Opini
Menjaga Pemilu Damai, Sesama Anak Bangsa Harus Bersinergi dan Saling Jabat Tangan

TULUNGAGUNG,90detik.com-Semua warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih bakal menyalurkan aspirasinya melalui Pemilu dengan asas langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER).
Pada 14 Pebruari 2024 ada enam anak bangsa berlaga dalam ritual pesta demokrasi. Bukan hanya itu saja ritual setiap lima tahun juga menghasilkan kader terbaik dari anak bangsa.
Rakyat Indonesia telah dewasa untuk ikut berpartisipasi melalui Pemilu LUBER. Mereka sudah punya pilihan masing-masing. Ada yang memilih karena garis lurus dengan partai politik yang diikutinya. Sebagian memilih karena mengikuti panutan dalam beragama dan bermasyarakat. Kelompok ini selalu sami’na pada jalur guru.
Akan tetapi ada fenomena baru generasi muda sekarang memilih karena tertarik pada visi dan misi capres-cawapres. Kelompok generasi rasional yang akan menentukan mana yang terbaik.
Proses santun berdemokrasi akan mewujudkan saling sapa, saling menghargai dan saling menguatkan antar anak bangsa. Para tokoh bangsa menjaga negeri tercinta ini tidak dijadikan ajang pertempuran asing dan aseng. Akan tetapi tumbuh dan berkembang peran kaum pribumi untuk membangun bangsanya.
Dari sudut pandang yang ada saat ini, muncul pertanyaan, Bagaimana seharusnya menjaga dan mewujudkan Pemilu Damai ?
Hal inilah yang menggelitik salah satu ulama dan tokoh agama di Kabupaten Tulungagung, KH Imam Mawardi Ridlwan menyampaikan, seharusnya para tokoh agama dan tokoh masyarakat bersepakat bergandengan tangan mencegah potensi konflik sosial yang saling mengoyak dan mencabik pesta demokrasi.
“Pemilu baik adalah proses pendewasaan dalam menyampaikan visi misi dan rakyat yang akan menentukan pilihan, hingga menuju bilik suara. Bukan arena bebas untuk saling menghujat, membantai dan saling menghakimi,” ujar KH Imam Mawardi Ridlwan yang juga pengasuh dari Pesantren Al Azhaar ini.
“Selebihnya, biar rakyat Indonesia untuk menentukan pilihan masing-masing. Proses santun berdemokrasi akan mewujudkan saling sapa, saling menghargai dan saling menguatkan antar anak bangsa,” imbuh KH Imam Mawardi Ridlwan yang akrab disapa Abah Imam ini.
Menurutnya ada beberapa hal yang tentunya wajib untuk dilakukan dalam menjaga Pemilu Damai, dan wajib diberikan edukasi kepada masyarakat, diantaranya:
1. Memelihara kedewasaan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Semua capres dan cawapres adalah kader terbaik. Semua unggul dan memiliki komitmen menyelamatkan bangsa dari gempuran serangan asing dan aseng.
2. Saling sapa dan silaturrahim walau beda pilihan dalam Pemilu. Beda memilih capres dan cawapres hanya berbeda di ruang bilik suara. Guyub rukun merupakan modal membangun negeri paska pemilu.
3. Sebaiknya tidak berkenan jadi alat propaganda pihak asing dan aseng untuk saling adu domba antar anak bangsa. Tetap satu tujuan utama memilih terbaik. Hasilnya diserahkan pada keputusan rakyat yang memilih terbanyak. Tentu semua pihak menerima setelah rakyat memilih.
4. Tidak melibatkan diri pada kegiatan yang menimbulkan anarkisme karena akan menjadikan malapetaka bagi dirinya, keluarganya serta bangsa dan negera.
5. Berpolitik yang santun yaitu menyampaikan segala keunggulan paslon yang didukung dan tidak dibarengi menyebarkan keburukan lawannya. Secara positif memberi info yang bagus paslon dukungannya tanpa kampanye hitam.
(JK/Red)
Opini
Menjaga Marwah Jurnalisme: Wartawan Tak Bisa Rangkap Jabatan, Apalagi ASN

Foto, Mahmud Marhaba, Ketum DPP PJS dan Ahli Pers Dewan Pers, (dok/ist)
JAKARTA, – Profesi wartawan bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah panggilan etika, penjaga informasi publik, dan penyambung nalar demokrasi. Wartawan dituntut untuk independen, kritis, dan berdedikasi penuh terhadap tugas-tugas jurnalistik yang mereka emban.
Oleh karena itu, menjadi wartawan tidak bisa dilakukan setengah hati, apalagi disambi dengan jabatan struktural lain, seperti ASN, pengurus LSM, bahkan profesi hukum sekalipun.
Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh laporan sebuah media daring yang membongkar praktik jual beli kartu identitas wartawan kepada Aparatur Sipil Negarai (ASN) dengan tarif antara Rp400.000 hingga Rp500.000.
Praktik ini tidak hanya memalukan, tapi mencoreng wajah jurnalisme profesional di Indonesia. Wartawan sejati tidak bisa dibentuk dalam ruang transaksional yang bertabrakan dengan integritas dan kode etik.
Sebagai Ahli Pers Dewan Pers, saya menyesalkan tindakan media yang memberikan atau memperjualbelikan kartu wartawan kepada pihak yang tidak memenuhi syarat, khususnya ASN.
Dewan Pers wajib memanggil pemimpin redaksi media tersebut untuk klarifikasi dan, bila terbukti, menjatuhkan sanksi tegas sesuai dengan aturan yang berlaku.
Wartawan dan Pers Tak Bisa Dijalankan Sambil Lalu
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik yang mencakup: mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi atau sering kita kenal sebagai (6M).
Aktivitas ini memerlukan dedikasi penuh waktu, kemampuan profesional, dan pemahaman kode etik jurnalistik yang dalam.
Dengan 6M tersebut, wartawan tidak hanya menulis berita. Ia harus terjun ke lapangan, melekukkan verifikasi data, mewawancarai narasumber, menjaga keseimbangan informasi, dan mempublikasikan secara bertanggung jawab.
Maka, bagaimana mungkin seorang ASN yang memiliki kewajiban penuh terhadap negara dapat menjalankan tugas jurnalistik secara profesional dan independen?
Menolak Konflik Kepentingan, Menjaga Independensi
Mengapa ASN, TNI/Polri, pengacara, dan pengurus LSM tidak memperkenankan menjadi wartawan aktif? Jawabannya jelas, konflik kepentingan.
Wartawan adalah mata dan telinga publik. Ia harus berdiri netral, tidak memihak, dan bebas dari tekanan institusional. Seorang ASN tentu terikat pada struktur birokrasi yang bisa mengaburkan objektivitasnya sebagai jurnalis.
Bila seorang penjabat negara juga menyandang identitas wartawan, bagaimana ia dapat melakukan kritik terhadap sistem yang menghidupkannya?
Dalam Pedoman Organisasi Pers dan kebijakan Dewan Pers, larangan rangkap jabatan ini merupakan bentuk perlindungan terhadap independensi pers.
Dewan Pers sendiri secara tegas dalam berbagai forum menyatakan bahwa wartawan harus fokus dan bebas dari benturan kepentingan apa pun. Tidak ada ruang abu-abu dalam dunia jurnalisme.
Panggilan kepada Dewan Pers dan Aparat Penegak Hukum
Praktik jual beli kartu wartawan tidak hanya merugikan citra profesi, tapi bisa digunakan untuk kepentingan manipulatif seperti pemerasan, intervensi kebijakan, hingga pelanggaran etik di instansi pemerintah. Ini adalah alarm serius.
Dewan Pers harus mengambil langkah cepat, tegas, dan menyeluruh terhadap media-media yang dengan sengaja melanggar prinsip dasar profesi jurnalistik. Selain itu, aparat penegak hukum juga harus memahami peran strategis pers.
Mereka wajib membedakan antara wartawan profesional yang bekerja berdasarkan kode etik dan oknum yang menyalahgunakan atribut wartawan untuk kepentingan pribadi.
Menjaga Marwah Pers, Menjaga Masa Depan Demokrasi
Jika profesi wartawan terus dibiarkan dirusak oleh oknum yang tidak kompeten dan tidak memahami etika, maka kita sendang membiarkan jurnalisme terjerumus menjadi alat pencitraan dan kepentingan kelompok.
Ini bukan saja mengancam integritas media, tapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap peran pers sebagai pilar keempat demokrasi.
Sebagai insan pers, sebagai pemimpin organisasi, dan sebagai Ahli Pers Dewan Pers.
Saya menyerukan kepada seluruh pemangku kepentingan, baik media, lembaga pemerintah, ASN, dan organisasi masyarakat sipil, untuk menjaga martabat profesi wartawan.
Profesi ini bukan milik semua orang. Ia adalah milik mereka yang siap menegakkan kebenaran, menjunjung etika, dan berdedikasi penuh kepada kepentingan publik.
Oleh: Mahmud Marhaba (Ahli Pers Dewan Pers, Ketua Umum DPP Pro Jurnalismedia Siber – PJS)
Opini
Dewan Pers Kunjungi Mahkamah Agung Ditengah Sorotan Kasus Korupsi

Keterangan foto : Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat bersama jajaran pengurus Dewan Pers melakukan kunjungan ke Mahkamah Agung (MA) pada Jumat (16/5/2025) pagi. Dok :Humas MA
JAKARTA,- Sederet kasus korupsi dan praktek suap yang menyeret sejumlah hakim agung telah menuai kecaman publik dan sorotan media massa. Institusi Mahkamah Agung yang seharusnya menjadi benteng terakhir para pencari keadilan di negeri ini, malah menjadi ‘sarang penyamun’ dan kaki tangan para mafia peradilan.
Publik pun makin geram ketika isu ini makin viral dan media massa memberitakannya bak serial drama korea yang lagi ngehitz. Kewibawaan para Hakim Agung di MA runtuh seketika meski pelakunya hanya segelintir oknum hakim agung.
Pemberitaan media yang sangat massif ini, ternyata melahirkan kemarahan dan cacimaki warga yang menghiasi kolom komentar di media berita online maupun di media sosial.
Celakanya, di tengah sorotan keras media terhadap kasus korupsi di MA, tiba-tiba Ketua Dewan Pers dan jajarannya berkunjung ke Mahkamah Agung RI.
Selang dua hari setelah serah terima jabatan, Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat langsung tancap gas menemui Ketua MA Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., di ruang kerjanya pada Jumat (16/5).
Gerakan Komarudin cs ini sangat disayangkan. Bukannya menemui wartawan media nasional yang terancam kehilangan pekerjaannya, atau Perusahaan Pers yang terancam bangkrut, Dewan Pers justru mengawali tugas pertamanya memenuhi kepentingan pihak tertentu dengan kedok memperjuangkan kebebasan meliput wartawan di lingkungan MA.
Sulit menghilangkan pemikiran bahwa kehadiran Dewan Pers di MA bukan untuk menebar sinyal kuat agar media massa meredam isu korupsi Hakim Agung di MA. Dewan Pers boleh saja berdalih kedatangannya ke MA untuk membela kepentingan wartawan agar bebas meliput, meski pada kenyataannya selama ini tidak ada masalah peliputan di MA.
Dewan Pers perlu tahu bahwa MA selama ini tidak pernah menghalangi atau mempersulit tugas peliputan wartawan. Ketua MA dan jajaran selalu mengadakan agenda rutin tahunan yakni pertemuan dengan insan pers peliput di MA.
MA bahkan memberi kemudahan akses peliputan kepada wartawan untuk bisa menemui langsung Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Dr. H. Sobandi, S.H., M.H dalam melakukan wawancara dan konfirmasi.
Tak cuma itu, wartawan peliput MA bahkan punya grup aplikasi WhatsAp yang dihuni Karo Humas Sobandi, sehingga setiap saat wartawan bisa berkomunikasi dengan pejabat humas MA. Oleh karena itu tidak ada urgensi bagi Dewan Pers untuk menemui jajaran pimpinan MA diawal menjalankan fungsinya.
Seharusnya Dewan Pers menjaga independensi menghindari pertemuan dengan pimpinan lembaga yang sedang disorot media dan publik akibat kasus korupsi dan mafia peradilan. Dewan Pers dipandang kegenitan dan tak paham persoalan pers karena menjadikan MA sebagai target utama mengawali kepengurusannya.
Wajar saja peristiwa ini terjadi karena Ketua Dewan Pers Komarudin bukan dari kalangan wartawan. Jadi urat nadi permasalahan pers ternyata hanya bisa dideteksi kalangan wartawan. Persoalan utama pers yang butuh penanganan khusus justeru terabaikan.
Lihat saja belum ada langkah atau terobosan Dewan Pers yang mampu memberi perlindungan kepada wartawan dan media yang terkena dampak krisis. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan, sejumlah media besar nasional bakal mem-PHK wartawan.
Beberapa media pun dikabarkan tutup. PT Era Media Informasi yang mengelola majalah Gatra, situs web Gatra.com, majalah Gatra Jateng, situs Gatrapedia.com, dan kanal Gatra TV, sudah tutup duluan di 31 Juli 2024.
Pada tahun sebelumnya, PT Media Nusantara Indonesia (MNI) memutuskan untuk menghentikan penerbitan Koran SINDO versi cetak maupun versi e-paper pada 17 April 2023 lalu.
PT Cakrawala Andalas Televisi atau ANTV dikabarkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Kabar itu terjadi di tengah proses restrukturisasi utang bersama entitas induknya yakni PT Intermedia Capital Tbk (MDIA) dan PT Visi Media Asia Tbk (VIVA).
Media Tempo.co bahkan mencatat sudah ada 37 media cetak yang tutup, yakni Koran SINDO, Harian Republika, Tabloid NOVA, Majalah Mombi SD, Suara Pembaharuan, Koran Tempo, Indopos, Tabloid Bintang, Tabloid Cek & Ricek, Tabloid Bola, Majalah Gogirl, Esquire Indonesia, Majalah Rolling Stone Indonesia, Jakarta Globe, Surat Kabar Sinar Harapan, dan sejumlah media cetak lainnya.
Selain itu juga ternyata ada media televisi yang tutup, antara lain yakni Bloomberg TV, Spacetoon, Channel Kemanusiaan, dan Net TV.
Kondisi ini memerlukan perhatian serius semua pihak. Pergeseran media informasi sudah memasuki era digitalisasi informasi.
Pers harus segera berbenah diri jika tidak ingin terpinggirkan oleh beragam platform media sosial yang memberi ruang yang sangat luas kepada warga untuk menjalankan praktek jurnalistik.
Tidak bisa dipungkiri nasib puluhan ribu media online yang didalamnya ada ratusan ribu wartawan mengais rejeki, perlu juga diakomodir kepentingannya oleh pimpinan organisasi pers, termasuk pemerintah tentunya.
Dewan Pers yang ada sekarang tidak bisa diharapkan jika programnya hanya berkutat di bisnis Uji Kompetensi Wartawan, Verifikasi Media, dan ‘bisnis’ pelayanan pengaduan.
Baru-baru ini Dewan Pers mengurusi dualisme pengurus Persatuan Wartawan Indonesia. Hendri Bangun yang belum berstatus tersangka tapi sudah kadung dilengserkan tanpa ada proses hukum yang inkrah, kini dipaksa mengikuti kongres luar biasa.
Tidak bermaksud untuk membela Hendri Bangun, tapi secara legal formal, Badan Hukum PWI masih mengesahkan Hendri Bangun sebagai Ketua Umum PWI. Produk kongres luar biasa yang melengserkan Hendri ternyata tidak mendapat legitimasi dari pemerintah di Kementerian Hukum.
Artinya status kepengurusan Hendri Bangun masih sah sebagai Ketum PWI. Dewan Pers malah menambah masalah baru mengintervensi masalah internal PWI.
Dewan Pers yang kini dihuni eks Ketua KPK Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum seharusnya berani mendesak Kapolri agar kasus dugaan korupsi UKW PWI segera diselesaikan.
Dewan Pers harus membuka diri untuk membongkar dugaan keterlibatan Dewan Pers periode lalu dalam kasus Cash Back UKW dana hibah BUMN, serta puluhan miliar rupiah APBN untuk anggaran UKW di Kementerian Kominfo era sebelumnya yang mengalir di seluruh organsiasi konstituen dan Lembaga Uji Kompetensi ilegal. (*)
Naskah disusun oleh: Heintje Mandagi- Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia
Jawa Timur
Wartawan Ditangkap Polisi, Dalih Memeras atau Rekayasa?

TULUNGAGUNG– Penangkapan tiga orang wartawan oleh polisi di Trenggalek, Jawa Timur dengan tuduhan memeras patut dipertanyakan. Apakah benar wartawan tersebut melakukan tindakan memeras, ataukah ini hanya sebuah rekayasa untuk membungkam suara kritis?
Dalam menjalankan tugasnya, wartawan memiliki hak untuk melakukan investigasi dan melaporkan temuan mereka kepada publik.
Jika wartawan tersebut melakukan tindakan yang tidak etis, maka perlu dilakukan pemeriksaan yang objektif dan transparan.
Polisi harus dapat membuktikan bahwa wartawan tersebut benar-benar melakukan tindakan memeras, bukan hanya berdasarkan tuduhan atau laporan yang tidak jelas.
Dalam proses hukum, penting untuk memastikan bahwa hak-hak wartawan sebagai warga negara tetap dilindungi.
Penanganan kasus ini harus dilakukan dengan profesional dan tidak boleh membungkam kebebasan pers.
Jika terbukti bahwa penangkapan tersebut tidak berdasar, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja polisi dan diberikan sanksi yang tepat kepada pihak yang bertanggung jawab.
Kita berharap agar kasus ini dapat diselesaikan secara adil dan transparan, serta tidak menimbulkan chilling effect terhadap kebebasan pers di Indonesia. (DON-red)
Oleh: Catur Santoso, Ketua Aliansi Jurnalis Tulungagung (AJT).
- Jawa Timur4 hari ago
Viral Tudingan Camat Mainkan LC dan “Iclik”, Warga Pakel Meledak Desak Bupati Bertindak
- Jawa Timur2 minggu ago
Tragis, Ditemukan Mayat Gantung Diri di Ngantru Tulungagung
- Jawa Timur2 minggu ago
Gandeng PSHT, BNNK Tulungagung Luncurkan Program “Pendekar Lawan Narkoba”
- Jawa Timur2 minggu ago
LSM LASKAR Laporkan Dugaan Korupsi Bansos RASTRADA Tahap I Kota Blitar ke Kejari
- Hukum Kriminal1 minggu ago
Tersendat di PUPR, Kasus Korupsi Dana Desa di Tulungagung Terancam Mandek
- Hukum Kriminal2 minggu ago
Terdakwa Korupsi Kembalikan Rp1,7 Miliar, Kejari Sorong Tegaskan Komitmen Lawan Korupsi
- Jawa Timur1 minggu ago
79 Santri Porsigal Trenggalek Resmi Disahkan Sebagai Anggota Baru
- Hukum Kriminal2 minggu ago
Dugaan Korupsi di Desa Tanggung, Kejari Tunggu Hasil Audit Inspektorat