Connect with us

Opini

UMKM, Hukum, dan Emosi Publik: Menimbang Rasionalitas di Era Banjir Informasi

Published

on

Banjar, — Kasus yang menimpa UMKM “Mama Khas Banjar” baru-baru ini mengundang perhatian publik yang luas. Di tengah ramainya media sosial dan arus informasi yang tidak terbendung, muncul polemik besar: benarkah hukum terlalu keras terhadap pelaku usaha kecil, atau justru publik terlalu terbawa arus emosi?

Dalam dunia komunikasi, setiap pesan memiliki dua pendekatan utama: emosional dan rasional. Pendekatan emosional sering digunakan untuk menyentuh sisi perasaan pembaca atau penonton, seperti rasa sedih, empati, atau keprihatinan. Ini merupakan strategi yang efektif dalam menarik perhatian publik, namun juga menyimpan risiko ketika digunakan tanpa mengindahkan kebenaran atau konteks informasi.

Kasus “Mama Khas Banjar” menjadi contoh nyata bagaimana informasi yang dikemas secara emosional dapat membelokkan pemahaman masyarakat. Banyak yang melihat UMKM sebagai usaha yang perlu dibina dan dibantu, bukan diseret ke ranah hukum. Persepsi ini terbentuk karena adanya narasi yang mengedepankan kesedihan dan ketimpangan: usaha kecil menghadapi tindakan hukum, sementara perusahaan besar dianggap “aman” dari sorotan.

Namun, kita adalah bangsa yang hidup dalam negara hukum. Setiap usaha, kecil maupun besar, wajib mematuhi aturan yang berlaku. Bila ditemukan pelanggaran berdasarkan aduan masyarakat, maka aparat penegak hukum memiliki kewajiban untuk bertindak—tentu saja berdasarkan data, bukti, dan proses hukum yang adil.

Polda Kalimantan Selatan, yang menangani kasus ini, berpijak pada prinsip rasionalitas hukum. Tidak serta-merta mengambil tindakan tanpa penyelidikan dan pengumpulan bukti. Namun di sisi lain, media sosial dan opini publik sudah lebih dahulu membentuk narasi “kriminalisasi UMKM”. Narasi yang membangkitkan empati publik, namun tidak selalu berpijak pada fakta utuh.

Inilah bahaya informasi yang setengah matang—yang diframing, bahkan yang ditunggangi kepentingan tertentu. Informasi semacam ini bukan hanya mengaburkan fakta, tapi juga mengganggu proses hukum yang seharusnya berjalan netral dan objektif. Lebih jauh lagi, hal ini mendorong publik untuk mengedepankan emosi ketimbang rasionalitas.

Penting untuk disadari bahwa persoalan ini bukan hanya tentang UMKM atau hukum. Ini juga tentang cara kita, sebagai masyarakat digital, menyerap dan memproses informasi. Dalam kasus “Mama Khas Banjar”, banyak yang langsung menyimpulkan terjadi ketidakadilan tanpa mengetahui akar masalah sesungguhnya. Padahal, jika benar ada pelanggaran, maka pembinaan, penertiban, hingga sanksi adalah bagian dari tanggung jawab bersama demi ketertiban usaha.

Banjir informasi di era digital menuntut publik untuk cermat. Tidak semua yang menyentuh hati bisa dijadikan patokan kebenaran. Emosi adalah bagian dari kemanusiaan, tetapi rasionalitas adalah penyeimbang yang menjaga keadilan.

Kasus ini menjadi pelajaran penting: bahwa kecepatan menyebarkan informasi harus diimbangi dengan kedalaman berpikir. Jangan sampai rasa iba yang belum tentu berdasar justru mengaburkan proses hukum dan menimbulkan polemik yang tidak perlu.

Masyarakat diimbau untuk menimbang setiap informasi dengan kepala dingin. Mengedepankan rasionalitas bukan berarti kehilangan empati, tetapi justru menjadi bentuk kedewasaan dalam menyikapi dinamika sosial yang semakin kompleks.

(Tim/Red)

Opini

Janji Manis Berujung Petaka: Tulungagung Terbelah Akibat Pengkhianatan Bupati ‘Loncat Pagar’

Published

on

TULUNGAGUNG,- Sujanarko, seorang pengamat politik, memberikan kritik tajam terkait kondisi pemerintahan di Tulungagung yang dinilai tidak baik-baik saja.

Ia menyoroti adanya berbagai gejala yang menunjukkan keretakan antara pemimpin daerah, terutama terkait dengan proses rekrutmen pejabat daerah yang tidak melibatkan Wakil Bupati (Wabup) Tulungagung, Ahmad Baharudin, serta ketidakhadirannya dalam rapat paripurna DPRD.

Sujanarko mengungkapkan bahwa keretakan ini sudah diprediksi oleh banyak orang, mengingat kandidat bupati yang terpilih bukanlah calon yang disodorkan oleh partai, melainkan seorang mantan kader PDIP yang ‘loncat pagar’ setelah kalah dalam pemilihan melawan calon bupati incumbent, Maryoto Birowo.

“Dengan pola seperti ini, bisa dipastikan bahwa Gerindra, sebagai partai besar di Tulungagung, seharusnya bisa mencalonkan kader sendiri sebagai calon bupati. Pencalonan mantan bacalon bupati PDIP pasti didasari komitmen besar kepada Gerindra, baik dalam hal pendanaan maupun peran Wabup sebagai kader Gerindra sehingga diterima sebagai calon resmi Gerindra,” ujarnya.

Sujanarko mencatat beberapa alasan yang menyebabkan keretakan ini, antara lain:

1. Komitmen yang Tidak Dipenuhi: Janji saat pencalonan yang tidak dilaksanakan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pengurus partai.

2. Gestur Bupati yang Menyudutkan Wabup: Tindakan bupati yang terlihat sengaja menjauh dari Wabup, seperti memberikan tugas-tugas penting kepada pejabat lain, menunjukkan adanya ketegangan dalam hubungan mereka.

3. Minimnya Ethical Leadership: Kebijakan yang tidak didasari oleh kewajiban untuk memenuhi janji dan menghargai rekan kerja, serta pengambilan keputusan yang terpusat pada bupati, berpotensi menimbulkan masalah baru.

4. Pertemuan Bupati dengan DPP Gerindra: Seringnya bupati bertemu dengan DPP Gerindra tanpa koordinasi dengan Ketua DPC Gerindra dapat meningkatkan perselisihan politik di daerah dan mendorong pengurus yang pragmatis untuk berpihak kepada pihak yang menjanjikan kesejahteraan.

5. Pertarungan Politik yang Semakin Sengit: Pertarungan ini diprediksi akan semakin sulit diredakan di tahun-tahun mendatang, terutama terkait dengan nilai-nilai politik Gerindra dan janji-janji yang belum direalisasikan.

Sujanarko menekankan pentingnya solusi untuk masalah krusial ini.

“Jawabannya sederhana, tinggal duduk bersama antara bupati dan wakil bupati untuk membicarakan apa yang pernah dijanjikan saat mereka berdua setuju untuk menjadi calon. Uraikan satu per satu janji yang belum dipenuhi dan penuhi komitmen itu untuk dilaksanakan bersama,” tegasnya.

Dirinya juga menyarankan agar kebijakan satu pintu diganti dengan kebijakan satu atap, serta pentingnya komunikasi yang baik antara bupati dan wabup untuk membangun soliditas.

“Jangan perluas pertarungan ke dalam partai Gerindra. Akan lebih baik jika setelah bupati mendapatkan jabatannya, ia kembali ke pangkuan PDIP,” pungkas Sujanarko. (Abd/DON)

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Opini

Profesionalisme Media dan Wartawan Wajib Menjunjung KEJ

Published

on

Oleh: Yusufil Hamdani SH., MH, (Kuasa Hukum Kospin Serba Mulia)

JAKARTA, – Sebagai Advokat, saat ini saya sedang menangani perkara di salah satu lembaga keuangan berbasis koperasi, yakni Koperasi Simpan Pinjam (Kospin) Serba Mulia.

Dalam menangani perkara ini, klien saya sangat terbuka terhadap kritik dan masukan dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan media, sepanjang kritik tersebut membangun, berimbang, dan sesuai dengan kaidah jurnalistik yang berlaku.

Di era digital saat ini, media online tumbuh pesat dan nyaris mendominasi ruang informasi di Tanah Air. Namun, kemajuan ini juga harus diiringi dengan peningkatan profesionalisme.

Media dan wartawan yang beroperasi di ruang publik wajib memahami bahwa mereka memikul tanggung jawab besar dalam menyampaikan informasi yang benar, akurat, dan tidak menyesatkan.

Oleh karena itu, kompetensi wartawan dan kredibilitas perusahaan pers menjadi pilar utama dalam menjaga marwah pers nasional.

Salah satu prinsip penting dalam dunia jurnalistik adalah Ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ). KEJ mengatur bahwa wartawan wajib menyampaikan informasi secara berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta wajib melakukan verifikasi terhadap informasi dan narasumber.

Sayangnya, klien saya mengalami langsung contoh buruk dari praktik jurnalistik yang tidak memenuhi standar tersebut.

Beberapa media di Jawa Timur memberitakan kasus yang melibatkan salah satu nasabah Kospin secara sepihak, tanpa melakukan konfirmasi atau wawancara dengan klien saya sebagai pimpinan koperasi yang sangat berkompeten dalam memberikan keterangan.

Hasilnya, berita menjadi tidak berimbang dan cenderung menghakimi, bukan mengedukasi.

Untuk meluruskan, izinkan saya menjelaskan duduk perkara yang saya sedang tangani.

Kospin Serba Mulia adalah koperasi yang telah berbadan hukum dan memiliki izin resmi dari Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Koperasi dan UKM RI.

Salah satu nasabah kami, Sdr. Praditya Ardinugroho, telah menerima dua fasilitas pinjaman dari koperasi kami setelah memenuhi syarat administrasi, termasuk penandatanganan dokumen perjanjian kredit serta jaminan berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Dr. Emy Susanti, yang disetujui pula oleh Drs. Win Hendarso.

Pinjaman tersebut seharusnya dilunasi pada Mei 2020. Namun hingga waktu yang ditentukan, Sdr. Praditya hanya membayar bunga tanpa mengangsur pokok pinjaman.

Meski klien saya telah melayangkan tiga kali surat peringatan, tidak ada tanggapan konkret dari yang bersangkutan. Bahkan, lima lembar cek yang sempat diberikan pun ditolak bank karena dana tidak mencukupi.

Kami sempat menawarkan solusi berupa pelelangan objek jaminan, namun ditolak. Sebagai jalan tengah, objek jaminan tersebut kemudian ditawarkan kepada anggota koperasi lain dan disepakati untuk dijual.

Meski diberikan waktu untuk menebus kembali properti tersebut hingga Oktober 2024, Sdr. Praditya tidak mampu melakukannya. Maka, kepemilikan objek jaminan tersebut telah sah beralih kepada pembeli, dan dananya digunakan untuk melunasi kewajiban pinjaman.

Sayangnya, beberapa media tersebut tidak menulis berita dengan lengkap dan terkesan sepihak. Ini menimbulkan persepsi yang keliru terhadap sebuah kasus yang seolah-olah menyalahkan klein saya. Ini jauh dari harapan sebagai media yang profesional.

Sebagai Advokat, saya memahami hak setiap warga negara untuk menempuh jalur hukum, dan klien kami siap menghadapi proses hukum yang kini sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya.

Kami percaya bahwa jalur hukum adalah mekanisme terbaik untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum, baik dalam perkara perdata maupun pidana.

Dari pengalaman ini, sebagai Advokat saya mengingatkan kembali kepada seluruh insan pers, baik media maupun wartawan, untuk kembali ke marwah jurnalistik yang sesungguhnya.

Gunakanlah Kode Etik Jurnalistik sebagai pedoman utama dalam bekerja. Hindari pemberitaan yang tendensius, menghakimi, dan tanpa verifikasi, karena hal ini bukan saja merugikan narasumber, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap media.

Media memiliki kekuatan besar untuk mencerdaskan bangsa, dan wartawan adalah ujung tombaknya. Maka, mari bersama-sama menjaga integritas profesi ini dengan menjunjung tinggi prinsip etika, profesionalisme, dan tanggung jawab sosial.

Dengan demikian, kemerdekaan pers yang telah kita raih dan nikmati hingga saat ini bisa terus kita jaga dan rawat secara bermartabat.(*)

Continue Reading

Opini

Menjaga Marwah Jurnalisme: Wartawan Tak Bisa Rangkap Jabatan, Apalagi ASN

Published

on

Foto, Mahmud Marhaba, Ketum DPP PJS dan Ahli Pers Dewan Pers, (dok/ist)

JAKARTA, – Profesi wartawan bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah panggilan etika, penjaga informasi publik, dan penyambung nalar demokrasi. Wartawan dituntut untuk independen, kritis, dan berdedikasi penuh terhadap tugas-tugas jurnalistik yang mereka emban.

Oleh karena itu, menjadi wartawan tidak bisa dilakukan setengah hati, apalagi disambi dengan jabatan struktural lain, seperti ASN, pengurus LSM, bahkan profesi hukum sekalipun.

Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh laporan sebuah media daring yang membongkar praktik jual beli kartu identitas wartawan kepada Aparatur Sipil Negarai (ASN) dengan tarif antara Rp400.000 hingga Rp500.000.

Praktik ini tidak hanya memalukan, tapi mencoreng wajah jurnalisme profesional di Indonesia. Wartawan sejati tidak bisa dibentuk dalam ruang transaksional yang bertabrakan dengan integritas dan kode etik.

Sebagai Ahli Pers Dewan Pers, saya menyesalkan tindakan media yang memberikan atau memperjualbelikan kartu wartawan kepada pihak yang tidak memenuhi syarat, khususnya ASN.

Dewan Pers wajib memanggil pemimpin redaksi media tersebut untuk klarifikasi dan, bila terbukti, menjatuhkan sanksi tegas sesuai dengan aturan yang berlaku.

Wartawan dan Pers Tak Bisa Dijalankan Sambil Lalu

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik yang mencakup: mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi atau sering kita kenal sebagai (6M).

Aktivitas ini memerlukan dedikasi penuh waktu, kemampuan profesional, dan pemahaman kode etik jurnalistik yang dalam.

Dengan 6M tersebut, wartawan tidak hanya menulis berita. Ia harus terjun ke lapangan, melekukkan verifikasi data, mewawancarai narasumber, menjaga keseimbangan informasi, dan mempublikasikan secara bertanggung jawab.

Maka, bagaimana mungkin seorang ASN yang memiliki kewajiban penuh terhadap negara dapat menjalankan tugas jurnalistik secara profesional dan independen?

Menolak Konflik Kepentingan, Menjaga Independensi

Mengapa ASN, TNI/Polri, pengacara, dan pengurus LSM tidak memperkenankan menjadi wartawan aktif? Jawabannya jelas, konflik kepentingan.

Wartawan adalah mata dan telinga publik. Ia harus berdiri netral, tidak memihak, dan bebas dari tekanan institusional. Seorang ASN tentu terikat pada struktur birokrasi yang bisa mengaburkan objektivitasnya sebagai jurnalis.

Bila seorang penjabat negara juga menyandang identitas wartawan, bagaimana ia dapat melakukan kritik terhadap sistem yang menghidupkannya?

Dalam Pedoman Organisasi Pers dan kebijakan Dewan Pers, larangan rangkap jabatan ini merupakan bentuk perlindungan terhadap independensi pers.

Dewan Pers sendiri secara tegas dalam berbagai forum menyatakan bahwa wartawan harus fokus dan bebas dari benturan kepentingan apa pun. Tidak ada ruang abu-abu dalam dunia jurnalisme.

Panggilan kepada Dewan Pers dan Aparat Penegak Hukum

Praktik jual beli kartu wartawan tidak hanya merugikan citra profesi, tapi bisa digunakan untuk kepentingan manipulatif seperti pemerasan, intervensi kebijakan, hingga pelanggaran etik di instansi pemerintah. Ini adalah alarm serius.

Dewan Pers harus mengambil langkah cepat, tegas, dan menyeluruh terhadap media-media yang dengan sengaja melanggar prinsip dasar profesi jurnalistik. Selain itu, aparat penegak hukum juga harus memahami peran strategis pers.

Mereka wajib membedakan antara wartawan profesional yang bekerja berdasarkan kode etik dan oknum yang menyalahgunakan atribut wartawan untuk kepentingan pribadi.

Menjaga Marwah Pers, Menjaga Masa Depan Demokrasi

Jika profesi wartawan terus dibiarkan dirusak oleh oknum yang tidak kompeten dan tidak memahami etika, maka kita sendang membiarkan jurnalisme terjerumus menjadi alat pencitraan dan kepentingan kelompok.

Ini bukan saja mengancam integritas media, tapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap peran pers sebagai pilar keempat demokrasi.

Sebagai insan pers, sebagai pemimpin organisasi, dan sebagai Ahli Pers Dewan Pers.

Saya menyerukan kepada seluruh pemangku kepentingan, baik media, lembaga pemerintah, ASN, dan organisasi masyarakat sipil, untuk menjaga martabat profesi wartawan.

Profesi ini bukan milik semua orang. Ia adalah milik mereka yang siap menegakkan kebenaran, menjunjung etika, dan berdedikasi penuh kepada kepentingan publik.

Oleh: Mahmud Marhaba (Ahli Pers Dewan Pers, Ketua Umum DPP Pro Jurnalismedia Siber – PJS)

Continue Reading

Trending