Connect with us

Opini

Kehadiran Kritik dalam Pembangunan: Membangun Kualitas, Bukan Menjatuhkan Harapan

Published

on

TULUNGAGUNG– Di tengah dinamika kehidupan sosial dan politik yang kian kompleks, kritik sering dipandang sebagai hal yang negatif. Banyak yang beranggapan bahwa mengkritik adalah tanda ketidakpuasan atau bahkan pembangkangan terhadap pihak berwenang.

Namun, jika kita telaah lebih dalam, kritik sejatinya merupakan salah satu bentuk partisipasi yang paling penting dalam proses pembangunan suatu bangsa.

Kritik adalah cermin dari keberagaman pendapat yang ada di masyarakat. Ia memberikan ruang bagi individu untuk menyampaikan pandangannya terhadap berbagai isu, mulai dari kebijakan publik, pemerintahan, hingga masalah sosial.

Dalam hal ini, kritik bisa menjadi alat pengingat bagi pemimpin agar tetap pada jalur yang benar dan tidak melupakan tanggung jawab mereka terhadap rakyat.

Sayangnya, banyak pihak yang terjebak dalam pemikiran sempit tentang kritik. Mereka beranggapan bahwa kritik berarti menghancurkan, padahal yang terjadi sebenarnya adalah membangun.

Di era demokrasi, kritik menjadi vital untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas. Tanpa adanya kritik yang konstruktif, akan sulit bagi setiap pihak untuk mengevaluasi kinerja mereka dan memperbaiki kesalahan yang ada.

Lebih jauh lagi, kritik yang disampaikan dengan cara yang santun dan rasional dapat mendorong dialog yang positif.

Ini penting dalam menciptakan ruang diskusi yang sehat, di mana pendapat yang berbeda dapat saling mendengarkan dan mencari solusi bersama.

Masyarakat yang terbuka terhadap kritik akan lebih mampu beradaptasi dan menghadapi tantangan yang ada.

Namun, kritik haruslah disertai dengan data dan fakta yang kuat, serta tujuan yang jelas. Kritik yang sarkastik atau hanya berorientasi pada penghinaan justru akan menghambat dialog konstruktif.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk belajar menyampaikan kritik dengan bijak dan mendidik.

Dalam konteks pembangunan bangsa, baik pemerintah maupun masyarakat sipil perlu menyadari bahwa kritik bukanlah musuh, melainkan teman.

Kita perlu menciptakan budaya yang menghargai keberanian untuk mengkritik serta keterbukaan untuk menerima kritik.

Sebagai penutup, mari kita hargai dan junjung tinggi kritik yang konstruktif. Dengan begitu, kita semua dapat berkontribusi pada pembangunan bangsa yang lebih baik, lebih transparan, dan lebih berkeadilan.

Setiap suara, termasuk kritik, memiliki kekuatan untuk mendorong perubahan positif. Sudah saatnya kita menjadikan kritik sebagai bagian dari proses belajar bersama. (*)

Penulis: Donny Docken, sebagai jurnalis dan pimpinan redaksi media 90detik.com

Editor : JK

Opini

Rakyat Dihisap, Noel Terjebak di Lingkaran Setan Birokrasi: Rp69 Miliar Mengalir ke Pejabat Korup

Published

on

Jakarta— Bangsa ini sedang menghadapi ujian moral dan institusional yang berat. Di tengah gaung reformasi birokrasi yang terus dikumandangkan, justru tersingkap wajah asli dari sebuah sistem yang rusak, birokrasi yang seharusnya melayani, berubah menjadi mesin pemerasan.

Skandal sertifikasi K3 di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menjadi titik terang yang membongkar tabir kelam tersebut.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personel K3 Kemenaker, Irvian Bobby Mahendro (IBM), sebagai tersangka utama dalam dugaan pemerasan yang melibatkan aliran dana fantastis mencapai Rp69 miliar.

Dana itu berasal dari perusahaan jasa K3 (PJK3) yang ingin lolos sertifikasi dan disalurkan melalui sejumlah perantara.

“Uang tersebut digunakan untuk belanja, hiburan, pembayaran DP rumah, serta disetorkan kepada Gerry Aditya Herwanto (GAH), Hery Sutanto (HS), dan pihak lain,” ujar Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (22/8), dikutip dari Antara.

GAH menjabat Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja Kemenaker (2022–2025), sedangkan HS adalah Direktur Bina Kelembagaan Kemenaker (2021–Februari 2025).

Mereka adalah dua dari total 11 tersangka yang kini dijerat dalam kasus ini.

Masih menurut KPK, Bobby diduga menggunakan dana tersebut untuk membeli kendaraan mewah, berbelanja, dan melakukan penyertaan modal ke tiga perusahaan terafiliasi PJK3.

Sementara GAH diduga menerima aliran dana sebesar Rp3 miliar, yang sebagian digunakan untuk pembelian kendaraan dan transfer dana ke pihak ketiga.

Ketika Pelayan Rakyat Menjadi Predator.

Irvian Bobby Mahendro, sebagai pejabat aktif, seharusnya menjadi pengayom dalam proses sertifikasi yang adil dan profesional.

Namun, kewenangan yang dimilikinya justru dimanfaatkan untuk membangun jaringan rente sebuah pola pemerasan sistemik yang diduga telah tumbuh sejak era Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah (2019–2024) hingga era Menteri Yassierli (2024–kini).

Tragisnya, skandal ini juga menyeret Immanuel Ebenezer alias Noel, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, yang baru menjabat sejak 20 Oktober 2024.

Meski belum ada dakwaan resmi terhadapnya, dugaan aliran dana ke pejabat aktif kabinet mempertegas betapa dalamnya akar masalah ini tertanam.

Jaringan Rente yang Terstruktur dan Sistemik.

KPK memetakan pola korupsi ini dalam tiga tahap utama:

1. PJK3 dipaksa menyetor uang demi kelulusan sertifikasi K3.

2. Dana diterima Bobby sebagai pusat distribusi.

3. Aliran uang mengalir ke atas, termasuk ke GAH, HS, hingga dugaan menyentuh Wamenaker Noel.

Ini bukan skema acak. Ini sistem. Terstruktur, rapi, dan berkelanjutan—sebuah wajah gelap birokrasi yang secara sadar menghancurkan kepercayaan publik terhadap negara.

Bangsa Ini Dicuri dari Dalam.

Skandal ini menjadi simbol dari pengkhianatan terhadap amanah publik.

PNS aktif yang seharusnya melayani rakyat justru menjadikan jabatan sebagai ladang pribadi. Prosedur yang mestinya melindungi keselamatan kerja malah dijadikan alat tukar.

Negara sedang dicuri bukan oleh penjajah, tetapi oleh para pelayan publiknya sendiri.

KPK tidak boleh berhenti pada level teknis. Ini bukan semata soal individu korup, melainkan sistem yang membusuk.

Rantai mafia birokrasi di Kemenaker harus dibongkar hingga ke akar. Rakyat berhak tahu siapa saja yang selama ini menjual amanah dan menyalahgunakan kekuasaan.

Seruan untuk Rakyat dan Aparatur.

Bung Karno pernah berkata: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai amanah dan mengutamakan rakyat.”

Hari ini, amanah itu telah dirampok, dan rakyat hanya menjadi saksi bisu.

Kini saatnya menuntut keberanian dari aparat penegak hukum, dari pemimpin negeri, dan dari rakyat sendiri. Transparansi bukan pilihan, tetapi kewajiban. Keadilan bukan ilusi, tetapi hak.

Negara harus dijaga, bukan dicuri. Amanah harus ditegakkan, bukan diperjualbelikan. (By/Red)

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Opini

Reshuffle Segera! Rakyat Menunggu Aksi Nyata di Usia 80 RI

Published

on

JAKARTA – Di usia ke-80 Republik Indonesia, gemuruh tuntutan penyegaran kabinet mengeras. Pengamat intelijen dan politik, Paijo Parikesit, secara tegas mendesak Presiden Prabowo Subianto melakukan *reshuffle* segera.

Bukan sekadar rotasi kursi, melainkan langkah korektif menjawab stagnasi kebijakan dan ketimpangan sosial-ekonomi yang masih membelit.

Kabinet “Wajah Lama”: Hambatan Kemajuan.

Paijo menyoroti fakta pahit: kabinet masih didominasi wajah lama dengan loyalitas terbelah, termasuk pada mantan Presiden Joko Widodo. Loyalitas politik tanpa energi baru, tegasnya, hanya memperlambat akselerasi visi Prabowo.

“Jika ingin balancing, hadirkan figur meritokratis. Jangan biarkan kabinet jadi ajang bagi-bagi jabatan, “serunya.

Kritik ini bukan isapan jempol. Dalam sidang tahunan (15/8), Ketua DPR Puan Maharani pun secara terbuka menegur kinerja menteri yang dianggap tak sejalan dengan visi presiden, sambil menegaskan fungsi pengawasan DPR.

Efisiensi yang Mematikan Inovasi.

Kebijakan efisiensi anggaran di kementerian, alih-alih mendorong optimalisasi, justru menciptakan ketidaknyamanan dan kebekuan kreativitas.

Menteri, menurut Paijo, tak leluasa memaksimalkan APBN karena dibelenggu aturan rigid, meski mereka membawa mandat politik dan modal. Padahal, rakyat mustahil meminta menteri mundur.

“Reshuffle adalah instrumen presiden untuk menyelaraskan eksekutif dengan keinginan rakyat,” tegasnya.

Presiden Diminta Berani, Bukan Berhitung Koalisi.

Momen genting ini menuntut kepemimpinan berani. Paijo mengingatkan Presiden agar tak terjebak kalkulasi politik koalisi.

Stagnasi kebijakan dan kegaduhan internal kabinet butuh penyelesaian konkret, bukan kompromi. Rakyat, di usia 80 RI, tak butuh retorika. Mereka menuntut aksi nyata: harga terjangkau, pendidikan merata, hukum adil, dan lapangan kerja luas.

Reshuffle: Hadiah Ulang Tahun untuk Rakyat.

Dukungan DPR yang disampaikan Puan Maharani menjadi sinyal kuat: parlemen siap mendorong penyegaran kabinet.

Momentum HUT ke-80 RI harus jadi titik balik. Presiden Prabowo perlu memilih: mempertahankan status quo yang mandek, atau melakukan terobosan dengan membentuk kabinet baru yang segar, kompeten, dan fokus pada kerja nyata.

Reshuffle bukan sekadar ganti menteri. Ia adalah ujian komitmen presiden pada cita-cita reformasi dan kesejahteraan rakyat. Jika rakyat terus menunggu tanpa bukti, api ketidakpuasan hanya akan membesar.

Saatnya buktikan: usia 80 RI bukan sekadar angka, melainkan tonggak kebangkitan baru. Segera reshuffle, jangan tunda! 

Oleh: Paijo Parikesit, Pengamat Politik dan Intelejen.

Catatan Redaksi; Opini ini didasarkan pada pernyataan pengamat politik Paijo Parikesit dan pidato Ketua DPR Puan Maharani dalam Sidang Tahunan MPR RI pada (15/8), (Don/Red)

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Opini

MERDEKA! 80 Tahun Indonesia Merdeka, Bagaimana dengan Kemerdekaan Pers Kita?

Published

on

JAKARTA, Delapan puluh tahun merdeka, Indonesia bukan hanya bebas dari penjajahan, tetapi juga ditantang menjaga kemerdekaan yang tak kalah penting, kemerdekaan pers. Sebab tanpa pers yang merdeka, suara rakyat bisa kembali terbungkam.

Hari ini, 17 Agustus 2025, bangsa Indonesia memperingati 80 tahun kemerdekaan. Sebuah usia matang yang mestinya menandai kedewasaan dalam berdemokrasi, termasuk dalam hal kebebasan pers. Sebab, kemerdekaan pers adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kemerdekaan bangsa itu sendiri.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemerdekaan pers di Indonesia masih jauh dari ideal

Pertama, masih banyak aparat penegak hukum (APH) yang tidak konsisten menggunakan *UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers* ketika berhadapan dengan kasus pemberitaan. Sebaliknya, wartawan kerap dijerat dengan pasal-pasal pidana di luar UU Pers. Ini jelas bertentangan dengan semangat reformasi yang telah menghapus praktik pemberangusan pers.

Kedua, kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi. Penganiayaan, teror, hingga tekanan psikologis dialami wartawan hanya karena menjalankan tugas jurnalistik.

Fenomena ini menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap insan pers yang sejatinya bekerja untuk kepentingan publik.

Ketiga, persoalan kesejahteraan wartawan juga menjadi ironi besar. Tidak sedikit jurnalis yang tidak menerima haknya, termasuk gaji layak dari perusahaan pers.

Situasi ini rentan mendorong wartawan untuk melanggar kode etik hanya demi bertahan hidup. Jika hal ini dibiarkan, maka kemerdekaan pers hanya akan menjadi slogan, tanpa substansi.

Keempat, munculnya dominasi media sosial semakin menekan ruang gerak media profesional. Banyak pejabat dan lembaga pemerintah lebih memilih menyebarkan informasi lewat platform media sosial pribadi ketimbang media massa berbadan hukum yang jelas.

Akibatnya, media resmi tidak mendapatkan dukungan publikasi yang semestinya. Hal serupa juga dilakukan oleh lembaga swasta yang lebih suka menaruh iklan di media sosial, membuat pendapatan perusahaan pers kian menurun drastis.

Semua kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah pers kita benar-benar merdeka?

Kemerdekaan sejati bukan hanya soal bebas dari sensor, melainkan bagaimana jurnalis bisa bekerja tanpa takut ditekan, diintimidasi, atau diperlakukan sewenang-wenang.

Kemerdekaan sejati adalah ketika wartawan dihargai, dilindungi, dan diberi ruang untuk mengabdi pada kebenaran.

Di usia ke-80 tahun Indonesia merdeka, kita tidak hanya merayakan hasil perjuangan para pahlawan, tetapi juga harus meneguhkan kembali tekad untuk menjaga kemerdekaan pers.

Sebab tanpa pers yang merdeka, demokrasi akan pincang, rakyat akan kehilangan hak untuk tahu, dan bangsa ini akan kehilangan salah satu pilar penopangnya.

Maka, momentum HUT RI ke-80 ini harus menjadi alarm bersama: kemerdekaan pers bukanlah hadiah, melainkan amanah yang wajib ditegakkan, dijaga, dan diperjuangkan.

Merdeka……! Untuk Indonesia. Merdeka……! Untuk pers Indonesia

Oleh: Mahmud Marhaba Ketum DPP PJS

Continue Reading

Trending