Redaksi
Pekerjaan JUT di Tulungagung Seperti Sisik Ular, Pokir Disorot: Ini Tanggapan Inspektorat

TULUNGAGUNG— Sebuah proyek Jalan Usaha Tani (JUT) di Desa Sobontoro, Kecamatan Boyolangu, menjadi buah bibir setelah menunjukkan kerusakan parah hanya hitungan bulan setelah pembangunannya rampung.
Nilai proyek yang mencapai Rp 200 juta dari Anggaran Bantuan Keuangan Kabupaten (BKK) Tulungagung tahun 2025 ini kini dipersoalkan warga karena kualitasnya yang dianggap “amburadul”.
Di lapangan, kondisi jalan memprihatinkan. Sejumlah titik tampak retak, patah, dan tidak rata. Kualitas pekerjaan yang jauh dari memadai ini memantik kecurigaan adanya kelalaian hingga penyimpangan dalam pelaksanaan proyek.
“Baru beberapa bulan selesai, sudah hancur. Padahal anggarannya besar,” ujar seorang warga yang memilih untuk tidak disebutkan namanya, menyiratkan kekecewaan.
Menanggapi keresahan ini, Plt. Kepala Inspektorat Kabupaten Tulungagung, Esty Purwantik, SH., MH., menyatakan kesediaannya untuk menindaklanjuti jika ada laporan resmi dari masyarakat.
Namun, ia menegaskan bahwa audit menyeluruh baru akan dilakukan setelah seluruh pekerjaan proyek tahun berjalan tersebut dinyatakan rampung.
“Kami membuka ruang aduan dari masyarakat. Silahkan menyampaikan aduan secara resmi kepada kami, kami akan lakukan klarifikasi terlebih dahulu sesuai prosedur penanganan sebelum dilakukan audit,” jelas Esty kepada 90detik.com, Selasa (11/11).
“Karena kegiatan di tahun berjalan, kami akan melakukan audit setelah semua pekerjaan selesai. Namun jika ada aduan, kami tetap menindaklanjuti dengan klarifikasi terlebih dahulu,” tegasnya.
Sikap ‘tunggu dan lihat’ dari aparat pengawas ini langsung menuai respons.
Ketua LSM Garda Masyarakat Peduli Negeri, Wahyu, menyatakan akan segera melayangkan laporan resmi. Ia mendesak inspektorat untuk tidak berleha-leha.
“Pekerjaan amburadul seperti sisik ular. Ini harus diusut. Jangan sampai proyek dengan nilai ratusan juta hanya jadi ajang pemborosan. Uang rakyat harus dipertanggungjawabkan,” ungkapnya.
Publik kini menunggu langkah konkret dan transparansi dari inspektorat. Kerusakan dini pada JUT Sobontoro ini menjadi ujian bagi komitmen pemerintah dalam mengawal akuntabilitas dan kualitas setiap rupiah uang rakyat yang dikeluarkan. (DON/Red)
Editor: Joko Prasetyo
Redaksi
Antara Luka dan Keiklasan, Prabowo Tetapkan Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional

Jakarta— Pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2025, sejarah Indonesia kembali bergemuruh. Presiden Prabowo Subianto secara resmi menetapkan Jenderal Besar TNI (Purn.) H.M. Soeharto yang akrab disapa Pak Harto sebagai salah satu dari sepuluh tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional.
Keputusan ini menimbulkan gelombang pro dan kontra. Di tengah suara para aktivis yang menolak, negara mengambil langkah berani.
Bagi saya, keputusan ini ibarat palu yang mengetuk memori kolektif bangsa dan juga mengetuk dada masa kecil saya, ketika digendong ayah sambil mendengar kisah heroik penyelamatan Pancasila tahun 1965.
Ayah saya, seorang pimpinan Ansor NU, terlibat langsung dalam penumpasan gerakan komunis kala itu.
Kini, di usia yang telah melewati delapan puluh tahun, ia masih menyimpan kebanggaan atas kisah itu.
Saya teringat dawuh Gus Dur: “Orang yang paling ikhlas di Indonesia itu Prabowo.”
Barangkali benar, hanya seseorang yang pernah disingkirkan dari lingkar kekuasaan Pak Harto dipecat dari TNI oleh tangan Pak Wiranto dan para jenderal lainnya yang sanggup mengusulkan sang mertua untuk menerima gelar pahlawan.
Keikhlasan itu bukan basa-basi, ia adalah kebeningan yang menutup perdebatan dengan satu keputusan berani. Pak Harto adalah pahlawan.
Ayah saya, saksi sejarah penyelamatan ideologi bangsa, selalu memandang Soeharto sebagai penyelamat Pancasila.
Maka, ketika gelar pahlawan itu disematkan, saya tidak hanya melihat politik saya melihat kenangan, gendongan ayah, dan kisah masa lalu tentang kekejaman komunis.
Di balik kontroversi, jejak pembangunan Pak Harto tak dapat dihapus.
Ia membangun puskesmas di pelosok, mendirikan SD Inpres untuk pemerataan pendidikan dasar, dan memperluas irigasi demi ketahanan pangan nasional.
Tiga pilar ini kesehatan, pendidikan, dan pangan menjadi fondasi pembangunan Orde Baru yang masih dikenang hingga kini.
Banyak desa yang dulu terisolasi kini mengenal jalan, sekolah, dan layanan kesehatan. Itulah alasan kedua saya mendukung gelar pahlawan bagi Pak Harto.
Namun, sejarah Soeharto bukan tanpa noda. Ia memerintah dengan gaya otoriter, membungkam oposisi, dan memusatkan kekuasaan. Para guru saya aktivis partai berlambang Ka’bah merasakan tekanan politik yang nyata.
Desa-desa yang memenangkan partai itu tak mendapat listrik, jalan dibiarkan rusak, dan pembangunan ditahan.
NU, organisasi yang saya anut, juga dipinggirkan dari akses kekuasaan.
Banyak kadernya yang menjadi korban politik Orde Baru, bahkan mendekam di penjara. Kejahatan Pak Harto nyata adanya, walau di balik senyumnya yang lembut, tersimpan kebengisan bagi lawan politik. Itulah wajah Orde Baru.
Saya pun tak bisa melupakan tragedi Tanjung Priok, Talangsari, dan kasus orang hilang.
Luka itu masih hidup di hati bangsa ini. Maka, ketika gelar pahlawan disematkan, saya pun masih menyimpan keberatan.
Sejarah tak bisa disapu bersih dengan satu keputusan. Namun, pada 10 November 2025, saya belajar menerima walau dengan berat hati.
Justru karena luka itu, keputusan Presiden Prabowo menjadi lebih bermakna. Ia bukan sekadar memberi gelar, tapi mengajarkan bangsa tentang keikhlasan, rekonsiliasi, dan ketulusan menatap masa lalu.
Prabowo menutup perdebatan dengan keberanian yang lahir dari luka pribadi.
Pak Harto adalah sosok kompleks: ia membangun tapi juga membungkam; ia menyelamatkan ideologi namun juga menimbulkan luka.
Gelar pahlawan ini bukan bentuk penghapusan dosa sejarah, melainkan pengakuan bahwa sejarah Indonesia tidak pernah hitam-putih.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menatap masa lalunya dengan jujur.
Kita tidak menutupi luka, tapi juga tidak menolak jasa. Kita tidak menghapus air mata, tapi juga tidak menutup mata terhadap pembangunan.
Pak Harto kini menjadi pahlawan melalui menantu yang pernah dibuang. Dan bangsa ini belajar bahwa keikhlasan bisa menjadi jembatan antara luka dan harapan.
Semoga bangsa ini senantiasa menghargai jasa para pahlawan. (DON/Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Penasehat Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Jawa Timur.
Redaksi
Hari Pahlawan, Prabowo: Negara Tak Akan Besar Tanpa Menghormati Jasa Para Pahlawan

Jakarta — Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 2025, Presiden Prabowo Subianto secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh yang dinilai memiliki jasa luar biasa bagi bangsa dan negara Indonesia.
Upacara penganugerahan berlangsung di Istana Negara, Jakarta, pada Senin (10/11/2025), dihadiri oleh para pejabat tinggi negara, keluarga ahli waris, serta perwakilan masyarakat dari berbagai daerah.
Kesepuluh tokoh penerima gelar datang dari beragam latar belakang—mulai dari mantan presiden, tokoh militer, ulama, akademisi, hingga aktivis buruh yang mencerminkan luasnya spektrum perjuangan bangsa Indonesia dalam menegakkan kemerdekaan dan keadilan sosial.
Berikut daftar penerima Gelar Pahlawan Nasional 2025:
1. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – Jawa Timur
2. Jenderal Besar TNI Soeharto – Jawa Tengah
3. Marsinah – Jawa Timur
4. Mochtar Kusumaatmadja – Jawa Barat
5. Hajjah Rahmah El Yunusiyyah – Sumatera Barat
6. Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo – Jawa Tengah
7. Sultan Muhammad Salahuddin – Nusa Tenggara Barat
8. Syaikhona Muhammad Kholil – Jawa Timur
9. Tuan Rondahaim Saragih – Sumatera Utara
10. Zainal Abidin Syah – Maluku Utara
Dalam sambutannya, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa penganugerahan ini merupakan bentuk penghormatan negara atas jasa, keteladanan, dan pengorbanan para tokoh tersebut.
“Negara tidak akan besar tanpa menghormati jasa para pahlawannya. Mereka adalah teladan bagi generasi penerus dalam menjaga keutuhan, martabat, dan kemajuan bangsa,” ujar Presiden Prabowo di Istana Negara.
Penetapan nama-nama tersebut mendapat beragam tanggapan dari masyarakat dan kalangan pengamat.
Aktivis anti-korupsi Fredi Moses Ulemlem menilai keputusan Presiden Prabowo mencerminkan semangat rekonsiliasi dan kedewasaan sejarah bangsa.
“Pemberian gelar kepada tokoh-tokoh dari latar belakang berbeda dari Gus Dur hingga Marsinah menunjukkan bahwa bangsa ini siap berdamai dengan sejarahnya. Ini bukan sekadar penghargaan simbolik, tetapi pesan moral untuk meneguhkan nilai keadilan sosial,” ujar Fredi Moses di Jakarta.
Sementara itu, pengamat sosial Hilal Projonoto menyebut momen ini sejalan dengan cita-cita besar pemerintah dalam mewujudkan Asta Cita Prabowo–Gibran, khususnya pada poin penguatan karakter bangsa dan penghormatan terhadap nilai-nilai perjuangan.
“Pengakuan negara terhadap perjuangan rakyat kecil seperti Marsinah adalah langkah penting. Ia mengingatkan kita bahwa pahlawan tidak hanya mereka yang memegang senjata, tetapi juga mereka yang memperjuangkan martabat buruh dan keadilan sosial,” kata Hilal.
Di media sosial, banyak warganet menyambut positif langkah ini. Keputusan pemerintah memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh lintas ideologi dan profesi dinilai sebagai bentuk kematangan bangsa dalam menghargai sejarah, sekaligus pengingat bahwa semangat perjuangan Nusantara tak pernah padam. (By/Red)
Redaksi
Santri Al Azhaar Kedungwaru Peringati Hari Pahlawan dengan Tekad Lawan Korupsi

TULUNGAGUNG— Pagi itu, Senin 10 November 2025, langit Kedungwaru menaungi barisan santri yang berdiri tegak di lapangan Pesantren Al Azhaar.
Dengan seragam rapi dan pandangan mantap, mereka bukan sekadar pelajar yang menuntut ilmu agama dan umum, tetapi juga generasi penerus yang sedang menyerap semangat kepahlawanan dari masa silam semangat 10 November 1945 yang terus bergema hingga hari ini.
Di ruang-ruang taklim, para santri tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga merenungi makna sejati kepahlawanan.
Mereka meneladani para pejuang dan nabi pahlawan kehidupan sejati yang diutus untuk membebaskan umat manusia dari kegelapan, menentang kezaliman, dan menegakkan kebenaran.
Meneladani Semangat Pahlawan di Era Digital.
Arus digital kini mengubah wajah dunia. Informasi melesat cepat, batas geografis memudar, dan generasi muda berdiri di persimpangan antara kemajuan dan kehampaan.
Namun, di setiap zaman, selalu muncul sosok-sosok lentera pahlawan yang tak butuh gelar, melainkan ketulusan dan keberanian untuk menjaga nilai luhur bangsa.
Dalam momentum Hari Pahlawan, pesantren menegaskan lima nilai utama yang perlu ditanamkan dalam diri santri dan generasi muda:
1. Ikhlas Membela Tanah Air dari Serangan Global.
Di era modern, ancaman terhadap bangsa tidak selalu berbentuk senjata. Infiltrasi budaya dan degradasi moral menjadi tantangan baru. Guru, aktivis, penulis, dan pendidik yang membentengi generasi dari pengaruh negatif merupakan pahlawan masa kini pejuang yang lahir dari cinta dan keikhlasan.
2. Rela Berkorban Demi Kebenaran.
Pahlawan sejati tidak menghitung untung rugi. Mereka berani berdiri di tengah tekanan, menyuarakan keadilan, dan menolak menjadi bagian dari sistem yang korup. Mereka adalah penjaga nurani bangsa.
3. Mengutamakan Kepentingan Orang Banyak.
Di tengah budaya individualisme, pahlawan zaman digital hadir sebagai penyeimbang. Mereka bekerja untuk kemaslahatan umat, membangun komunitas, dan menggerakkan perubahan sosial.
4. Semangat Tinggi, Pantang Mundur.
Perubahan tidak lahir dari keluhan, tetapi dari perjuangan. Pahlawan sejati gigih dan tak mudah menyerah, yakin bahwa setiap tetes keringat adalah investasi bagi masa depan bangsa.
5. Hubbul Wathon Minal Iman (Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman).
Cinta tanah air menjadi bagian dari ajaran Islam. Santri diajak menjaga kedaulatan budaya, ekonomi, dan spiritual bangsa dari pengaruh luar yang merusak.
Jihad Zaman Ini: Katakan Tidak pada Korupsi.
Dalam kehidupan modern, bangsa ini masih membutuhkan pahlawan bukan yang mengangkat senjata, tetapi yang berani berkata tidak pada korupsi. Korupsi bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi penyakit yang merusak moral dan kepercayaan publik.
“Santri harus berani menjadi bagian dari solusi. Menolak korupsi adalah jihad di masa kini jihad tanpa darah, tetapi penuh keberanian dan kejujuran,” pesan yang mengemuka dalam upacara peringatan Hari Pahlawan di Pesantren Al Azhaar Kedungwaru.
Pesantren Sebagai Benteng Moral Bangsa.
Pesantren bukan sekadar tempat menimba ilmu, tetapi benteng moral bangsa. Dari ruang taklim dan barisan santri, semangat 10 November kembali hidup melahirkan pahlawan-pahlawan baru yang menulis sejarah dengan integritas.
Mereka mungkin tak tercatat di buku sejarah, namun mereka menorehkan masa depan bangsa lewat keteladanan dan komitmen untuk hidup bersih.
Dan pagi ini, di Pesantren Al Azhaar Kedungwaru, sejarah itu kembali ditulis dengan doa, semangat, dan tekad: menjadi generasi berkah yang berkata tidak pada korupsi, demi Indonesia yang lebih terang. (DON/Red)
Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Jawa Timur.
Nasional1 minggu agoProyek JUT Sobontoro Amburadul: Diduga Pokir Wakil Bupati, GMPN Desak Audit dan Penyelidikan
Redaksi2 minggu agoProyek APBD Rp 3,9 Miliar di Tulungagung Ditinggal Kabur, Warga: Ini Bukan Pembangunan, Tapi Bencana
Nasional2 hari agoWarga Desa di Blitar Swadaya Tambal Jalan Rusak Parah, Minta Perhatian Pemkab
Nasional3 minggu agoSurat ‘Pinjam Pakai’ Jalan Menguap, Warga Tagih Janji PT. IMIT
Redaksi2 minggu agoDua Mahasiswi Tewas Tertabrak Bus Harapan Jaya di Tulungagung, Satu Korban Luka Berat
Jawa Timur3 hari agoKoperasi Kelurahan Merah Putih Khawatir Mafia Pangan Kuasai Program MBG di Blitar
Redaksi1 minggu agoGenting Usang di Proyek Rehab Sekolah Rp 362 Juta, Keselamatan Siswa Dipertaruhkan
Redaksi2 minggu agoLaju Ganas Bus Harapan Jaya Renggut Nyawa Pemotor di Tulungagung












