Connect with us

Opini

Berkhidmad Berpahala Haji

Published

on

Malang– Penulis terlibat sebagai penyelenggara Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji Profesional yang berlangsung di Malang, Jawa Timur.

Kegiatan ini dihadiri oleh para narasumber yang sangat profesional, yang menekankan pentingnya menjadi pembimbing ibadah haji yang berkhidmad tulus.

Pengabdian mereka bertujuan untuk membantu jama’ah haji agar dapat meraih kemabruran dalam ibadah haji mereka.

Menjadi petugas haji yang berkhidmad bukanlah hal yang mudah.

Banyak petugas yang memiliki niat yang salah, seperti hanya mengharapkan upah atau gaji. Hal ini menjadi tantangan besar dalam menemukan petugas haji yang benar-benar berkomitmen untuk melayani.

Oleh karena itu, niat yang baik di awal adalah syarat utama yang harus dimiliki.

Setelah itu, penting bagi petugas untuk memiliki pengetahuan yang memadai dan menjaga kesehatan agar dapat menjalankan tugas dengan optimal.

Para assessor Pembimbing Haji Profesional dalam sertifikasi ini selalu menekankan pentingnya melayani jama’ah yang berusia senja atau lansia.

Mereka mengutip ayat 23 dari surat Al-Isra:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu.”

Selain itu, terdapat hadits yang disampaikan oleh para narasumber, yaitu riwayat dari Abu Hurairah:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُوَقِّرْ كَبِيرَنَا

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua di antara kami.”

Pada Senin (21/4/2025), penulis melakukan silaturrahim dengan Kepala Bidang PHU Kanwil Kemenag Jatim, DR. KH. As’adul Anam, bersama para pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Timur.

Di tengah persiapan perjalanan jama’ah haji yang akan dilaksanakan pada awal Mei 2025, Kyai Anam menegaskan bahwa Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji Profesional bertujuan untuk menghasilkan calon petugas haji yang berkualitas.

Mereka diharapkan dapat memberikan pelayanan yang menciptakan kenyamanan, keselamatan, dan kelancaran ibadah jama’ah.

Selama sepuluh tahun terakhir, penyelenggara haji dari Kemenag RI telah menghadapi peningkatan jumlah jama’ah haji yang berusia senja.

Hal ini menuntut adanya pemahaman dan pola berkhidmad yang khusus, mengingat jama’ah lansia sering kali menghadapi berbagai tantangan fisik dan emosional.

Petugas haji diharapkan untuk berkhidmad dengan tulus agar mendapatkan pahala haji.

Mereka harus memahami kebutuhan jama’ah lansia dan memberikan pelayanan yang optimal.

Beberapa pesan penting dari para assessor selama sertifikasi meliputi:

1. Ringan kaki: Mendampingi dan melayani jama’ah untuk membantu mobilitas ibadah haji mereka.

2. Perlakuan hormat: Memperlakukan jama’ah seperti orang tua atau guru.

3. Terbuka dalam informasi: Memberikan informasi yang dibutuhkan jama’ah dan menjelaskan tata cara ibadah haji dengan jelas.

4. Pelayanan kesehatan: Meski bukan tenaga medis, petugas haji harus menjalin kerja sama dengan petugas kesehatan untuk memastikan kesehatan jama’ah.

5. Akomodasi dan konsumsi: Memberikan pelayanan akomodasi dan kemudahan konsumsi bagi jama’ah.

Selama enam hari sertifikasi, para narasumber juga menekankan sifat dan sikap yang harus dimiliki petugas haji, antara lain:

1. Selalu ramah dan sedia menyapa.
2. Penuh kesabaran dalam melayani.
3. Peduli dan empati terhadap kondisi jama’ah.
4. Santun kepada semua usia.
5. Meminta izin sebelum berkomunikasi.
6. Menggunakan nada bicara yang lembut dan jelas.

Keberadaan petugas haji sangat penting dalam memberikan rasa aman dan nyaman bagi jama’ah.

Saatnya bagi petugas haji untuk berkhidmad dengan niat yang tulus, demi meraih pahala haji yang berlimpah. (Red)

Penulis: Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Timur dan Sekretaris IPHI Jawa Timur.

Opini

Dewan Pers Kunjungi Mahkamah Agung Ditengah Sorotan Kasus Korupsi

Published

on

Keterangan foto : Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat bersama jajaran pengurus Dewan Pers melakukan kunjungan ke Mahkamah Agung (MA) pada Jumat (16/5/2025) pagi. Dok :Humas MA

JAKARTA,- Sederet kasus korupsi dan praktek suap yang menyeret sejumlah hakim agung telah menuai kecaman publik dan sorotan media massa. Institusi Mahkamah Agung yang seharusnya menjadi benteng terakhir para pencari keadilan di negeri ini, malah menjadi ‘sarang penyamun’ dan kaki tangan para mafia peradilan.

Publik pun makin geram ketika isu ini makin viral dan media massa memberitakannya bak serial drama korea yang lagi ngehitz. Kewibawaan para Hakim Agung di MA runtuh seketika meski pelakunya hanya segelintir oknum hakim agung.

Pemberitaan media yang sangat massif ini, ternyata melahirkan kemarahan dan cacimaki warga yang menghiasi kolom komentar di media berita online maupun di media sosial.

Celakanya, di tengah sorotan keras media terhadap kasus korupsi di MA, tiba-tiba Ketua Dewan Pers dan jajarannya berkunjung ke Mahkamah Agung RI.

Selang dua hari setelah serah terima jabatan, Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat langsung tancap gas menemui Ketua MA Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., di ruang kerjanya pada Jumat (16/5).

Gerakan Komarudin cs ini sangat disayangkan. Bukannya menemui wartawan media nasional yang terancam kehilangan pekerjaannya, atau Perusahaan Pers yang terancam bangkrut, Dewan Pers justru mengawali tugas pertamanya memenuhi kepentingan pihak tertentu dengan kedok memperjuangkan kebebasan meliput wartawan di lingkungan MA.

Sulit menghilangkan pemikiran bahwa kehadiran Dewan Pers di MA bukan untuk menebar sinyal kuat agar media massa meredam isu korupsi Hakim Agung di MA. Dewan Pers boleh saja berdalih kedatangannya ke MA untuk membela kepentingan wartawan agar bebas meliput, meski pada kenyataannya selama ini tidak ada masalah peliputan di MA.

Dewan Pers perlu tahu bahwa MA selama ini tidak pernah menghalangi atau mempersulit tugas peliputan wartawan. Ketua MA dan jajaran selalu mengadakan agenda rutin tahunan yakni pertemuan dengan insan pers peliput di MA.

MA bahkan memberi kemudahan akses peliputan kepada wartawan untuk bisa menemui langsung Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Dr. H. Sobandi, S.H., M.H dalam melakukan wawancara dan konfirmasi.

Tak cuma itu, wartawan peliput MA bahkan punya grup aplikasi WhatsAp yang dihuni Karo Humas Sobandi, sehingga setiap saat wartawan bisa berkomunikasi dengan pejabat humas MA. Oleh karena itu tidak ada urgensi bagi Dewan Pers untuk menemui jajaran pimpinan MA diawal menjalankan fungsinya.

Seharusnya Dewan Pers menjaga independensi menghindari pertemuan dengan pimpinan lembaga yang sedang disorot media dan publik akibat kasus korupsi dan mafia peradilan. Dewan Pers dipandang kegenitan dan tak paham persoalan pers karena menjadikan MA sebagai target utama mengawali kepengurusannya.

Wajar saja peristiwa ini terjadi karena Ketua Dewan Pers Komarudin bukan dari kalangan wartawan. Jadi urat nadi permasalahan pers ternyata hanya bisa dideteksi kalangan wartawan. Persoalan utama pers yang butuh penanganan khusus justeru terabaikan.

Lihat saja belum ada langkah atau terobosan Dewan Pers yang mampu memberi perlindungan kepada wartawan dan media yang terkena dampak krisis. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan, sejumlah media besar nasional bakal mem-PHK wartawan.

Beberapa media pun dikabarkan tutup. PT Era Media Informasi yang mengelola majalah Gatra, situs web Gatra.com, majalah Gatra Jateng, situs Gatrapedia.com, dan kanal Gatra TV, sudah tutup duluan di 31 Juli 2024.

Pada tahun sebelumnya, PT Media Nusantara Indonesia (MNI) memutuskan untuk menghentikan penerbitan Koran SINDO versi cetak maupun versi e-paper pada 17 April 2023 lalu.

PT Cakrawala Andalas Televisi atau ANTV dikabarkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Kabar itu terjadi di tengah proses restrukturisasi utang bersama entitas induknya yakni PT Intermedia Capital Tbk (MDIA) dan PT Visi Media Asia Tbk (VIVA).

Media Tempo.co bahkan mencatat sudah ada 37 media cetak yang tutup, yakni Koran SINDO, Harian Republika, Tabloid NOVA, Majalah Mombi SD, Suara Pembaharuan, Koran Tempo, Indopos, Tabloid Bintang, Tabloid Cek & Ricek, Tabloid Bola, Majalah Gogirl, Esquire Indonesia, Majalah Rolling Stone Indonesia, Jakarta Globe, Surat Kabar Sinar Harapan, dan sejumlah media cetak lainnya.

Selain itu juga ternyata ada media televisi yang tutup, antara lain yakni Bloomberg TV, Spacetoon, Channel Kemanusiaan, dan Net TV.

Kondisi ini memerlukan perhatian serius semua pihak. Pergeseran media informasi sudah memasuki era digitalisasi informasi.

Pers harus segera berbenah diri jika tidak ingin terpinggirkan oleh beragam platform media sosial yang memberi ruang yang sangat luas kepada warga untuk menjalankan praktek jurnalistik.

Tidak bisa dipungkiri nasib puluhan ribu media online yang didalamnya ada ratusan ribu wartawan mengais rejeki, perlu juga diakomodir kepentingannya oleh pimpinan organisasi pers, termasuk pemerintah tentunya.

Dewan Pers yang ada sekarang tidak bisa diharapkan jika programnya hanya berkutat di bisnis Uji Kompetensi Wartawan, Verifikasi Media, dan ‘bisnis’ pelayanan pengaduan.

Baru-baru ini Dewan Pers mengurusi dualisme pengurus Persatuan Wartawan Indonesia. Hendri Bangun yang belum berstatus tersangka tapi sudah kadung dilengserkan tanpa ada proses hukum yang inkrah, kini dipaksa mengikuti kongres luar biasa.

Tidak bermaksud untuk membela Hendri Bangun, tapi secara legal formal, Badan Hukum PWI masih mengesahkan Hendri Bangun sebagai Ketua Umum PWI. Produk kongres luar biasa yang melengserkan Hendri ternyata tidak mendapat legitimasi dari pemerintah di Kementerian Hukum.

Artinya status kepengurusan Hendri Bangun masih sah sebagai Ketum PWI. Dewan Pers malah menambah masalah baru mengintervensi masalah internal PWI.

Dewan Pers yang kini dihuni eks Ketua KPK Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum seharusnya berani mendesak Kapolri agar kasus dugaan korupsi UKW PWI segera diselesaikan.

Dewan Pers harus membuka diri untuk membongkar dugaan keterlibatan Dewan Pers periode lalu dalam kasus Cash Back UKW dana hibah BUMN, serta puluhan miliar rupiah APBN untuk anggaran UKW di Kementerian Kominfo era sebelumnya yang mengalir di seluruh organsiasi konstituen dan Lembaga Uji Kompetensi ilegal. (*)

Naskah disusun oleh: Heintje Mandagi- Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia

Continue Reading

Jawa Timur

Wartawan Ditangkap Polisi, Dalih Memeras atau Rekayasa?

Published

on

TULUNGAGUNG– Penangkapan tiga orang wartawan oleh polisi di Trenggalek, Jawa Timur dengan tuduhan memeras patut dipertanyakan. Apakah benar wartawan tersebut melakukan tindakan memeras, ataukah ini hanya sebuah rekayasa untuk membungkam suara kritis?

Dalam menjalankan tugasnya, wartawan memiliki hak untuk melakukan investigasi dan melaporkan temuan mereka kepada publik.

Jika wartawan tersebut melakukan tindakan yang tidak etis, maka perlu dilakukan pemeriksaan yang objektif dan transparan.

Polisi harus dapat membuktikan bahwa wartawan tersebut benar-benar melakukan tindakan memeras, bukan hanya berdasarkan tuduhan atau laporan yang tidak jelas.

Dalam proses hukum, penting untuk memastikan bahwa hak-hak wartawan sebagai warga negara tetap dilindungi.

Penanganan kasus ini harus dilakukan dengan profesional dan tidak boleh membungkam kebebasan pers.

Jika terbukti bahwa penangkapan tersebut tidak berdasar, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja polisi dan diberikan sanksi yang tepat kepada pihak yang bertanggung jawab.

Kita berharap agar kasus ini dapat diselesaikan secara adil dan transparan, serta tidak menimbulkan chilling effect terhadap kebebasan pers di Indonesia. (DON-red)

Oleh: Catur Santoso, Ketua Aliansi Jurnalis Tulungagung (AJT).

Continue Reading

Opini

Krisis Kepemimpinan, Non Wartawan Kembali Nahkodai Dewan Pers

Published

on

Jakarta– Awan hitam kembali menyelimuti langit pers nasional. Sederet jurnalis berpengalaman rela membiarkan pers Indonesia dinahkodai figure non wartawan. Dewan Pers Periode 2025 -2028 kini diketuai Komarudin Hidayat, sosok yang tidak memiliki pengalaman di bidang pers.

Bisa dibayangkan jika lembaga profesi pelaut dipimpin seorang ahli bangunan, pasti gak nyambung. Sama halnya dengan pers Indonesia. Lembaga independen Dewan Pers yang mengatur ruang lingkup profesi di bidang pers ini justeru berkali-kali dinahkodai orang yang tidak pernah mengalami pengalaman liputan di tengah panas terik matahari.

“The right man on the right place” atau “orang yang tepat di tempat yang tepat” sepertinya tidak berlaku di institusi pers ini. Padahal sejatinya setiap individu harus ditempatkan pada posisi atau peran yang sesuai dengan kompetensi, kemampuan, keterampilan, dan potensi mereka.

‘Kapal’ Pers Indonesia itu seharusnya dinahkodai wartawan sejati yang berpengalaman dan pernah merasakan suka duka meliput di lapangan. Memahami betapa sulitnya Perusahaan pers memenuhi biayai operasional medianya.

Jika tidak paham cara mengemudikan ‘kapal’ pers Indonesia, bisa-bisa nahkodanya melencengkan arah tujuan dan kapal karam di tengah kerasnya suhu politik dalam negeri dan ancaman geopolitik dunia yang kian memanas.

Kemerdekaan Pers Indonesia Terus Merosot.

Tak heran sejak Dewan Pers dipimpin Ninik Rahayu, sosok yang minim pengalaman di bidang pers, kondisi Pers Indonesia sejak 2022 – 2025 makin terpuruk. Buktinya, pada tahun 2024 lalu, Dewan Pers sendiri mengumumkan secara terbuka bahwa Indeks kemerdekaan pers Indonesia tahun 2023 berada di posisi 71,57 atau menurun cukup tajam dibandingkan IKP tahun 2022 yang mencapai 77,88.

Bahkan IKP Indonesia kembali turun pada tahun 2024 yang hanya pada angka 69,36 atau turun 2,21 poin dibandingkan tahun 2023 di posisi 71,57.

Tak hanya penurunan skor IKP, berdasarkan laporan Reporters Without Borders (RSF) dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024, Indonesia berada di peringkat ke-111 dari 180 negara, yang menandakan penurunan dari tahun 2023 di posisi ke-108.

Dalam Laporan World Press Freedom Index 2025 yang dirilis Reporters Without Borders (RSF) pada 2 Mei 2025, indeks kebebasan pers di Indonesia tercatat kian merosot hingga ke posisi 127 dari 180 negara.

Lebih parah lagi organisasi konstituen Aliansi Jurnalis Independen – AJI merilis hasil studinya pada Maret 2025 yang menunjukkan, 75,1 persen jurnalis di Indonesia pernah mengalami kekerasan, baik fisik maupun digital. Laporan ini didasarkan survei terhadap 2.020 jurnalis di Indonesia.

Kondisi ini tentunya menggambarkan betapa buruknya kehidupan pers Indonesia ketika ditangani orang yang tidak memiliki kompetensi, pengalaman, pengetahuan dan keterampilan di bidang pers.

Legalisasi ‘Pelacuran Pers’ Gunakan Uang Rakyat.

Fenomena buruknya potret kehidupan pers ini diprediksi bakal terus berlanjut. Ketika orang yang tidak berpengalaman di bidang pers dipaksa menahkodai Dewan Pers, lagi-lagi kehidupan pers nasional bakal makin terpuruk.

Lihat saja praktek ‘pelacuran pers’ media kian merajalela di berbagai daerah dan Dewan Pers malah semakin kebablasan membiarkan idealisme pers diobral murah. Pemerintah Daerah pun seolah mendapat durian runtuh untuk ikut melegalkan ‘pelacuran pers’ tersebut agar para pejabat bisa dengan mudahnya mengontrol media, bukan sebaliknya.

Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menyebutkan : “dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independent.”

Artinya Dewan Pers berkewajiban melindungi kemerdekaan pers dengan menyarankan pejabat Pemda melakukan kontrak kerjasama publikasi media melalui tender dengan pihak ketiga. Hal itu penting untuk menempatkan Perusahaan Media menerima orderan melalui pihak ketiga untuk menjaga independensi.

Dengan cara itu wartawan akan sangat bebas menjalankan fungsi kontrol sosial, termasuk meliput dan memberitakan kasus korupsi pejabat tanpa takut dipecat perusahan media karena kontrak kerjasama terancam diputus sepihak.

Sayangnya, bertahun-tahun kondisi ini terus berlangsung. Dampak buruknya, pengawasan pers menjadi sangat minim terhadap kinerja pemerintahan. Tak heran berjejeran kepala daerah terlibat kasus korupsi ditangkap aparat hukum karena bablas mencuri uang rakyat tanpa diawasi pers.

Dan mirisnya seluruh organisasi konstituen Dewan Pers tidak ada yang menentang kebijakan Dewan Pers melegalkan ‘pelacuran pers’ di seluruh Indonesia, malahan kelompok konstituen ini menarik keuntungan dari proyek pencitraan pejabat koruptor menggunakan uang rakyat.

Gerombolan perusak kemerdekaan pers ini justeru menikmati privilege atau hak Istimewa sebagai kakitangan Dewan Pers. Karpet merah digelar khusus untuk anggotanya para konstituen Dewan Pers di berbagai daerah, menikmati uang rakyat demi kepentingan pribadi dan pencitraan pejabat koruptor.

Nasib 47 Ribu Media Pers

Dewan Pers pada tahun 2020 memperkirakan jumlah media pers sebanyak 47.000 yang terdiri dari 43.300 media daring, 2.000 media cetak, 674 media radio, dan 523 media televisi. Sejak dirilis tahun 2020, faktanya tahun 2025 ini, Dewan Pers mencatat dalam situs resminya hanya 1156 media pers yang didata dengan menggunakan istilah terverifikasi faktual dan terverifikasi administrasi.

Kondisi ini dari sisi peningkatan kuantitas tentunya sangat bertentangan dengan tujuan dibentuknya Dewan Pers sebagaimana dijelaskan dalam lembar penjelasan atas UU Pers. Disebutkan : Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional.

Faktanya data peningkatan kuantitas media di Dewan Pers justeru sangat minim karena hanya 1156 media pers yang dinyatakan terverifikasi DP dari total sekitar 47 ribu media.

Eks Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu kepada media TEMPO mengklarifikasi bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada waktu lahir tidak mengenal pendaftaran bagi perusahaan pers.

Ketika itu Ninik mengatakan, pendataan perusahaan pers merupakan stelsel pasif dan mandiri. Artinya, perusahaan pers yang berinisiatif untuk mengajukan diri agar diverifikasi (didata) oleh Dewan Pers sesuai Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan DP/I/2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers.

Mengacu dari keterangan Ninik ini, bagaimana mungkin Dewan Pers mendorong Pemda membuat regulasi Kerjasama Media dengan Perusahaan yang terverifikasi, padahal pendataan Perusahaan merupakan stelsel pasif dan mandiri. Hal ini tentunya barakibat terjadi diskriminasi terhadap puluhah ribu perusahaan media yang belum mengikuti pendataan verifikasi di Dewan Pers.

Selama kurun waktu 5 tahun terakhir ini, hampir tidak ada terobosan yang dilakukan Dewan Pers untuk meningkatkan kuantitas pers nasional. Kondisi kehidupan pers nasional justeru makin terpuruk.

Lihat saja berbagai media nasional merilis berita bahwa industri media di Indonesia sedang berada di ujung tanduk. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terus melanda berbagai perusahaan media nasional, termasuk platform digital, seiring dengan penutupan sejumlah media besar di Indonesia, salah satunya adalah media GATRA.

Marjinalisasi pers di Indonesia.

Persoalan lain sektor pers adalah belanja iklan nasional yang mencapai angka fantastis ratusan triliun rupiah pertahun ternyata tidak terdistribusi merata ke seluruh daerah. Semua hanya terpusat di Jakarta.

Lebih miris lagi, angka belanja iklan ratusan triliun rupiah itu hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha media nasional berdomisili di Jakarta. Dengan alsan bisnis, produsen pengguna jasa periklanan hanya diarahkan beriklan di media nasional di Jakarta.

Perusahaan Pers lokal tidak diberi akses untuk bisa ikut menikmati belanja iklan nasional. Media mainstream atau media arus utama nasional justeru dibiarkan memonopoli iklan selama puluhan tahun.

Tak ada satu pun upaya dari Dewan Pers memperjuangkan triliunan rupiah belanja iklan nasional tersebut terdistribusi ke Perusahaan Pers lokal. Pihak Pemerintah Pusat pun turut membiarkan terjadinya Marjinalisasi pers di Indonesia.

Media lokal malahan dipaksa ‘melacurkan’ diri bekerjasama dengan Pemerintah Daerah meski dengan nilai kontrak yang sangat minim. Sementara iklan komersil produk dagang di daerah hanya ditempatkan di media nasional.

Kesejahteraan Pers Terabaikan.

Maraknya pendirian perusahaan pers berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), belum disentuh kebijakan pemerintah. Pers sejatinya memang harus independent. Namun perusahaan pers tetap harus tunduk pada ketentuan perundang-undangan.

Pemerintah telah membuat regulasi bahwa setiap Perusahaan wajib membayar gaji karyawan dengan standar UMR (Upah Minimum Regional). Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003 yang direvisi melalui UU Cipta Kerja) melarang pengusaha membayar upah di bawah UMR.

PT yang tidak membayar gaji sesuai UMR (Upah Minimum Regional) atau UMP (Upah Minimum Provinsi) dapat dikenakan sanksi pidana dan/atau denda. Sanksi ini diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan, seperti Pasal 185 UU Ketenagakerjaan yang diubah oleh UU Cipta Kerja.

Sanksi Pidananya, perusahaan dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun. Selain pidana penjara, perusahaan juga dapat dikenakan denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta. Kemudian Sanksi Administratif, yakni denda administrative maksimal Rp1 juta atau kurungan hingga 3 bulan.

Namun pada kenyataannya, hampir sebagian besar perusahaan media tidak menggaji wartawannya. Kalau pun digaji, banyak wartawan yang nenerima di bawah UMR.

Kondisi ini tentunya sangat mengancam kemerdekaan pers. Wartawan yang tidak sejahtera cenderung gampang menjual idealismenya. Sudah menjadi rahasia umum, tak terkecuali media mainstream, wartawannya rata-rata masih menerima imblan amplop berisi uang dari nara sumber.

Fakta ini tidak bisa dipungkiri karena belum mampu menjamin kesejahteraan wartawan.

Pada akhir tulisan ini, pada prinsipnya penulis tetap menolak mekanisme hasil pemilihan Anggota Dewan Pers termasuk SK Penetapan oleh Presiden, karena bertentangan dengan UU Pers dan berpotensi melanggar hak konstitusional dan hak asazi manusia terhadap pimpinan dan pengurus organisasi pers non konstituen Dewan Pers.

Sebagai penutup penulis menitip asa kepada para Anggota Dewan Pers yang baru untuk berpihak pada media kecil dan wartawan lokal yang termarjinalisasi. Integritas dan ketokohan Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat memang tidak diragukan di bidang pendidikan.

Jika tetap ingin bertahan di Dewan Pers, kemampuan menangani kehidupan pers nasional perlu dibuktikan dengan memahami ketentuan yang diatur dalam UU Pers. (Red)

Oleh : Hence Mandagi – Ketua Umum DPP SPRI.

Continue Reading

Trending