Connect with us

Nasional

Dari Aktivis ke Kemenaker, Kini OTT KPK: Luka dan Spekulasi Politik di Balik Penangkapan Wamenaker Noel

Published

on

JAKARTA— Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Kemenaker) Republik Indonesia, Immanuel Ebenezer atau yang karib disapa Noel, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sebuah Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Rabu (20/8) malam.

Penangkapan yang mengguncang dunia politik ini bukan hanya menyisakan duka bagi para pendukung setianya, tetapi juga memantik spekulasi mengenai adanya permainan politik di baliknya.

Bagi banyak kader dan juniornya yang pernah berjuang bersamanya di masa lalu, kabar ini terasa seperti pukulan berat.

Noel bukan sekadar figur pejabat, melainkan seorang mentor dan simbol perjuangan yang inspiratif.

“Sedih banget mendengarnya. Tidak menyangka sosok yang selama ini jadi inspirasi malah kejerat kasus hukum. Tapi ya, inilah realitas. Kami sebagai junior tetap harus menghormati proses hukum,” ujar Songko, seorang kader muda asal Blitar yang mengaku pernah hidup bersama Noel di masa-masa aktivisme jalanan, ketika dihubungi via sambungan telepon, Kamis(21/8).

Spekulasi “Jebakan Politik” dan Pembelaan dari Kawan Lama.

Di balik gelombang kekecewaan, muncul narasi pembelaan yang menyuarakan kecurigaan bahwa kasus ini tidaklah sederhana.

Sejumlah pengamat dan rekan seperjuangan Noel menilai ada aroma intervensi politik dalam OTT tersebut.

Dr. Rahmat Wibisono, Pengamat Hukum dari Universitas Airlangga, memberikan analisanya.

“Kalau kita lihat pola-pola OTT sebelumnya, sering muncul tanda-tanda intervensi. Noel ini bukan figur kecil; dia adalah aktivis jalanan yang dekat dengan lingkar kekuasaan. Spekulasi jebakan politik wajar muncul. Namun, ujungnya tetap, hukum yang menentukan, bukan opini publik,” jelasnya.

Pendapat senada disampaikan oleh Arifin “Cak Ipul” Subagyo, sesama aktivis 98 dan rekan lama Noel.

“Dulu Noel dikenal menampung anak-anak jalanan. Dia bukan tipikal orang yang main-main dengan uang. Makanya publik harus hati-hati. Bisa jadi ini bukan sekadar soal hukum, tapi ada aroma politik yang kuat,” tegas Cak Ipul.

Legacy Panjang: Dari Jalanan ke Pusaran Kekuasaan.

Immanuel Ebenezer bukanlah nama baru di peta politik Indonesia. Jejaknya dimulai dari bawah, sebagai aktivis yang berani berdiri di garda depan.

Reputasinya dibangun dari keberpihakan pada kaum marginal dan kegigihan menyuarakan perubahan.

Puncaknya, ketika ia dengan berani mendukung dan menjadi bagian dari tim kampanye pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di tengah berbagai dinamika politik.

Lonjakan kariernya dari aktivis ke posisi strategis di Kementerian Ketenagakerjaan sering dilihat sebagai cerita sukses.

Namun, narasi itu berhadapan dengan ujian berat. Bagi generasi muda (Gen Z) yang mengidolakannya, peristiwa ini adalah pelajaran pahit tentang realitas politik yang kompleks.

“Kami paham hukum harus ditegakkan. Tapi kami juga tidak bisa menutup mata: Noel pernah mengajarkan kami arti keberanian, loyalitas, dan bagaimana suara kecil bisa mengguncang hiruk-pikuk politik Indonesia,” tulis seorang kader dalam unggahan media sosial yang viral, mewakili suara banyak orang yang kecewa namun tetap menghormati proses hukum.

Dukungan untuk Noel pun mengalir dalam bentuk doa dan harapan agar proses hukum berjalan adil.

Seorang netizen menulis, “Bang, kalau abang baca ini entah di mana, jangan pernah merasa sendirian. Kami tetap ada di sini, mendoakan, mendukung, dan belajar dari kisah abang, baik yang indah maupun pahit.”

KPK hingga berita ini diturunkan belum memberikan pernyataan resmi terperinci terkait modus dan nilai kerugian negara dalam OTT tersebut.

Noel kini berada di bawah pengawasan KPK untuk menjalani proses hukum lebih lanjut.

Kini, semua mata tertuju pada proses hukum yang akan menentukan nasib sang mantan aktivis, meninggalkan luka dan tanda tanya besar bagi para penerus perjuangannya. (By/Red)

Editor : Joko Prasetyo

Nasional

Aktivis Gayatri Soroti Ketiadaan Perda dan Kecurigaan pada Oligarki

Published

on

TULUNGAGUNG – Aksi unjuk rasa Pejuang Gayatri, pada Senin (06/10) di depan Kantor DPRD Tulungagung dan kantor ATR/BPN, menyoroti lahan yang dijadikan pembangunan kuburan elit. Aksi yang dipelopori oleh pejuang Gayatri, berlangsung tegang namun damai.

Konflik ini bermula dari ketiadaan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur secara spesifik tentang kawasan kuburan privat, yang seharusnya merujuk pada PP No. 9 Tahun 1987. Kekosongan hukum ini memicu kebingungan di tingkat aparat.

Dalam orasinya yang blak-blakan di depan Kantor DPRD, yang juga dihadiri oleh Bupati dan Ketua DPRD, aktivis Gayatri menyampaikan sejumlah kritik pedas.

“Kepada siapa lagi rakyat mengadu ketika oknum penguasa anarki?” seru Dardiri.

Ia menegaskan bahwa rakyat memiliki Bupati yang seharusnya membela kepentingan mereka, khususnya warga yang membutuhkan lahan untuk bertani.

Kekacauan informasi semakin tampak saat aksi berlangsung. Salah satu anggota DPRD Tulungagung, Munif, mengklaim bahwa lahan tersebut telah diatur oleh Perda RTRW.

Klaim ini langsung dibantah oleh Marsono, pejabat lain yang menjelaskan bahwa Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) di lokasi sengketa justru diperuntukkan bagi kawasan perkebunan, bukan kuburan.

Menanggapi tensi yang meningkat, Bupati Tulungagung, Gatut Sunu Wibowo, berjanji akan memfasilitasi mediasi antara masyarakat Ngepoh dan PT Sang Lestari Abadi. Kesepakatan awal dicapai bahwa mediasi akan dilaksanakan dalam waktu 14 hari, terhitung sejak 6 Oktober.

Gayatri tidak sungkan menuding para pemimpin setempat yang terkesan membela oligarki. Hal ini menyiratkan ketimpangan dalam pembelaan kepentingan.

Lebih jauh, pihaknya menyoroti merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

“Masyarakat tidak percaya lagi saluran penyelesaian melalui peradilan karena terbukti banyak oknum APH (Aparat Penegak Hukum) tertangkap jual beli pasal dan putusan,” tandasnya.

Menurutnya, rakyat kecil tidak mampu bersaing dalam “pasar” keadilan yang korup.

“Musuh rakyat di pengadilan adalah uang. Sedangkan rakyat tidak memilikinya. Oligarki memiliki kekuatan uang, bukan kebenaran!!” pungkasnya.

Dengan janji mediasi dari Bupati, sorotan kini tertuju pada proses dialog dalam dua pekan ke depan. Masyarakat menunggu tindakan nyata, bukan sekadar janji, untuk menyelesaikan sengketa yang telah menyulut keresahan ini. (DON/Red)

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Nasional

Ratusan Massa Pejuang Gayatri Kepung DPRD Tulungagung, Bakar Ban Jadi Simbol Perlawanan

Published

on

TULUNGAGUNG — Asap hitam membubung tinggi dari ban-ban yang dibakar massa di depan kantor DPRD Tulungagung, pada Senin 6 Oktober 2025 siang.

Ratusan massa dari kelompok Pejuang Gayatri turun ke jalan, membawa amarah rakyat kecil yang merasa ditindas, dan dikhianati oleh para pemegang kekuasaan.

Aksi ini menyasar tiga titik yaitu, Kantor Dinas Perhubungan, Kantor BPN, dan Kantor DPRD Tulungagung, sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat miskin dan petani.

Ini bukan sekadar unjuk rasa. Ini adalah teriakan kemarahan dari rakyat yang lapar, rakyat tanpa tanah, dan rakyat yang tak lagi percaya bahwa negara berdiri untuk mereka.

Di tengah panas matahari dan kepulan asap ban, suara rakyat menggelegar, mereka ingin tanah, keadilan, dan keberpihakan nyata dari penguasa.

Salah satu orator, Ahmad Dardiri, menggelar orasi lantang di depan Kantor BPN. Ia mengecam keras sistem pemerintahan yang menurutnya telah berubah menjadi alat oligarki dan penghisap hak rakyat.

“Kepada siapa lagi rakyat harus mengadu ketika para penguasa menjadi anarki? Kami punya Bupati, tapi keberpihakannya bukan untuk rakyat, melainkan untuk para pemilik modal!” teriak Dardiri dan disambut sorak dan teriakan keras para demonstran.

Dardiri menegaskan bahwa penguasa lokal tidak lagi berpihak pada masyarakat, yang semakin terjepit karena kekurangan lahan dan disingkirkan oleh proyek-proyek besar yang diduga sarat kepentingan elite.

Lebih jauh, ia menyentil matinya kepercayaan rakyat terhadap jalur hukum. Di mata mereka, pengadilan tak lagi tempat mencari keadilan, melainkan ajang tawar-menawar yang hanya bisa diikuti mereka yang punya uang.

“Banyak oknum aparat penegak hukum tertangkap karena jual beli pasal dan putusan! Keadilan jadi barang dagangan, dan rakyat melarat seperti kami tak mampu ikut bersaing dalam pasar hukum yang busuk itu,” tegasnya.

Dengan suara bergetar, Dardiri menyatakan bahwa musuh rakyat di pengadilan adalah uang.

“Musuh rakyat di pengadilan adalah uang. Dan rakyat tidak punya itu. Yang punya uang adalah oligarki. Dan mereka membeli hukum, bukan mencari kebenaran”, ujarnya.

Aksi ini juga menyoroti dugaan kolusi antara penguasa daerah dan pemilik modal, terutama dalam kasus pengaturan lahan dan proyek transportasi.

Massa menilai, negara sudah tak netral dan justru menjadi kaki tangan oligarki.

Ban-ban yang dibakar bukan sekadar properti demonstrasi. Ia menjadi simbol negara yang terbakar oleh ketidakadilan, oleh pengkhianatan pada rakyat yang digantikan dengan kesetiaan kepada pemodal.

Di akhir aksi, massa menuntut DPRD Tulungagung membentuk Tim Investigasi Independen untuk menyelidiki dugaan penyimpangan dalam kebijakan pertanahan dan transportasi yang dianggap menyengsarakan rakyat.

Namun hingga berita ini diturunkan, belum satu pun pejabat dari BPN, Dishub, maupun DPRD Tulungagung yang menjawab atau memenuhi puluhan tuntutan Pejuang Gayatri.

“Suara rakyat kembali diabaikan. Tapi bara kemarahan ini belum padam. Justru sedang menyala-nyala, dan kami tidak akan diam!” pungkas Dardiri. (DON/Red)

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Nasional

Bakar Ban dan Hentakkan Orasi, Massa Pejuang Gayatri Tuntut Bupati Tegas Urusan Korupsi Pendidikan dan Tambang Ilegal

Published

on

TULUNGAGUNG— Ratusan massa yang tergabung dalam Pejuang Gayatri kembali menggelar aksi unjuk rasa pada Senin (6/10).

Aksi ini dilakukan karena tuntutan mereka dalam aksi sebelumnya pada 11 September lalu dinilai belum ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Tulungagung.

Sebagai bentuk simbolis keresahan, para demonstran membakar ban bekas di tengah jalan. Mereka juga membawa sound system untuk menyuarakan tuntutan secara lantang.

Dalam orasinya, koordinator aksi, Totok Yulianto alias Totok Cakra, menyoroti dugaan ketidakterbukaan anggaran di Dinas Pendidikan setempat.

Ia menyebutkan sejumlah sumber dana, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Pendanaan Operasional Pendidikan Daerah (BPOPD), Dana Alokasi Umum (DAU), hingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang diduga tidak dikelola secara transparan.

“Jika pengelolaan anggaran dilakukan secara jujur dan terbuka, rakyat tidak akan turun ke jalan,” tegas Totok.

Ia juga mempertanyakan komitmen Bupati Tulungagung, Gatut Sunu Wibowo, yang dinilai tetap mempertahankan kepala dinas yang dianggap bermasalah.

“Kenapa juga Bupati tetap mempertahankan kepala dinas itu kalau mereka gagal menunjukkan kinerja yang transparan dan akuntabel?” ujarnya.

Orator lain, Ahmad Dardiri, menyampaikan keprihatinan terkait maraknya tambang ilegal di Tulungagung.

Ia mendesak aparat penegak hukum, khususnya Kepolisian Resor (Polres) Tulungagung, untuk memberikan penjelasan publik mengenai progres penanganan kasus-kasus tambang ilegal yang terjadi bulan ini.

Dardiri juga menyoroti persoalan Hak Guna Usaha (HGU) di Desa Ngepoh, Kecamatan Tanggung Gunung. Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih mendengarkan suara rakyat kecil, bukan membela kepentingan oligarki.

“Kami datang bukan untuk membuat kerusuhan. Ini adalah bentuk kegelisahan masyarakat yang sudah lama menunggu tindakan nyata. Kami ingin Bupati dan Ketua DPRD bertindak hadir di tengah kepentingan masyarakat,” ujar Dardiri dalam orasinya.

Menanggapi aksi tersebut, Bupati Tulungagung Gatut Sunu Wibowo menyatakan bahwa pihaknya terbuka terhadap segala aspirasi masyarakat, asalkan disampaikan secara tertib. Ia menegaskan komitmennya untuk menjalankan tugas sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Terkait persoalan tanah di kawasan Ngepoh, Bupati menjelaskan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan, sertifikat lahan tersebut berstatus HGU dan proses perizinan melalui Online Single Submission (OSS) telah dinyatakan atas nama itu. Ia kemudian mempersilakan pihak yang merasa dirugikan untuk menempuh jalur hukum yang tersedia.

“Sementara terkait jalan rusak, Pemkab Tulungagung telah memulai perbaikan di berbagai wilayah. Tentu prioritas kerusakan juga menjadi pertimbangan mana yang perlu didahulukan,” ungkap Gatut.

Meski aksi berlangsung dengan tensi tinggi, aparat kepolisian terlihat sigap mengawal jalannya demonstrasi. Situasi tetap kondusif hingga seluruh massa membubarkan diri secara tertib. (DON/Red)

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Trending