Connect with us

Opini

Dua Keluarga Bertetangga Saling Laporkan, Dimana Letak Hati Nurani?

Published

on

Jakarta— Hingga pekan kedua Oktober 2025, publik disuguhi drama hukum yang mempertemukan dua keluarga bertetangga di ranah pidana. Keduanya hidup berdempetan, namun justru saling melaporkan ke polisi.

Dunia maya pun ramai. Para netizen dan penggiat media sosial menjadi saksi bagaimana hubungan antar tetangga bisa memburuk, berubah dari kerukunan menjadi saling serang.

Entah siapa yang puas, jika satu di antara mereka dipenjara. Atau bahkan, bisa jadi keduanya akan berakhir di balik jeruji.

Namun di balik pusaran konflik tersebut, kita patut bertanya lebih dalam, bagaimana kondisi hati mereka?

Dalam kehidupan, kita selalu dihadapkan pada pilihan. Salah satunya adalah jalan tasawuf jalan yang tak hanya menata tubuh lahiriah, tetapi juga jiwa dan ruh.

Jalan ini bukanlah jalan mudah. Menata hati ibarat menaklukkan lautan yang tak pernah tenang. Hati berasal dari kata qalaba yang berarti mudah terbolak-balik.

Ia mudah condong pada hawa nafsu, dan hawa nafsu adalah kegelapan yang menjauhkan manusia dari nur Ilahi.

Banyak yang mampu mengajarkan ilmu tentang ketenangan, kesabaran, dan pencerahan jiwa. Tetapi belum tentu mampu mengaplikasikan semua itu dalam konflik nyata.

Tak heran, di tengah masyarakat yang mengaku religius, masih tampak dendam, takabur, dan keinginan untuk menyakiti sesama. Padahal, prilaku lahiriah adalah cermin dari kondisi hati.

Jika hati bening, maka lahiriah akan memancarkan rahmat. Sebaliknya, jika hati keruh, prilaku pun akan menebar fitnah.

Jika prilaku tidak dijaga, maka hati akan kehilangan kendali. Jasad akan bebas melampiaskan syahwat, jiwa akan menonjolkan ego, dan muncullah keangkuhan. Inilah bibit dari kerusakan sosial. Dari hati yang rusak lahir prilaku menyakiti. Dari prilaku menyakiti, lahir lingkungan penuh konflik.

Solusi atas krisis hati ini bukan sekadar ilmu atau hukum, tetapi dzikir yang menghidupkan hati dan membimbing prilaku.

Dzikir bukan sekadar di lisan, tetapi harus nyata dalam tindakan. Dzikir sejati adalah ketika manusia menjelma menjadi Abdullah, hamba Allah yang menebar kasih, bukan permusuhan.

Bagi para ahli tasawuf, bertetangga bukan soal siapa benar atau siapa salah, tetapi soal siapa yang lebih ingin menghadirkan keberkahan. Mereka tidak sibuk menuntut, tetapi sibuk melayani.

Mereka tidak sibuk menilai, tetapi sibuk mendoakan. Bagi mereka, tetangga adalah ladang amal, bukan ladang konflik.

Karena itu, mari kita ingat: lahiriah adalah cermin hati. Jika cermin itu retak, maka bayangan yang muncul pun menyesatkan.

Maka jagalah prilaku, karena ia adalah jalan menuju keseimbangan batin. Jangan hanya menjadi orang berilmu, tetapi jadilah insan yang menebar kedamaian. Karena ilmu tanpa ketenangan hati hanyalah kilau tanpa cahaya. (DON/Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam

Opini

Ketika Dua Rumah yang Berhimpitan Berseteru: Refleksi Sosial tentang Makna Tetangga

Published

on

Jakarta — Sebuah pertunjukan kehidupan sosial yang mengundang perhatian publik terjadi di kawasan Joyogrand, Kota Malang, Jawa Timur. Dua rumah yang berhimpitan, yang dahulu tampak damai dan harmonis, kini justru tampil berseri bukan karena kebaikan, melainkan karena perseteruan yang disiarkan secara terbuka melalui media sosial.

Dalam dua pekan terakhir Oktober 2025 ini, masyarakat disuguhi drama nyata dua keluarga yang berselisih, saling mengungkap versi kebenaran masing-masing di ruang digital.

Sebagian menilai ini tidak elok. Lebih menyedihkan lagi, yang berseteru bukan mereka yang kekurangan, melainkan dua orang yang sama-sama berpendidikan dan hidup dalam kecukupan.

Saya tidak ingin membahas apa pemicu konflik, apalagi menentukan siapa yang benar. Karena bisa jadi secara versi pribadi semua merasa benar.

Namun satu hal yang penting disadari adalah sejatinya mereka adalah satu keluarga, meski rumah berbeda. Dan itu pula hakikat dari tetangga.

Tetangga: Cermin Sosial dan Spiritualitas.

Di balik dinding rumah kita, di balik pagar yang memisahkan halaman, sesungguhnya ada sosok-sosok penting yang Allah hadirkan dalam hidup kita adalah tetangga. Mereka bukan sekadar orang yang tinggal berdekatan, tetapi bisa menjadi sahabat, pengingat, bahkan penolong dalam diam.

Dalam ajaran Islam, dalam budaya Jawa, dan dalam nilai-nilai universal kemanusiaan, tetangga memiliki kedudukan yang sangat mulia.

Rasulullah bahkan menyandingkan perintah memuliakan tetangga dengan perintah menyembah Allah.

Maka jika suatu saat terjadi peristiwa yang mengganggu hati, sabar adalah kuncinya. Kenapa harus sabar?

Karena kita tidak memilih tetangga, tetapi Allah-lah yang memilihkan untuk kita. Dan semua yang Allah pilihkan, pasti mengandung hikmah.

Prinsip Bertetangga dalam Tradisi dan Spiritualitas.

Saya pribadi, sebagai pendatang di lingkungan baru, selalu berupaya menanamkan prinsip bahwa tetangga adalah keluarga besar kita.

Sebagaimana nasihat Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu: “Tetangga itu bukan hanya yang rumahnya berdempetan, tetapi juga yang berada dalam radius 40 rumah dari tempat tinggal kita.”

Artinya, tetangga adalah komunitas kecil yang menjadi cermin akhlak dan karakter kita.

Beberapa prinsip yang saya pegang dalam bertetangga:

1. Pager mangkok lebih kuat dari pager besi yakni berbagi makanan dan kebaikan lebih mempererat hubungan dibanding pagar setinggi apapun.

2. Sapa dengan senyuman bahkan anggukan kecil bisa membuka pintu hati.

3. Menjaga lisan, tidak berkata yang menyakitkan meski akrab.

4. Tolong-menolong dalam kesederhanaan dari meminjam alat hingga menjaga rumah.

5. Menjaga adab dan privasi — tidak membicarakan tetangga di dunia nyata apalagi di media sosial.

6. Menghormati hak tetangga seperti memberi tahu jika ada kegiatan yang bisa mengganggu.

Sabar dan Maaf, Jalan Mulia dalam Konflik.

Saya juga belajar bahwa tidak semua tetangga mudah dipahami. Tapi bukan berarti harus dilawan. Justru ini ladang amal yang luar biasa.

Maka, saya membiasakan diri:
• Mengalah, bukan kalah.
• Menganggap keunikan tetangga sebagai peluang bersabar.
• Memaafkan sebelum diminta.
• Mendoakan diam-diam.
• Menghindari debat yang memicu api.
• Tetap berbuat baik meski tidak dibalas.
• Menjaga silaturahim, karena sowan ke tetangga adalah obat hati.

Tetangga: Investasi Dunia dan Akhirat.

Tetangga adalah keberkahan yang sering terlupakan. Saat darurat, mereka yang pertama hadir. Saat kita sepi, merekalah yang bisa menyapa.

Saya mencatat tiga manfaat besar dari keberadaan tetangga:

1. Keamanan sosial saling menjaga dengan niat baik.
2. Dukungan emosional dalam suka maupun duka.
3. Pendidikan karakter anak lingkungan yang harmonis mencetak generasi yang mulia.

Penutup: Kembalilah pada Hakikat.

Perseteruan dua rumah berhimpitan di Joyogrand seharusnya menyadarkan kita, bahwa tetangga bukan musuh, tetapi amanah sosial dan spiritual. Kita tidak sedang berbicara tentang siapa benar dan siapa salah, tetapi tentang siapa yang ingin menghadirkan ketenangan, bukan kebisingan, kedamaian, bukan perpecahan.

Mari kita rawat relasi dengan tetangga, karena mereka adalah bagian dari takdir sosial kita. Bukan kebetulan, tetapi panggilan ibadah dan akhlak. (DON/Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam.

Continue Reading

Opini

Menjadi Penyejuk di Tengah Fitnah

Published

on

Jakarta— Fitnah merupakan gelombang. Ia bisa menenggelamkan jiwa, menghancurkan reputasi, dan memecah keharmonisan. Namun, bagi mereka yang berjalan di jalur kebenaran, fitnah justru bisa menjadi ujian yang mengangkat derajat.

Ia datang bukan sekadar untuk menguji kesabaran, tetapi untuk menyingkap ketulusan. Maka pertanyaannya, apakah kita akan menjadi bara yang membakar, atau rahmat yang menyejukkan?

Zaman Fitnah dan Media Sosial.

Di era digital, fitnah tak lagi berbisik di lorong-lorong sempit. Ia berteriak di layar-layar publik. Baru-baru ini, viral di media sosial seorang dosen PTN yang dikenal baik, terlihat menjatuhkan diri di tanah. Narasi yang dibangun: “sedang gulung-gulung di tanah.” Tanpa tabayun, netizen menghakimi. Tanpa klarifikasi, mereka menghujat. Padahal, peristiwa itu berakar dari ketidaknyamanan dan ketidakharmonisan dengan tetangga. Tapi dunia maya tak menunggu penjelasan. Ia menuntut sensasi. Terpenting viral. Tidak pernah takut bahaya ghibah.

Inilah zaman fitnah. Zaman di mana kebenaran dikalahkan oleh kecepatan opini. Kecepatan jempol berselayaran. Keberanian berteriak lantang. Tanpa takut dosa.

Saya Tabayun: Mengenal Sosok Kyai Min.

Saya tidak kenal warga Joyogrand Malang yang sedang dibahas netizen. Tidak pernah bertemu. Juga tidak pernah membaca tulisannya atau karyanya. Tapi saya belajar dari kaidah, jika datang berita dari orang fasik, maka tabayunlah. Saya pun bertanya kepada rekan-rekan di Malang.

Nama yang sedang viral adalah Muhammad Imam Muslimin, atau akrab disapa Kyai Min. Seorang dosen yang disiplin, pengajar ilmu tasawuf, penghafal Al-Qur’an, dan imam sholat di lingkungan masyarakat. Ia bukan sosok tertutup. Ia santun, sering mengalah, dan tidak membalas dengan amarah. Ia hidup dalam ketulusan.

Saya bertanya, “Apakah karena nama yang indah itu, media menghujat tanpa tabayun?” Jawaban rekan saya, Mas Choiron, menegaskan: Kyai Min adalah sosok yang bermasyarakat, rajin sholat, dan sering memberi tausiyah.

Menjadi Penyejuk di Tengah Luka.

Kyai Min sedang menapaki jalan ujian. Ia tidak membalas fitnah dengan kemarahan. Ia memilih menjadi penyejuk. Memang sulit menjadi penyejuk saat disakiti. Tapi itulah jalan para pembawa risalah. Jalan orang-orang yang diberi amanah ilmu.

Di zaman fitnah, membela diri di medsos bukanlah solusi. Yang lebih utama adalah berdoa. Mendoakan tetangga, RT, RW, dan lingkungan yang termakan fitnah. Karena rahmat tidak lahir dari debat, tapi dari ketulusan.

Bara atau Penyejuk: Kita yang Memilih.

Ketika fitnah datang, kita punya pilihan. Menjadi bara yang membakar, atau rahmat yang menyembuhkan. Kyai Min memilih menjadi rahmat. Ia tidak sibuk membalas. Ia sibuk menenangkan. Ia tidak sibuk menjelaskan. Ia sibuk mendoakan.

Dan semoga kita pun belajar darinya. Bahwa di tengah gelombang fitnah, menjadi rahmat adalah pilihan yang paling mulia.

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Sekretaris PW IPHI Jawa Timur.

Continue Reading

Opini

Catatan Awal Pekan, Rumor Pencabutan Kartu Liputan CNN Indonesia dan Ujian Kebebasan Pers

Published

on

JAKARTA, Sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pro Jurnalismemedia Siber (PJS), saya merasa perlu memberikan catatan di awal pekan ini terkait rumor yang beredar bahwa Istana telah mencabut kartu liputan wartawan CNN Indonesia.

Reaksi dari berbagai organisasi pers, termasuk Dewan Pers, merupakan tanda keseriusan insiden ini.

Publik berhak bertanya tentang kasus ini. Jika benar, apakah ini tanggapan langsung dari Presiden, ataukah lahir dari ketakutan pihak-pihak tertentu, khususnya Humas di lingkungan Istana?

Bagi saya, kebebasan pers bukan sekadar jargon, melainkan amanat konstitusional. Pasal 28F UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi.

Pers berfungsi sebagai sarana bagi rakyat untuk memperoleh hak tersebut. Oleh karena itu, pencabutan kartu liputan bukan sekadar urusan administratif, melainkan dapat dipahami sebagai pembatasan hak konstitusional warga negara.

Kartu liputan hanyalah sarana akses, bukan instrumen penghargaan atau hukuman. Jika suatu berita dianggap tidak akurat, mekanismenya jelas. Undang-Undang Pers mengatur hal ini melalui penggunaan hak jawab, hak koreksi, atau pengajuan kepada Dewan Pers.

Semua ini merupakan jalur konstitusional dan etis. Menutup akses liputan hanya akan menimbulkan kecurigaan bahwa pemerintah anti-kritik.

Saya ingin mengingatkan kita semua bahwa demokrasi kita hanya akan sehat jika pers secara bebas menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial.

Membatasi akses media sama saja dengan menutup ruang kritik. Ini berbahaya, karena media lain dapat mengalami “efek ketakutan” dan memilih keamanan daripada kritik. Kritik yang sehat, bagaimanapun juga, adalah vitamin bagi pemerintah, bukan racun.

Oleh karena itu, saya menawarkan solusi sederhana namun mendasar:

1. Pemerintah, melalui Istana, perlu mengklarifikasi masalah ini secara terbuka agar publik tidak terjebak dalam spekulasi.

2. Jika pencabutan tersebut benar, Presiden harus memastikan apakah itu keputusannya atau sekadar blunder aparat Humas.

3. Jalin dialog rutin antara Presiden dan pers untuk menjaga kepercayaan publik terhadap komitmen demokrasi.

4. Anggap saja kritik media sebagai refleksi, bukan ancaman.

Saya yakin Presiden tidak pernah alergi terhadap kritik. Namun, jika langkah-langkah pembatasan ini terus berlanjut, citra demokrasi kita yang dibangun dengan susah payah pasca-reformasi akan tercoreng.

Di sinilah Presiden akan diuji:, akankah ia teguh dalam melindungi kebebasan pers atau membiarkan demokrasi kita digagalkan oleh ketakutan dari lingkaran dalamnya sendiri?.

Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.(*)

Oleh: Mahmud Marhaba (Ketua Dewan Pimpinan Pusat PJS)

Continue Reading

Trending