Opini
Tantangan Integritas di Tengah Isu Miring Pilkada

JAKARTA, 90detik.com – Pilkada adalah momentum penting bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang diharapkan mampu membawa perubahan dan kemajuan.
Namun, belakangan ini, kita sering mendengar isu-isu miring yang mencoreng pelaksanaan pemilihan ini.
Isu-isu tersebut bukan hanya sekadar gossip, tetapi dapat berdampak signifikan terhadap kepercayaan publik dan kualitas demokrasi di negara kita.
Salah satu isu yang mencuat adalah politik uang. Meskipun sudah ada aturan yang melarang praktik ini, masih saja ditemukan bukti bahwa sebagian calon kepala daerah menggunakan cara-cara curang untuk meraih suara.
Hal ini tidak hanya merusak tatanan demokrasi, tetapi juga menciptakan lingkungan di mana pemilih tidak lagi merasa memiliki kekuatan suara yang berarti.
Mereka menjadi objek, bukan subjek dalam proses politik.
Selain itu, manipulasi informasi dan berita palsu (hoax) juga menjadi tantangan besar.
Di era digital saat ini, penyebaran informasi bisa terjadi dengan sangat cepat. Calon-calon tertentu sering kali menjadi korban fitnah yang dilakukan oleh lawan politik untuk menjatuhkan reputasi mereka.
Ironisnya, masyarakat sering kali lebih percaya pada berita yang viral tanpa melakukan verifikasi.
Ini menciptakan polarisasi dan ketidakpastian yang semakin mendalam dalam masyarakat.
Kita juga tidak bisa mengabaikan peran media. Media seharusnya menjadi alat penjaga demokrasi dengan menyajikan informasi yang akurat dan berimbang.
Namun, tidak sedikit media yang terpengaruh oleh kepentingan politik tertentu, sehingga laporan yang disajikan menjadi tidak objektif.
Keterpihakan ini bisa mempengaruhi opini publik dan memengaruhi hasil pilkada secara signifikan.
Melihat berbagai isu ini, penting bagi masyarakat untuk kembali menyadari peran mereka dalam proses demokrasi.
Pemilih harus cerdas dan kritis dalam memilih calon pemimpin. Mereka perlu menggali informasi dari berbagai sumber dan tidak mudah terpengaruh oleh berita-berita yang belum terverifikasi.
Sebagai penutup, integritas pemilihan umum adalah tanggung jawab bersama.
Tidak hanya kepada calon pemimpin, tetapi juga kepada masyarakat yang memiliki hak suara.
Dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, diharapkan pilkada bisa menjadi ajang yang bersih dan mencerminkan kehendak rakyat untuk masa depan yang lebih baik.
Jangan biarkan isu-isu miring menghancurkan harapan dan cita-cita demokrasi kita. (DON/Red)
Sumber: Pengamat Politik, Bayu Nusantara.
Opini
DPR Ditinggal Saraswati, Kursi Menpora Masih Kosong dan Terbuka?

Jakarta— Panggung politik Senayan kembali bergejolak. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, resmi menyatakan mundur dari kursinya di parlemen. Langkah ini diyakini sebagai manuver politik menuju kursi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) yang saat ini masih kosong pasca reshuffle kabinet.
Dalam pernyataan video yang dibagikan, Saraswati menegaskan niatnya untuk tetap menuntaskan satu tugas terakhir sebagai legislator, yakni pembahasan dan pengesahan RUU Kepariwisataan.
“Dengan ini saya menyatakan pengunduran diri sebagai anggota DPR RI kepada Fraksi Partai Gerindra. Saya berharap masih dapat menyelesaikan pembahasan RUU Kepariwisataan yang menjadi produk legislasi Komisi VII,” ujar Saraswati.
Janji Konstituen dan Sisa Dana Dapil.
Saraswati tidak lupa menyampaikan permintaan maaf kepada konstituen di Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu. Ia berjanji mengalokasikan dana sisa di rekening khusus untuk kebutuhan rakyat, mulai dari bantuan alat kesehatan, pelatihan kewirausahaan, hingga pemberdayaan anak-anak muda.
“Saya mohon maaf jika ada kekecewaan. Dengan sisa dana Dapil, saya akan tetap mendukung masyarakat sampai dana tersebut habis,” tegasnya.
Klarifikasi Kontroversi “Anak Muda Jangan Bergantung pada Pemerintah”
Tak hanya soal pengunduran diri, Saraswati juga menyinggung kembali potongan wawancara yang sempat viral, di mana ia menyebut anak muda jangan bergantung pada pemerintah.
Ia mengaku niatnya adalah mendorong jiwa wirausaha di era digital, namun kata-katanya justru melukai sebagian masyarakat.
“Kesalahan sepenuhnya ada di saya. Saya meminta maaf sebesar-besarnya atas ucapan yang menyakiti hati rakyat,” katanya.
Saraswati meminta publik untuk menonton pernyataannya secara utuh agar mendapat konteks yang lebih jelas, bukan potongan video singkat yang dijadikan bahan provokasi.
Manuver Politik dan Arah Baru.
Pengunduran diri Saraswati dinilai sebagai langkah strategis di tengah kekosongan kursi Menpora.
Dalam pusaran politik pasca reshuffle, nama Saraswati masuk dalam bursa kuat calon Menpora yang diharapkan mampu menjembatani aspirasi anak muda, olahraga nasional, dan dunia digital-ekonomi kreatif.
Langkah mundur ini sekaligus menegaskan bahwa regenerasi politik di tubuh Gerindra mulai menguat.
Saraswati bukan sekadar melanjutkan trah politik keluarga, tetapi mencoba menunjukkan politik pengabdian dan keterbukaan terhadap kritik publik.
Jika kursi Menpora akhirnya menjadi miliknya, ujian besar menanti: apakah ia benar-benar dapat membalik persepsi publik dan mewujudkan janji keberpihakan pada anak muda, atau justru terjebak pada politik simbolik belaka. (By/Red)
Opini
TNI: Dari Rakyat, Bersama Rakyat, untuk Rakyat

Jakarta— Prajurit TNI sejati tidak berdiri sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai penjaga nurani bangsa. Mereka hadir bukan untuk menakuti, tetapi untuk menemani.
Mereka adalah wajah kekuatan yang penuh kasih, keberanian yang tidak membabi buta, dan keberpihakan yang tulus pada ibu pertiwi.
Dalam setiap langkahnya, mereka tahu, senjata bukan selalu solusi, dan kehangatan adalah kunci pencegah anarki.
Netral Tapi Aktif: Makna Sesungguhnya Keberpihakan.
Netralitas TNI bukan berarti pasif tanpa tindakan. Netralitas itu adalah keberanian untuk tidak terseret arus kepentingan, namun tetap sigap menjaga stabilitas negeri.
Ketika rakyat berdemo, TNI hadir bukan untuk membungkam, tetapi untuk mendengar dan menjaga.
Prajurit TNI yang netral dapat mencium gelagat. Mereka tidak kaku dalam menghadapi situasi. Di tengah orasi, mereka menjadi penyejuk.
Di tengah potensi anarki, mereka menjadi penyangga. Mereka bukan lawan rakyat, melainkan bagian dari rakyat.
Ketika Hoaks dan Huru-Hara Mengintai.
Dalam situasi yang sarat provokasi dan narasi palsu yang beredar liar, peran TNI sangat krusial. Mereka menjadi penyeimbang nalar dan peredam api konflik. Ketika rencana anarkisme mulai disusun dengan bungkus demokrasi, prajurit TNI hadir untuk meredam, bukan dengan kekuatan senjata, tetapi dengan kekuatan empati.
Mereka bukan hanya menjaga perbatasan wilayah, tetapi juga batas-batas nurani.
Prajurit Nurani: Harapan di Tengah Gejolak.
Dalam lima hari terakhir Agustus 2025, kita menyaksikan bagaimana prajurit TNI mengambil peran sebagai penjaga moral bangsa. Mereka membaur, merangkul, dan meredam tanpa kekerasan.
Ketika banyak pihak terjebak dalam kemarahan, mereka memilih jalan keberanian yang tenang.
“Engkau, prajurit TNI, adalah kekuatan yang tidak membinasakan. Engkau kekuatan yang menghidupkan,” tulis Imam Mawardi Ridlwan dalam refleksinya.
Penutup: Ketika Ibu Pertiwi Menangis, TNI Hadir Pertama.
Saat Ibu Pertiwi bersimbah air mata, prajurit TNI adalah yang pertama datang, bukan untuk menggertak, tetapi untuk menguatkan.
Karena mereka berasal dari rakyat, dan rakyat tidak pernah meminta peran mereka untuk mundur.
Dalam dunia yang penuh distraksi dan provokasi, semoga tetap ada ruang bagi prajurit-prajurit nurani. Yang tidak hanya menjaga keamanan, tapi juga menjaga kemanusiaan. (DON/Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan ,Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokad Pejuang Islam.
Opini
Merayakan Maulid: Jika Abu Lahab Saja Diberi Keringanan, Bagaimana dengan Kita yang Merayakannya dengan Cinta?

Jawa Timur— Saya tidak tahu apakah Abu Lahab pernah tersenyum dalam hidupnya. Namun, saya pernah membaca sebuah riwayat bahwa ia tersenyum bahagia pada hari kelahiran keponakannya, manusia paling mulia: Sayyidina Muhammad bin Abdullah.
Riwayat ini, yang jika saya tidak salah berasal dari Imam al-Bukhari, menyebut bahwa ekspresi bahagia Abu Lahab tersebut yang diwujudkan dengan memerdekakan budaknya, Tsuwaibah, sebagai ungkapan syukur mendatangkan satu bentuk keringanan baginya.
Di neraka, tempat ia kelak disiksa, ia mendapat setetes air setiap hari Senin. Hanya karena ia gembira saat Nabi Muhammad lahir.
Bayangkan. Abu Lahab, yang dengan terang-terangan memusuhi dakwah Rasulullah, tetap mendapatkan ganjaran ringan atas kebahagiaannya menyambut kelahiran Nabi. Lalu, bagaimana dengan kita?
Umat Islam yang merayakan Maulid Nabi dengan cinta, dengan shalawat, dengan ilmu, dan dengan hati yang bersyukur?
Kini Rabiul Awal kembali hadir. Bulan kelahiran manusia paling sempurna. Bulan yang membuat langit dan bumi damai, yang membuat para malaikat turun membawa kabar gembira.
Bulan yang menjadi alasan berkumpulnya umat Islam di seluruh dunia dari kampung kecil hingga masjid-masjid besar untuk bershalawat, berbagi makanan, dan menimba ilmu.
Allah sendiri, dalam Al-Ahzab ayat 56, menegaskan:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”
Jadi ketika ada yang bertanya, “Mengapa Maulid dirayakan?” Jawabannya sederhana: karena kita cinta. Karena kita bahagia.
Karena Rasulullah sendiri pun memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa setiap hari Senin, sebagai bentuk syukur.
Saya teringat dawuh dari Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, ulama besar dari Mekkah. Beliau mengatakan bahwa merayakan Maulid pasti membawa manfaat. Dunia dan akhirat.
Karena Maulid adalah ekspresi mahabbah cinta. Dan cinta tak bisa dipaksakan. Ia tumbuh dari hati yang mengenal dan menyayangi.
Tentu, ada sebagian yang menyebut Maulid sebagai bid’ah. Tapi para ulama bijak menjawabnya dengan konsep bid’ah hasanah amal baru yang tidak bertentangan dengan syariat dan membawa kebaikan. Bahkan sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud RA, pernah berkata:
“Apa yang dilihat umat Islam sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut baik di sisi Allah. Dan apa yang dilihat umat Islam sebagai perkara yang buruk, maka perkara tersebut buruk di sisi Allah.”
Tulisan ini saya buat sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, dan juga ajakan kepada saudara-saudaraku: monggo maulidan.
Mari rayakan Maulid dengan cara yang sesuai kemampuan kita. Dengan shalawat. Dengan pengajian. Dengan berbagi makanan. Dengan menyebar ilmu dan rasa syukur.
Karena Maulid bukan sekadar peringatan. Ia adalah pernyataan cinta. Cinta yang menumbuhkan harapan untuk mendapat syafaat dari manusia paling penyayang: Rasulullah Muhammad.
Dan jika Abu Lahab saja mendapat setetes air di neraka karena Maulid, maka sungguh besar harapan kita yang merayakannya dengan iman. (Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan
Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Sosial Bani Kyai Tasir Mayong
- Nasional2 minggu ago
Pejuang Gayatri Buka Donasi Aksi: Masyarakat Bersatu Melawan Kebijakan Pemerintah Miring
- Nasional2 minggu ago
Demonstrasi 4/9 di Tulungagung, Ketua Almasta Tegaskan Bukan Inspirator Aksi
- Jawa Timur4 hari ago
Usai Gelar Aksi Damai, Pejuang Gayatri: Sisa Donasi untuk Aksi Jilid II
- Nasional2 minggu ago
Spanduk “Aksi Selasa Rakyat”: Suara Diam yang Menggemuruh di Tulungagung
- Investigasi3 minggu ago
Gaji Bulanan untuk Sekolah Negeri? Pungli Rp120 Ribu/Bulan Membelenggu Orang Tua di SMAN 1 Gondang
- Hukum Kriminal2 minggu ago
143 Pelaku Diamankan, Kapolres Blitar Kota Tegaskan Kerusuhan Malam Sabtu Bukan Demonstrasi
- Nasional5 hari ago
Ratusan Massa Gerakan Pejuang Gayatri Gelar Aksi di DPRD Tulungagung, Soroti 20 Tuntutan Rakyat
- Investigasi2 minggu ago
Dugaan Jual Beli Seragam dan Pungli di SMAN 1 Gondang, Dindik Jatim Akan Turun Tangan