Opini
Momentum Hari Santri 2025, Refleksi Kritis atas Peran Santri di Tengah Kemiskinan dan Keterbelakangan

TULUNGAGUNG— Tema Hari Santri 2025, “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia”, mengandung makna yang sangat dalam dan relevan dengan kondisi umat Islam Indonesia hari ini.
Tema itu tidak sekadar slogan seremonial tahunan, melainkan ajakan reflektif bagi seluruh santri untuk kembali menyadari jati diri dan tanggung jawab kebangsaannya.
Kalimat “mengawal Indonesia merdeka” menegaskan peran santri dalam menjaga kedaulatan bangsa dari ancaman ideologis, ekonomi, dan moral.
Sedangkan frasa “menuju peradaban dunia” menunjukkan visi besar: bahwa Islam Indonesia, dengan corak pesantrennya yang moderat dan berkarakter rahmatan lil ‘alamin, dapat menjadi model peradaban yang memberi inspirasi bagi dunia.
Kemerdekaan dan Keterbelakangan Sosial.
Namun di balik semangat besar itu, kita menghadapi kenyataan sosial yang tidak mudah. Umat Islam Indonesia yang mayoritas justru masih banyak bergelut dengan kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, dan ketimpangan ekonomi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, wilayah dengan tingkat kemiskinan tertinggi sering kali adalah daerah dengan basis masyarakat santri dan pesantren.
Kondisi ini menunjukkan paradoks: di satu sisi, umat Islam memiliki kekuatan spiritual dan moral yang luar biasa, tetapi di sisi lain masih terbelenggu oleh persoalan sosial-ekonomi yang kronis.
Dalam konteks ini, tugas santri hari ini tidak lagi melawan penjajahan fisik seperti era kolonial, melainkan penjajahan ekonomi dan kebodohan struktural yang membuat sebagian umat tak kunjung berdaya.
Santri dan Tantangan Zaman.
Pesantren secara historis bukan hanya lembaga pendidikan agama, tetapi juga pusat pembentukan karakter dan basis perjuangan sosial. Sejak era perlawanan terhadap penjajahan Belanda, santri tampil sebagai kekuatan rakyat yang berjiwa patriotik.
Kini, perjuangan itu perlu diteruskan dalam bentuk baru: jihad melawan kemiskinan dan keterbelakangan.
Masalah terbesar umat Islam Indonesia bukanlah kurangnya iman, tetapi kurangnya kapasitas ekonomi dan teknologi.
Banyak pesantren masih terbatas dalam akses informasi, literasi digital, serta manajemen kewirausahaan. Padahal, potensi ekonomi pesantren sangat besar jika mampu diorganisir dan dikembangkan secara produktif.
Hadis Rasulullah SAW bahwa “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” menegaskan bahwa kekuatan umat tidak hanya ditentukan oleh spiritualitas, tetapi juga oleh keunggulan dan kemandirian ekonomi.
Karena itu, membangun kekuatan ekonomi umat adalah bagian dari jihad masa kini. Santri seharusnya menjadi pelaku ekonomi, bukan hanya pengamat; menjadi pemberi, bukan penerima.
Integrasi Ilmu dan Transformasi Pesantren.
Salah satu penyebab keterbelakangan umat Islam adalah dikotomi ilmu agama dan ilmu dunia. Mayoritas pesantren selama ini lebih menekankan kajian keagamaan secara tekstual, sementara aspek ilmu terapan, sains, dan teknologi sering kali dianggap sekunder.
Padahal, sejarah peradaban Islam menunjukkan bahwa kejayaan Islam justru lahir ketika ulama sekaligus menjadi ilmuwan ketika wahyu dan akal berjalan seiring.
Karena itu, pesantren perlu melakukan reorientasi kurikulum. Santri tetap mendalami ilmu agama, tetapi juga harus dibekali keterampilan abad 21: literasi digital, kewirausahaan, ekonomi syariah, hingga teknologi ramah lingkungan.
Pesantren bisa menjadi pusat ekonomi rakyat, tempat inovasi sosial, dan laboratorium kemanusiaan.
Program-program seperti Santripreneur, Pesantren Go Digital, dan Pesantren Hijau patut terus dikembangkan.
Jika pesantren berhasil mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan inovasi sosial, maka kebangkitan ekonomi umat akan dimulai dari pesantren itu sendiri.
Mengawal Kemerdekaan dari Kolonialisme Baru.
“Mengawal Indonesia Merdeka” di era modern berarti menjaga bangsa dari bentuk penjajahan baru yang lebih halus: ketergantungan ekonomi, eksploitasi sumber daya, dan korupsi moral.
Penjajahan hari ini bukan lagi dalam bentuk keuatan dan kekuasaan senjata, tetapi melalui penguasaan pasar dan mentalitas konsumtif yang menjerat masyarakat.
Santri harus tampil sebagai penjaga moral dan akal sehat bangsa. Dengan karakter keikhlasan, kesederhanaan, dan semangat kebersamaan, santri dapat menjadi teladan bagi masyarakat luas.
Mentalitas pejuang para santri harus menginspirasi Gerak Langkah kehidupan mereka. Kejujuran yang tumbuh di pesantren harus menjadi fondasi etika publik di tengah maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, santri perlu terlibat aktif dalam membangun narasi Islam yang moderat dan damai. Dunia saat ini membutuhkan wajah Islam yang mampu menjadi inspirasi peradaban, bukan ancaman.
Melalui pesantren, nilai-nilai toleransi, gotong royong, dan kasih sayang dapat ditanamkan untuk membentuk karakter bangsa yang berkeadaban.
Solusi dan Agenda Perubahan
Untuk mewujudkan cita-cita besar “Menuju Peradaban Dunia”, ada empat agenda penting yang perlu diperkuat: Pertama, pemberdayaan ekonomi pesantren.
Negara dan masyarakat perlu mendorong terbentuknya ekosistem ekonomi pesantren: koperasi santri, unit usaha mikro, dan lembaga keuangan syariah berbasis pesantren. Negara harus hadir untuk memberi modal, pelatihan, pendampingan dan pemberdayaan secara berkelanjutan.
Kedua, penguatan literasi dan sains aplikatif. Pesantren harus membuka diri terhadap ilmu modern, sains, bahasa asing, dan teknologi digital, tanpa meninggalkan tradisi keilmuan Islam klasik.
Lagi-lagi negara harus hadir untuk mengarahkan dan mewujudkan subsistem Pendidikan yang mayoritas ada di pedesaan ini Ketiga, kepemimpinan santri di ruang publik. Santri perlu hadir di dunia politik, akademik, dan sosial dengan membawa etika pesantren: jujur, amanah, tidak koruptif, sederhana dan berpihak pada rakyat kecil.
Santri dan warga pesantren harus mulai meninggalkan gaya hidup mewah, sesuatu yang tidak sesuai dengan ciri khas pesantren.
Keempat, gerakan sosial berbasis nilai agama. Santri bisa menginisiasi gerakan lingkungan, santripreneursip, literasi, dan kemanusiaan sebagai bentuk dakwah kontekstual yang menyentuh kebutuhan masyarakat.
Penutup.
Tema Hari Santri 2025 mengingatkan kita bahwa kemerdekaan tidak boleh berhenti pada simbol, tetapi harus diwujudkan dalam kesejahteraan nyata.
“Menuju peradaban dunia” bukan berarti mengejar gemerlap globalisasi, tetapi membangun peradaban berbasis moral, ilmu, dan kemanusiaan.
Kini saatnya santri keluar dari zona nyaman spiritual menuju gelanggang perjuangan sosial. Santri yang dulu memegang senjata melawan penjajah, kini harus memegang pena, komputer, dan alat produksi untuk melawan kemiskinan dan kebodohan.
Bila nilai-nilai pesantren berpadu dengan semangat inovasi dan kemandirian, maka cita-cita besar mengawal Indonesia merdeka dan membangun peradaban dunia bukanlah utopia, tetapi takdir sejarah yang siap diwujudkan oleh generasi santri hari ini. (DON/Red)
Oleh: Ahmad Zainal Abidin, Pengasuh Pesantren Subulussalam Tulungagung dan Guru Besar Ilmu Living Quran UIN SATU Tulungagung.
Opini
Dari Sempalan hingga Partai Baru: Tak Ada yang Berhasil Menggerus PDI-Perjuangan

Jakarta— Pernyataan Ali, Ketua Harian PSI, yang menyentil soal politik “yang tak pernah menghasilkan Presiden” dan mengusik trah Sukarno bukan sekadar manuver verbal.
Ini adalah langkah yang dengan sengaja diarahkan untuk memasuki ceruk merah ruang historis, ideologis, dan emosional yang selama puluhan tahun menjadi rumah besar PDI-Perjuangan.
Untuk memahami respons publik dan arah kontestasi politiknya, perjalanan panjang PDI-P serta kegagalan para rivalnya dalam mengoyak konsistensi ideologis banteng perlu dilihat secara utuh.
1. Menyentuh Sukarnoisme: PSI Bermain di Area Berbahaya.
Ketika Ali menyinggung sejarah politik Megawati dan menyebut kubu “yang tidak pernah melahirkan presiden”, ia sesungguhnya menyentuh nadi terdalam PDI-P: legitimasi historis dan trah Sukarno.
Bagi PDI-P, Sukarnoisme bukan ornamen simbolik. Ia adalah ideologi yang dirawat, diwariskan, dan menjadi identitas kolektif kader hingga akar rumput.
Karena itu, serangan ke wilayah ini terbaca sebagai tantangan langsung terhadap fondasi ideologis banteng.
2. Momentum PSI: Basis Banteng Memang Sedang Cair, Namun Tidak Kosong Nilai.
PSI melihat peluang politik melalui beberapa indikator:
• Kemenangan Prabowo–Gibran di Jawa Tengah, jantung basis PDI-P.
• Kecenderungan pemilih muda terhadap politik populis ala Jokowi–Gibran.
• Fragmentasi politik lokal yang membuka celah baru.
Namun cairnya basis bukan berarti hilangnya fondasi. Ceruk merah bukan sekadar pasar elektoral, melainkan ruang ideologis yang telah mengakar selama lebih dari dua dekade. Banyak yang gagal memahami kedalaman ini.
3. Sempalan Banteng: PNBK dan PDP Runtuh Karena Tanpa Ideologi.
PNBK dan PDP, dua sempalan awal PDI-P pernah mencoba menjadi alternatif. Namun keduanya hilang tanpa jejak politik yang berarti.
Pelajarannya jelas: PDI-P bukan sekadar mesin elektoral; ia adalah kultur.
Tidak cukup mengandalkan simbol merah dan nama besar untuk merebut ceruk Sukarnois.
4. Demokrat Berkuasa 10 Tahun, Tapi Tetap Tak Bisa Menggeser PDI-P.
Jika ada partai yang pernah menjadi penantang serius PDI-P, itu adalah Partai Demokrat pada era SBY (2004–2014).
Dengan kekuasaan penuh dua periode:
• Demokrat memimpin pemerintahan.
• PDI-P berada sebagai oposisi keras.
• Ketegangan SBY–Megawati menjadi dinamika politik nasional.
Namun hasil jangka panjangnya ironis:
• PDI-P tetap kokoh.
• Elektabilitas Demokrat merosot setelah SBY turun.
• PDI-P justru bangkit dan memenangi Pemilu 2014 dan 2019.
Ini menunjukkan bahwa kekuasaan negara tidak otomatis melemahkan ideologi.
5. Gerindra Menang Pilpres, Tapi Ceruk Banteng Tetap Tak Tersentuh.
Kini Gerindra memegang kursi kepresidenan. Namun polanya kembali sama:
• Gerindra tumbuh bukan dengan menggerus suara PDI-P.
• Basis banteng tetap stabil.
• Dominasi eksekutif tidak serta-merta mengalihkan loyalitas ideologis.
Kemenangan Pilpres bukan kemenangan atas identitas politik.
6. PDI-P: Satu-Satunya Partai yang Konsisten di Era Reformasi.
Inilah faktor pembeda paling fundamental.
Sejak 1999, PDI-P adalah satu-satunya partai yang:
• Pernah menang, kalah, lalu menang kembali.
• Bertahan sebagai oposisi tanpa kehilangan basis.
• Bangkit dari konflik internal besar.
• Memiliki struktur masif yang teruji puluhan tahun.
• Menjaga kontinuitas ideologi Sukarnoisme lintas tiga generasi pemilih.
Di tengah turbulensi reformasi, hanya PDI-P yang mampu membangun tradisi politik yang konsisten, bukan sekadar mengikuti arus kekuasaan.
Kunci utamanya: Kepemimpinan Megawati yang tegas menjaga ideologi, disiplin organisasi, dan kesinambungan sejarah partai.
Partai lain datang dan pergi. PDI-P justru menua, matang, dan bertahan.
7. Kesimpulan: PSI Boleh Ribut, Tetapi Ceruk Merah Memiliki Gerbang Ideologi.
Manuver PSI yang mengusik trah Sukarno memang memancing perhatian, tetapi memasuki ceruk merah bukan pekerjaan retorika. Ia membutuhkan:
• Konsistensi ideologi
• Basis akar rumput yang terjaga
• Struktur organisasi yang solid
• Rekam jejak panjang
• Kepemimpinan yang stabil
PDI-P telah menghadapi:
• Sempalan banteng — tumbang
• Dua rezim kekuasaan — bertahan
• Rival besar seperti Demokrat dan Gerindra — tetap kokoh
• Pergeseran generasi pemilih — tetap relevan
Kini PSI mencoba masuk gelanggang yang sama. Pertanyaannya sederhana namun berat:
Apakah PSI siap menghadapi bukan hanya PDI-P sebagai partai, tetapi PDI-P sebagai tradisi politik?
Atau sejarah kembali berulang, penantang datang dan pergi, sementara banteng tetap berdiri kokoh di jalur ideologinya. (By/Red)
Oleh: Freddy Moses Ulemlem, SH, MH.
Opini
Hari Jadi Tulungagung ke-820: Saatnya Menata Ulang Prioritas Pembangunan Daerah

TULUNGAGUNG – Kabupaten Tulungagung resmi memasuki usia ke-820 tahun, sebuah capaian historis yang mengingatkan betapa panjang perjalanan daerah ini dalam mengarungi dinamika budaya, politik, dan pembangunan.
Peringatan ini seharusnya tidak berhenti sebagai tradisi seremonial, tetapi menjadi momentum refleksi: bagaimana arah pembangunan Tulungagung akan digagas untuk satu dekade ke depan?
Dikenal sebagai wilayah dengan kekayaan budaya yang kokoh mulai dari peninggalan kerajaan, kesenian jaranan, sampai tradisi agraris Tulungagung memiliki bekal kuat untuk menancapkan identitasnya di tengah perubahan zaman. Namun sekadar merawat budaya tidak lagi cukup.
Dengan potensi wisata pesisir dan seni lokal yang terus hidup, diperlukan langkah strategis untuk menjadikan unsur budaya sebagai penggerak ekonomi.
Pengembangan pariwisata berbasis sejarah, peningkatan kualitas pelaku seni, hingga penyediaan ruang kreatif publik harus masuk dalam prioritas nyata, bukan hanya rencana di atas kertas. Usia ke-820 menjadi waktu tepat untuk melahirkan kebijakan yang mampu menjembatani nilai tradisi dengan kebutuhan generasi modern.
Setahun terakhir, pembangunan infrastruktur di Tulungagung terlihat cukup pesat: perbaikan jalan, pembenahan fasilitas publik, serta revitalisasi kawasan terus digencarkan.
Meski demikian, pembangunan yang ideal tidak hanya diukur dari seberapa banyak proyek fisik yang berdiri.
Masyarakat kini menunggu hadirnya pembangunan yang menyentuh aspek yang lebih fundamental, seperti:
• Penguatan ekonomi rakyat berbasis potensi lokal,
• Pemerataan layanan pendidikan dan kesehatan,
• Penyediaan lapangan pekerjaan berkualitas untuk menekan urbanisasi,
• Digitalisasi layanan publik yang lebih transparan dan mudah diakses.
Warga berharap pembangunan tidak berhenti pada simbol kemajuan, tetapi memberikan manfaat langsung bagi kesejahteraan mereka.
Dengan slogan Hari Jadi ke-820 “Tulungagung Bersatu, Satukan Langkah untuk Tulungagung Maju” serta visi “Masyarakat Tulungagung yang Sejahtera, Maju, dan Berakhlak Mulia, Sepanjang Masa”, tahun ini terasa berbeda.
Kepemimpinan baru dengan latar belakang dunia usaha menghadirkan ekspektasi bahwa manajemen pemerintahan akan lebih profesional dan adaptif terhadap perubahan.
Namun ekspektasi membutuhkan pembuktian. Terobosan nyata yang dapat mempercepat lompatan pembangunan harus diwujudkan melalui:
• Inovasi layanan publik,
• Kolaborasi erat dengan UMKM dan sektor usaha,
• Optimalisasi kekuatan desa sebagai motor ekonomi,
• Pengelolaan anggaran yang amanah dan terukur.
Masyarakat kini menanti pemimpin yang bukan hanya berwacana, tetapi mampu menempatkan warga sebagai aktor utama pembangunan.
Usia 820 tahun adalah penanda sejarah, tetapi jauh lebih penting untuk membayangkan bagaimana Tulungagung pada usia 830 tahun mendatang.
Apakah menjadi daerah yang makin kompetitif dan modern, atau tertinggal karena kurang berani mengambil langkah besar?
Di tengah kompetisi antar-kabupaten yang semakin ketat, Tulungagung membutuhkan visi jangka panjang yang bukan hanya kuat di narasi, tapi konsisten dalam pelaksanaan.
Pemerintah, masyarakat, pelaku bisnis, serta komunitas lokal perlu berjalan dalam satu irama untuk mewujudkan daerah yang berdaya saing dan tetap berakar pada budaya.
Peringatan Hari Jadi ke-820 seyogianya menjadi pengingat bahwa perjalanan panjang tidak boleh membuat Tulungagung berpuas diri.
Tantangan ke depan menuntut arah pembangunan yang lebih inklusif, progresif, dan berorientasi pada manusia.
Hanya dengan kesatuan visi dan keberanian mengimplementasikannya, Tulungagung dapat tumbuh menjadi kabupaten yang lebih baik dan membanggakan. Selamat Hari Jadi Tulungagung ke-820. Semoga menjadi momentum kebangkitan baru bagi seluruh masyarakatnya.(DON/Red)
Oleh: Abdul Maliq Hasim, Anggota Banser Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung.
Editor: Joko Prasetyo
Opini
Transisi Kepemimpinan Global dalam Geopolitik Energi

Jakarta— Dalam salah satu pidato TED-nya, ilmuwan politik Ian Bremmer mengajukan pertanyaan sederhana tapi tajam “Who runs the world?”
Pertanyaan itu kini sulit dijawab. Dunia yang dulu dipimpin oleh satu kekuatan dominan Amerika Serikat kini berubah menjadi sistem multipolar yang cair.
Kekuasaan tersebar, koordinasi global melemah, dan aliansi lama kehilangan daya rekat.
Bremmer menyebut fenomena ini sebagai dunia G-Zero dunia tanpa pemimpin global yang jelas.
Dalam kondisi seperti ini, politik internasional lebih sering diwarnai oleh kepentingan nasional jangka pendek ketimbang visi kolektif untuk masa depan.
Namun, di balik gejolak politik ini, terdapat satu faktor kunci yang jarang dibicarakan secara mendalam yaitu geopolitik energi.
Energi Sebagai Poros Kekuasaan Dunia.
Menurut Carlos Pascual dan Evie Zambetakis dalam The Geopolitics of Energy (2010), energi bukan sekadar komoditas ekonomi, ia adalah alat kekuasaan.
Negara yang mampu mengendalikan pasokan energi, jalur distribusi, dan teknologi ekstraksi akan memiliki pengaruh politik yang luar biasa.
Contoh paling nyata terlihat dalam ketegangan antara Rusia dan Eropa. Ketergantungan Eropa terhadap gas Rusia selama dua dekade terakhir telah membentuk hubungan politik yang asimetris di mana keputusan energi sering kali menjadi senjata diplomasi.
Pascual menegaskan, “energy security is the new currency of power.” Dalam politik ekonomi global, sumber daya energi kini berfungsi layaknya cadangan devisa geopolitik.
Transisi Energi dan Politik di Asia Timur dan Tenggara.
Namun, dinamika kekuasaan ini mulai bergeser seiring masuknya era transisi energi. Studi oleh Jérémy Jammes, Éric Mottet, dan Frédéric Lasserre (2020) dari Conseil québécois d’Études géopolitiques menunjukkan bahwa Asia Timur dan Asia Tenggara kini menjadi laboratorium besar bagi politik energi baru.
Negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan bersaing dalam investasi teknologi hijau, sementara Indonesia, Vietnam, dan Malaysia bernegosiasi antara ketergantungan pada batu bara dan tekanan global untuk beralih ke energi terbarukan.
Transisi energi ini bukan hanya soal iklim, tapi juga politik ekonomi industrialisasi baru siapa yang akan menguasai rantai pasok lithium, rare earth elements, dan teknologi baterai menjadi pertaruhan strategis abad ke-21.
Mediterania dan Jalur Energi Baru.
Di sisi lain, kawasan Mediterania muncul sebagai pusat energi strategis bagi Eropa. Jalur pipa gas dari Afrika Utara, proyek offshore gas di Laut Tengah, hingga ekspansi terminal LNG menjadikan wilayah ini kunci dalam strategi diversifikasi Eropa.
Keseimbangan baru ini menunjukkan bahwa geopolitik energi kini lebih kompleks, tidak lagi dikontrol oleh segelintir negara produsen, melainkan oleh jaringan ekonomi politik global yang menghubungkan negara, korporasi, dan pasar.
Politik Ekonomi Transisi Antara Pasar dan Kedaulatan.
Dari perspektif politik ekonomi, transisi energi global menggambarkan tarik-menarik antara dua kutub kedaulatan nasional dan mekanisme pasar global.
Negara membutuhkan kebijakan industri strategis untuk menjaga kemandirian energi, namun pada saat yang sama tidak bisa lepas dari tekanan pasar internasional dan investor hijau.
Dalam konteks ini, kebijakan energi bukan hanya soal efisiensi atau emisi karbon, melainkan juga tentang siapa yang mengatur arah akumulasi kapital global. Seperti diingatkan Jammes dkk.
Transisi energi bisa memperkuat ketimpangan baru antara negara produsen bahan baku dan negara penguasa teknologi hijau.
Demokrasi dan Tantangan Kepemimpinan Global.
Ian Bremmer menutup refleksinya dengan peringatan jika dunia tanpa pemimpin, maka tanggung jawab kepemimpinan harus berpindah ke masyarakat global.
Demokrasi hanya bertahan jika warganya sadar akan keterlibatan mereka dalam sistem ekonomi-politik global yang memengaruhi kehidupan sehari-hari mulai dari harga energi hingga arah investasi publik.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, politik energi menjadi cermin politik manusia siapa yang berani berpikir melampaui kepentingan jangka pendek untuk masa depan bersama.
Dunia tidak lagi dikendalikan oleh satu kekuatan tunggal. Namun, kekuasaan baru sedang terbentuk di titik pertemuan antara energi, teknologi, dan ekonomi politik global. Pertanyaannya kini bukan lagi siapa yang menguasai dunia, tetapi siapa yang mampu memahami dan mengelola perubahan itu dengan visi jangka panjang.
Referensi.
• Bremmer, Ian. Who Runs the World? (TED Talk, 2022).
• Pascual, Carlos & Zambetakis, Evie. The Geopolitics of Energy. In Energy Security: Economics, Politics, Strategies, and Implications, 2010.
• Jammes, Jérémy; Mottet, Éric; Lasserre, Frédéric. East and Southeast Asian Energy Transition and Politics. Conseil québécois d’Études géopolitiques, 2020. (By/Red)
Oleh: Yuwono Setyo Widagdo, S.Sos., MH.
Jawa Timur2 hari agoBRB di Ponorogo Jadi Sorotan, PSHT Pusat Madiun Tegaskan Hak Pakai Atribut Dilindungi Hukum
Jawa Timur3 minggu agoTruk Tangki BBM Terbalik di JLS Tulungagung, Sopir Hilang dan Solar 6.000 Liter Diselidiki Polisi
Redaksi2 minggu agoDampak Proyek JLS Picu Gejolak di Ngrejo: Warga Ancam Gelar Aksi 2.000 Massa, Tuntut PT HK Gala Bertanggung Jawab
Jawa Timur1 minggu agoKaryawan Dapur SPPG Karangwaru Diduga Alami PHK Sepihak dan Perlakuan Tak Manusiawi
Redaksi2 minggu agoProtes Dampak JLS, Warga Ngrejo Serbu DPRD Tulungagung; Kejati Jatim Ikut Cari Solusi
Redaksi2 minggu agoJalan Miliaran Rupiah Dijalur Desa Segawe Diduga Jadi Korban Truk Galian C, Pemerintah Daerah Bungkam
Redaksi5 hari agoBirokrasi Tulungagung Rapuh, Dimutasi Jadi Kadisnaker, Tri Hariadi Sebut Ada Cacat Prosedur
Redaksi21 jam agoDugaan Pungli Parkir Resmi Dilaporkan, Pemkab Tulungagung Tetap Bungkam soal Festival Hari Jadi ke-820












