akademik dan non-akademik.

4. Jalur Mutasi – untuk anak dari orang tua yang pindah tugas atau anak guru.

Setiap jalur memiliki kuota minimum:

SMA: Domisili ≥ 30%, Afirmasi ≥ 30%, Prestasi ≥ 30%, Mutasi ≤ 5%

SMP dan SD memiliki kuota serupa dengan persentase menyesuaikan kebutuhan daerah.

Realita Lapangan: Siswa Berprestasi Justru Tak Diterima.

Salah satu cerita menyayat datang dari Blitar dan Tulungagung tepatnya di wilayah Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Wilayah Blitar, dan Tulungagung yang menaungi sejumlah SMA/SMK Negeri unggulan dari narasi yang beredar sungguh miris, siswa yang berprestasi dalam bidang olahraga karena minimnya literasi dari panitia pelaksana seleksi, tidak bisa diterima.

Meskipun dari pihak lembaga pendidikan sudah mengklarifikasi, tapi hal tersebut menjadi catatan buruk dalam proses penerimaan siswa baru.

Bukan karena tak punya prestasi. Tapi karena kuota jalur prestasi yang dibuka hanya 10 kursi di wilayah Blitar, sudah dipenuhi sejak jam pertama pendaftaran.

Mirisnya, ia juga bukan termasuk warga tidak mampu secara administratif, karena keluarganya tak memiliki KIP (Kartu Indonesia Pintar). Padahal secara ekonomi, orang tuanya hanya penjual angkringan dengan penghasilan pas-pasan.

“Saya bingung. Anak saya prestasinya bagus, tapi tidak bisa masuk. Di jalur domisili kalah jauh, di jalur prestasi penuh duluan,” ujar sang ibu, sembari menahan air mata.

Sementara itu, di wilayah Kabupaten Tulungagung, juga ada hal yang lebih menarik, di SMA Negeri 1 Boyolangu. Dari berbagai catatan, ada seorang siswa lulusan SMP dengan nilai rapor sempurna dan juara, gagal masuk ke sekolah impiannya.

Budaya Titipan yang Tak Pernah Mati.

Meski pemerintah telah menyederhanakan sistem dan membuka kanal pengawasan daring, praktik titip-menitip tetap menjadi luka tersembunyi dalam sistem pendidikan kita.

Muncul dugaan di SMA Negeri 1 Boyolangu adanya manipulasi data dalam proses penerimaan mulai jalur non akademik, domisili, dan pemenuhan kuota. Karena untuk prioritaskan ‘titipan’ anak pejabat dan para kolega oknum pejabat lembaga sekolah.

Ada wali murid yang mengaku ditawari ‘jalur aman’ dengan membayar sejumlah dana ke oknum perantara.

Meskipun hal ini sulit dibuktikan secara hukum, sinyal penyalahgunaan sistem SPMB ini bukan isapan jempol. Budaya titipan harus diberantas dengan sistem pelaporan terbuka.

“Jalur prestasi itu kadang hanya kedok. Yang masuk bukan cuma siswa berprestasi, tapi juga anak pejabat dan kerabat dalam,” ujar seorang guru yang enggan disebut namanya.

Sekolah Swasta Senyum Lebar di Tengah Kegelisahan.

Ketika siswa tak bisa menembus sekolah negeri karena kalah domisili atau gagal di jalur prestasi, pilihan paling realistis adalah sekolah swasta.

Ini yang membuat banyak pihak menuding sistem SPMB secara tidak langsung menguntungkan sekolah swasta, terutama yang berada di kota-kota besar seperti Blitar, Kediri, dan beberapa kota lainnya.

Lonjakan pendaftaran ke sekolah swasta meningkat drastis pasca pengumuman hasil SPMB tahap pertama.

Bahkan, beberapa sekolah swasta elit membuka program “beasiswa khusus siswa gagal negeri” dengan tetap memungut biaya tambahan.

Seragam dan Pungli: Biaya Siluman Masih Menghantui.

Meskipun Permendikdasmen menegaskan larangan pungutan liar (pungli) dalam proses penerimaan, praktik di lapangan berkata lain.

Orang tua di beberapa SMA Negeri di Blitar mengeluhkan mahalnya biaya seragam yang dijual dengan dalih sudah ada kerjasama, serta mengatasnamakan ’kesepakatan’. Bahkan ada satu paket seragam bisa mencapai Rp 2,1 juta untuk 4 jenis pakaian.

Tak hanya itu, ada juga pungutan berkedok sumbangan pembangunan sekolah atau iuran kegiatan, yang sifatnya “sukarela tapi wajib”.

Ini menjadi beban ganda bagi orang tua, terutama yang sudah harus membayar uang pangkal di sekolah swasta karena anaknya tidak diterima di negeri.

Refleksi: Sistem Pendidikan yang Butuh Rasa, Bukan Hanya Regulasi.

Pendidikan seharusnya menjadi hak semua anak bangsa. Tapi hari ini, sistem seolah menjadikannya barang eksklusif yang hanya bisa diakses mereka yang tinggal dekat sekolah, punya uang, atau punya jalur khusus.

Pemerintah perlu membuka mata dan telinga lebih lebar.

Evaluasi sistem SPMB secara menyeluruh adalah hal mendesak, terutama pada aspek keadilan akses, transparansi, dan pengawasan implementasi di daerah. Kuota prestasi dan afirmasi perlu diperluas.

SPMB bukan hanya soal masuk sekolah. Ini soal masa depan anak-anak bangsa. Jangan biarkan sistem yang katanya berpihak pada keadilan, justru menjadi alat pemisah antara si kaya dan si miskin, antara yang berprestasi dan yang kalah kuota.

Jika negara tidak hadir dalam pendidikan, maka hanya mereka yang kuat secara finansial dan sosial-lah yang akan menang. Dan sisanya?, akan terus terpinggirkan dalam sistem yang katanya sudah “disempurnakan.”(Don/Red)

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Jawa Timur

BLT Tertunda, 1.040 Warga Miskin Tulungagung Menanti Rp1,8 Miliar

Published

on

TULUNGAGUNG,- Sudah memasuki pertengahan Juli 2025, namun Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk 1.040 warga miskin di Kabupaten Tulungagung belum juga cair. Padahal, dana sebesar Rp. 1.872.000.000 telah disiapkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) tahun 2025.

BLT yang dijanjikan sebesar Rp 200.000 per bulan selama sembilan bulan, menjadi harapan penting bagi ribuan warga kurang mampu. Sayangnya, hingga kini bantuan itu masih mandek di meja birokrasi.

Kepala Dinas Sosial Tulungagung, Wahid Masrur, mengakui bahwa proses penyaluran belum terlaksana karena masih menunggu harmonisasi aturan dengan Biro Hukum Provinsi Jawa Timur.

“Ada penyesuaian aturan yang harus diharmonisasi pasca pergantian kepemimpinan daerah,” ujarnya saat dikonfirmasi 90detik.com, pada Sabtu (12/7) melalui saluran WA.

Dana BLT ini direncanakan akan dicairkan satu kali dalam tahun anggaran 2025. Namun, Wahid tak menyebut kapan waktu pasti pencairan itu akan dilakukan.

Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan besar. Sebab sebelumnya, Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial, Teguh Abianto, pernah menyebut bahwa penyaluran diperkirakan dapat dimulai sejak Mei 2025, dengan catatan SK penetapan penerima dari Bupati sudah terbit.

Fakta bahwa hingga Juli bantuan belum juga diterima membuat warga mulai kehilangan kepercayaan.

“Kalau sudah jelas penerimanya, dan anggarannya ada, kenapa tidak dicairkan? Jangan-jangan ada yang ditutupi,” ujar salah satu calon penerima yang enggan disebutkan namanya.

BLT yang semestinya diberikan setiap tiga bulan sekali kini justru belum tersentuh sama sekali. Situasi ini menambah tekanan bagi warga miskin yang sedang bergulat dengan kebutuhan pokok harian.

Pengawasan masyarakat terhadap pelaksanaan program bantuan ini sangat penting.

Publik pun mendesak agar Pemkab Tulungagung segera membuka transparansi dan mempercepat pencairan, agar dana yang seharusnya menolong rakyat kecil tidak terhenti hanya karena urusan administratif.(Abd/Don)

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Jawa Timur

GPN Kepung Pemkab Kediri, Tuntut Usut Dugaan Penggelapan Tanah Kas Desa Tiron

Published

on

KEDIRI,– Puluhan aktivis dari LSM Gerakan Pemuda Nusantara (GPN) menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Pemkab Kediri, Kamis (10/7), menuntut kejelasan status Tanah Kas Desa (TKD) Tiron, Kecamatan Banyakan, yang terdampak proyek Tol Kediri – Tulungagung.

Dalam orasinya, koordinator aksi, Basuki, menyoroti tidak adanya mekanisme tukar guling atau jual beli yang sah atas TKD tersebut, meski lahan sudah dikosongkan dan proyek berjalan.

“Lahan sudah kosong, tapi belum ada serah terima atau surat peralihan hak. Ini patut diduga sebagai penggelapan aset desa,” tegas Basuki.

GPN sebelumnya melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Negeri, namun mencabutnya karena hanya berujung klarifikasi. Kini, mereka berencana menempuh jalur hukum lain melalui Polres Kediri Kota hingga KPK.

Perwakilan massa sempat diterima Asisten I Sekda, Sukadi, dan anggota Komisi I DPRD Kediri. Pemkab mengklaim pengadaan lahan pengganti seluas 7 hektare sudah disepakati dalam musyawarah desa pada 8 Juli, dan tengah menunggu pengesahan dari Gubernur Jatim.

“Tidak ada aset yang hilang. Tanah yang dipakai adalah milik perangkat desa yang disewa sementara,” ujar Sukadi.

Tak puas, GPN melanjutkan aksi ke Polres Kediri Kota untuk konsultasi hukum dan menyatakan akan melaporkan dugaan penggelapan aset TKD secara resmi.

“Kami akan bawa kasus ini ke ranah hukum agar terang benderang,” tegas Basuki.

GPN mendesak aparat penegak hukum turun tangan menyelidiki dugaan penyalahgunaan TKD Tiron yang dinilai sarat kejanggalan administrasi.

(JK-Red)

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Trending