KH Imam Mawardi Ridlwan Pengasuh Pondok Pesantren Al Azhaar Tulungagung, (doc: istimewa)
TULUNGAGUNG,90detik.com–Mendekati pemilihan umum (Pemilu) 2024, yang semakin dekat. Banyak pertanyaan yang muncul dimasyarakat, mengenai kebebasan yang tanpa batas dalam menyampaikan aspirasi politiknya.
Sesuai dengan konsep atau pandangan Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) yang tidak mengenal bughot pada pemerintah yang sah, pemerintah yang dipilih rakyat.
Hal ini dikemukakan oleh KH Imam Mawardi Ridlwan, menanggapi adanya aspirasi politik langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER), dalam Pemilu dan permasalahan yang timbul saat ini.
“Ajaran Aswaja membahas korelasi hukum Islam dengan prinsip berbangsa dan bernegara. Aswaja menegaskan rakyat wajib memelihara dan mempertahankan eksistensi bangsa dan negara. Dari konsep ini kemudian muncul semboyan hubbul wathon minal iman, cinta tanah air itu bagian dari keimanan,” KH Imam Mawardi Ridlwan yang akrab disapa Abah Imam, pada Selasa (16/1) di Pondok Pesantren Al Azhaar Tulungagung.
Mengenai adanya isu yang berkembang adanya usulan dari beberapa unsur masyarakat mengenai permakzulan pemerintah saat ini, apakah masuk dalam kategori bughot.
Dari beberapa kajian literatur yang dihimpun oleh redaksi bughot bisa diartikan gerombolan (pemberontak) yang menentang kekuasaan negeri dengan kekerasan senjata, baik karena salah pengertian ataupun bukan. Tindakan ini dilakukan untuk menghalang-halangi, atau keluar dari imam yang sah tanpa alasan yang benar.
Sedangkan Bughot, dalam khazanah fiqih berarti “pemberontakan”. Berasal dari akar kata bagha, yang berarti “melampaui batas”. Bughot dilarang menurut fiqih dan pelakunya harus diperangi. Hal ini berbeda dengan kritik. Kritik adalah bentuk perlawanan, dan tidak semua kritik kepada penguasa merupakan bughot.
Abah Imam menggunakan pandangan Aswaja terhadap hal tersebut, dirinya menegaskan sikap kerja sama dengan pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Pemimpin yang sah merupakan penguasa yang wajib dihormati dan sekaligus ditaati.
“Namun dalam hal ini dengan batasan tatkala tidak melanggar, menyeleweng, dan memerintah ke kemaksiatan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Abah Imam juga menyampaikan penguasa atau rezim sering berbuat dzolim dan melakukan penyelewengan seperti melakukan KKN dan kepemimpinan dinasti.
“Demikianlah watak penguasa adalah otoriter dan dzolim. Jika memang ada kesalahan penguasa (rezim, red) maka para ulama bersama-sama atau secara individu memberi nasehat yang baik,”ungkapnya.
Dan ulama serta rakyat wajib menyampaikan peringatan sesuai prosedur yang berlaku di negeri ini. Prinsip ini sebagai prinsip tawasut atau washatiyah dalam berbangsa dan bernegara.
“Aswaja memang tidak mengajarkan rakyat untuk melakukan bughot kepada para pemimpinnya. Namun Aswaja mengajarkan agar memberi nasehat dan peringatan para penguasa yang bengis, diktator atau melakukan penyelewengan,”pungkasnya.
(Red/JK)