Connect with us

Opini

Dewan Pers Kunjungi Mahkamah Agung Ditengah Sorotan Kasus Korupsi

Published

on

Keterangan foto : Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat bersama jajaran pengurus Dewan Pers melakukan kunjungan ke Mahkamah Agung (MA) pada Jumat (16/5/2025) pagi. Dok :Humas MA

JAKARTA,- Sederet kasus korupsi dan praktek suap yang menyeret sejumlah hakim agung telah menuai kecaman publik dan sorotan media massa. Institusi Mahkamah Agung yang seharusnya menjadi benteng terakhir para pencari keadilan di negeri ini, malah menjadi ‘sarang penyamun’ dan kaki tangan para mafia peradilan.

Publik pun makin geram ketika isu ini makin viral dan media massa memberitakannya bak serial drama korea yang lagi ngehitz. Kewibawaan para Hakim Agung di MA runtuh seketika meski pelakunya hanya segelintir oknum hakim agung.

Pemberitaan media yang sangat massif ini, ternyata melahirkan kemarahan dan cacimaki warga yang menghiasi kolom komentar di media berita online maupun di media sosial.

Celakanya, di tengah sorotan keras media terhadap kasus korupsi di MA, tiba-tiba Ketua Dewan Pers dan jajarannya berkunjung ke Mahkamah Agung RI.

Selang dua hari setelah serah terima jabatan, Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat langsung tancap gas menemui Ketua MA Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., di ruang kerjanya pada Jumat (16/5).

Gerakan Komarudin cs ini sangat disayangkan. Bukannya menemui wartawan media nasional yang terancam kehilangan pekerjaannya, atau Perusahaan Pers yang terancam bangkrut, Dewan Pers justru mengawali tugas pertamanya memenuhi kepentingan pihak tertentu dengan kedok memperjuangkan kebebasan meliput wartawan di lingkungan MA.

Sulit menghilangkan pemikiran bahwa kehadiran Dewan Pers di MA bukan untuk menebar sinyal kuat agar media massa meredam isu korupsi Hakim Agung di MA. Dewan Pers boleh saja berdalih kedatangannya ke MA untuk membela kepentingan wartawan agar bebas meliput, meski pada kenyataannya selama ini tidak ada masalah peliputan di MA.

Dewan Pers perlu tahu bahwa MA selama ini tidak pernah menghalangi atau mempersulit tugas peliputan wartawan. Ketua MA dan jajaran selalu mengadakan agenda rutin tahunan yakni pertemuan dengan insan pers peliput di MA.

MA bahkan memberi kemudahan akses peliputan kepada wartawan untuk bisa menemui langsung Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Dr. H. Sobandi, S.H., M.H dalam melakukan wawancara dan konfirmasi.

Tak cuma itu, wartawan peliput MA bahkan punya grup aplikasi WhatsAp yang dihuni Karo Humas Sobandi, sehingga setiap saat wartawan bisa berkomunikasi dengan pejabat humas MA. Oleh karena itu tidak ada urgensi bagi Dewan Pers untuk menemui jajaran pimpinan MA diawal menjalankan fungsinya.

Seharusnya Dewan Pers menjaga independensi menghindari pertemuan dengan pimpinan lembaga yang sedang disorot media dan publik akibat kasus korupsi dan mafia peradilan. Dewan Pers dipandang kegenitan dan tak paham persoalan pers karena menjadikan MA sebagai target utama mengawali kepengurusannya.

Wajar saja peristiwa ini terjadi karena Ketua Dewan Pers Komarudin bukan dari kalangan wartawan. Jadi urat nadi permasalahan pers ternyata hanya bisa dideteksi kalangan wartawan. Persoalan utama pers yang butuh penanganan khusus justeru terabaikan.

Lihat saja belum ada langkah atau terobosan Dewan Pers yang mampu memberi perlindungan kepada wartawan dan media yang terkena dampak krisis. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan wartawan, sejumlah media besar nasional bakal mem-PHK wartawan.

Beberapa media pun dikabarkan tutup. PT Era Media Informasi yang mengelola majalah Gatra, situs web Gatra.com, majalah Gatra Jateng, situs Gatrapedia.com, dan kanal Gatra TV, sudah tutup duluan di 31 Juli 2024.

Pada tahun sebelumnya, PT Media Nusantara Indonesia (MNI) memutuskan untuk menghentikan penerbitan Koran SINDO versi cetak maupun versi e-paper pada 17 April 2023 lalu.

PT Cakrawala Andalas Televisi atau ANTV dikabarkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Kabar itu terjadi di tengah proses restrukturisasi utang bersama entitas induknya yakni PT Intermedia Capital Tbk (MDIA) dan PT Visi Media Asia Tbk (VIVA).

Media Tempo.co bahkan mencatat sudah ada 37 media cetak yang tutup, yakni Koran SINDO, Harian Republika, Tabloid NOVA, Majalah Mombi SD, Suara Pembaharuan, Koran Tempo, Indopos, Tabloid Bintang, Tabloid Cek & Ricek, Tabloid Bola, Majalah Gogirl, Esquire Indonesia, Majalah Rolling Stone Indonesia, Jakarta Globe, Surat Kabar Sinar Harapan, dan sejumlah media cetak lainnya.

Selain itu juga ternyata ada media televisi yang tutup, antara lain yakni Bloomberg TV, Spacetoon, Channel Kemanusiaan, dan Net TV.

Kondisi ini memerlukan perhatian serius semua pihak. Pergeseran media informasi sudah memasuki era digitalisasi informasi.

Pers harus segera berbenah diri jika tidak ingin terpinggirkan oleh beragam platform media sosial yang memberi ruang yang sangat luas kepada warga untuk menjalankan praktek jurnalistik.

Tidak bisa dipungkiri nasib puluhan ribu media online yang didalamnya ada ratusan ribu wartawan mengais rejeki, perlu juga diakomodir kepentingannya oleh pimpinan organisasi pers, termasuk pemerintah tentunya.

Dewan Pers yang ada sekarang tidak bisa diharapkan jika programnya hanya berkutat di bisnis Uji Kompetensi Wartawan, Verifikasi Media, dan ‘bisnis’ pelayanan pengaduan.

Baru-baru ini Dewan Pers mengurusi dualisme pengurus Persatuan Wartawan Indonesia. Hendri Bangun yang belum berstatus tersangka tapi sudah kadung dilengserkan tanpa ada proses hukum yang inkrah, kini dipaksa mengikuti kongres luar biasa.

Tidak bermaksud untuk membela Hendri Bangun, tapi secara legal formal, Badan Hukum PWI masih mengesahkan Hendri Bangun sebagai Ketua Umum PWI. Produk kongres luar biasa yang melengserkan Hendri ternyata tidak mendapat legitimasi dari pemerintah di Kementerian Hukum.

Artinya status kepengurusan Hendri Bangun masih sah sebagai Ketum PWI. Dewan Pers malah menambah masalah baru mengintervensi masalah internal PWI.

Dewan Pers yang kini dihuni eks Ketua KPK Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum seharusnya berani mendesak Kapolri agar kasus dugaan korupsi UKW PWI segera diselesaikan.

Dewan Pers harus membuka diri untuk membongkar dugaan keterlibatan Dewan Pers periode lalu dalam kasus Cash Back UKW dana hibah BUMN, serta puluhan miliar rupiah APBN untuk anggaran UKW di Kementerian Kominfo era sebelumnya yang mengalir di seluruh organsiasi konstituen dan Lembaga Uji Kompetensi ilegal. (*)

Naskah disusun oleh: Heintje Mandagi- Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia

Opini

Ketika Dua Rumah yang Berhimpitan Berseteru: Refleksi Sosial tentang Makna Tetangga

Published

on

Jakarta — Sebuah pertunjukan kehidupan sosial yang mengundang perhatian publik terjadi di kawasan Joyogrand, Kota Malang, Jawa Timur. Dua rumah yang berhimpitan, yang dahulu tampak damai dan harmonis, kini justru tampil berseri bukan karena kebaikan, melainkan karena perseteruan yang disiarkan secara terbuka melalui media sosial.

Dalam dua pekan terakhir Oktober 2025 ini, masyarakat disuguhi drama nyata dua keluarga yang berselisih, saling mengungkap versi kebenaran masing-masing di ruang digital.

Sebagian menilai ini tidak elok. Lebih menyedihkan lagi, yang berseteru bukan mereka yang kekurangan, melainkan dua orang yang sama-sama berpendidikan dan hidup dalam kecukupan.

Saya tidak ingin membahas apa pemicu konflik, apalagi menentukan siapa yang benar. Karena bisa jadi secara versi pribadi semua merasa benar.

Namun satu hal yang penting disadari adalah sejatinya mereka adalah satu keluarga, meski rumah berbeda. Dan itu pula hakikat dari tetangga.

Tetangga: Cermin Sosial dan Spiritualitas.

Di balik dinding rumah kita, di balik pagar yang memisahkan halaman, sesungguhnya ada sosok-sosok penting yang Allah hadirkan dalam hidup kita adalah tetangga. Mereka bukan sekadar orang yang tinggal berdekatan, tetapi bisa menjadi sahabat, pengingat, bahkan penolong dalam diam.

Dalam ajaran Islam, dalam budaya Jawa, dan dalam nilai-nilai universal kemanusiaan, tetangga memiliki kedudukan yang sangat mulia.

Rasulullah bahkan menyandingkan perintah memuliakan tetangga dengan perintah menyembah Allah.

Maka jika suatu saat terjadi peristiwa yang mengganggu hati, sabar adalah kuncinya. Kenapa harus sabar?

Karena kita tidak memilih tetangga, tetapi Allah-lah yang memilihkan untuk kita. Dan semua yang Allah pilihkan, pasti mengandung hikmah.

Prinsip Bertetangga dalam Tradisi dan Spiritualitas.

Saya pribadi, sebagai pendatang di lingkungan baru, selalu berupaya menanamkan prinsip bahwa tetangga adalah keluarga besar kita.

Sebagaimana nasihat Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu: “Tetangga itu bukan hanya yang rumahnya berdempetan, tetapi juga yang berada dalam radius 40 rumah dari tempat tinggal kita.”

Artinya, tetangga adalah komunitas kecil yang menjadi cermin akhlak dan karakter kita.

Beberapa prinsip yang saya pegang dalam bertetangga:

1. Pager mangkok lebih kuat dari pager besi yakni berbagi makanan dan kebaikan lebih mempererat hubungan dibanding pagar setinggi apapun.

2. Sapa dengan senyuman bahkan anggukan kecil bisa membuka pintu hati.

3. Menjaga lisan, tidak berkata yang menyakitkan meski akrab.

4. Tolong-menolong dalam kesederhanaan dari meminjam alat hingga menjaga rumah.

5. Menjaga adab dan privasi — tidak membicarakan tetangga di dunia nyata apalagi di media sosial.

6. Menghormati hak tetangga seperti memberi tahu jika ada kegiatan yang bisa mengganggu.

Sabar dan Maaf, Jalan Mulia dalam Konflik.

Saya juga belajar bahwa tidak semua tetangga mudah dipahami. Tapi bukan berarti harus dilawan. Justru ini ladang amal yang luar biasa.

Maka, saya membiasakan diri:
• Mengalah, bukan kalah.
• Menganggap keunikan tetangga sebagai peluang bersabar.
• Memaafkan sebelum diminta.
• Mendoakan diam-diam.
• Menghindari debat yang memicu api.
• Tetap berbuat baik meski tidak dibalas.
• Menjaga silaturahim, karena sowan ke tetangga adalah obat hati.

Tetangga: Investasi Dunia dan Akhirat.

Tetangga adalah keberkahan yang sering terlupakan. Saat darurat, mereka yang pertama hadir. Saat kita sepi, merekalah yang bisa menyapa.

Saya mencatat tiga manfaat besar dari keberadaan tetangga:

1. Keamanan sosial saling menjaga dengan niat baik.
2. Dukungan emosional dalam suka maupun duka.
3. Pendidikan karakter anak lingkungan yang harmonis mencetak generasi yang mulia.

Penutup: Kembalilah pada Hakikat.

Perseteruan dua rumah berhimpitan di Joyogrand seharusnya menyadarkan kita, bahwa tetangga bukan musuh, tetapi amanah sosial dan spiritual. Kita tidak sedang berbicara tentang siapa benar dan siapa salah, tetapi tentang siapa yang ingin menghadirkan ketenangan, bukan kebisingan, kedamaian, bukan perpecahan.

Mari kita rawat relasi dengan tetangga, karena mereka adalah bagian dari takdir sosial kita. Bukan kebetulan, tetapi panggilan ibadah dan akhlak. (DON/Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam.

Continue Reading

Opini

Dua Keluarga Bertetangga Saling Laporkan, Dimana Letak Hati Nurani?

Published

on

Jakarta— Hingga pekan kedua Oktober 2025, publik disuguhi drama hukum yang mempertemukan dua keluarga bertetangga di ranah pidana. Keduanya hidup berdempetan, namun justru saling melaporkan ke polisi.

Dunia maya pun ramai. Para netizen dan penggiat media sosial menjadi saksi bagaimana hubungan antar tetangga bisa memburuk, berubah dari kerukunan menjadi saling serang.

Entah siapa yang puas, jika satu di antara mereka dipenjara. Atau bahkan, bisa jadi keduanya akan berakhir di balik jeruji.

Namun di balik pusaran konflik tersebut, kita patut bertanya lebih dalam, bagaimana kondisi hati mereka?

Dalam kehidupan, kita selalu dihadapkan pada pilihan. Salah satunya adalah jalan tasawuf jalan yang tak hanya menata tubuh lahiriah, tetapi juga jiwa dan ruh.

Jalan ini bukanlah jalan mudah. Menata hati ibarat menaklukkan lautan yang tak pernah tenang. Hati berasal dari kata qalaba yang berarti mudah terbolak-balik.

Ia mudah condong pada hawa nafsu, dan hawa nafsu adalah kegelapan yang menjauhkan manusia dari nur Ilahi.

Banyak yang mampu mengajarkan ilmu tentang ketenangan, kesabaran, dan pencerahan jiwa. Tetapi belum tentu mampu mengaplikasikan semua itu dalam konflik nyata.

Tak heran, di tengah masyarakat yang mengaku religius, masih tampak dendam, takabur, dan keinginan untuk menyakiti sesama. Padahal, prilaku lahiriah adalah cermin dari kondisi hati.

Jika hati bening, maka lahiriah akan memancarkan rahmat. Sebaliknya, jika hati keruh, prilaku pun akan menebar fitnah.

Jika prilaku tidak dijaga, maka hati akan kehilangan kendali. Jasad akan bebas melampiaskan syahwat, jiwa akan menonjolkan ego, dan muncullah keangkuhan. Inilah bibit dari kerusakan sosial. Dari hati yang rusak lahir prilaku menyakiti. Dari prilaku menyakiti, lahir lingkungan penuh konflik.

Solusi atas krisis hati ini bukan sekadar ilmu atau hukum, tetapi dzikir yang menghidupkan hati dan membimbing prilaku.

Dzikir bukan sekadar di lisan, tetapi harus nyata dalam tindakan. Dzikir sejati adalah ketika manusia menjelma menjadi Abdullah, hamba Allah yang menebar kasih, bukan permusuhan.

Bagi para ahli tasawuf, bertetangga bukan soal siapa benar atau siapa salah, tetapi soal siapa yang lebih ingin menghadirkan keberkahan. Mereka tidak sibuk menuntut, tetapi sibuk melayani.

Mereka tidak sibuk menilai, tetapi sibuk mendoakan. Bagi mereka, tetangga adalah ladang amal, bukan ladang konflik.

Karena itu, mari kita ingat: lahiriah adalah cermin hati. Jika cermin itu retak, maka bayangan yang muncul pun menyesatkan.

Maka jagalah prilaku, karena ia adalah jalan menuju keseimbangan batin. Jangan hanya menjadi orang berilmu, tetapi jadilah insan yang menebar kedamaian. Karena ilmu tanpa ketenangan hati hanyalah kilau tanpa cahaya. (DON/Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam

Continue Reading

Opini

Menjadi Penyejuk di Tengah Fitnah

Published

on

Jakarta— Fitnah merupakan gelombang. Ia bisa menenggelamkan jiwa, menghancurkan reputasi, dan memecah keharmonisan. Namun, bagi mereka yang berjalan di jalur kebenaran, fitnah justru bisa menjadi ujian yang mengangkat derajat.

Ia datang bukan sekadar untuk menguji kesabaran, tetapi untuk menyingkap ketulusan. Maka pertanyaannya, apakah kita akan menjadi bara yang membakar, atau rahmat yang menyejukkan?

Di era digital, fitnah tak lagi berbisik di lorong-lorong sempit. Ia berteriak di layar-layar publik. Baru-baru ini, viral di media sosial seorang yang pernah menjadi dosen di PTN Malang, terlihat menjatuhkan diri di tanah. Ia seperti “sedang gulung-gulung di tanah.”

Sebuah sikap yang kurang elok dilakukan seseorang yang sudah hampir 60 tahun. Apalagi pelaku seorang yang punya mahasiswa? Apalagi menyebut dirinya kyai.

Prilaku orang tua seperti bocah TK tersebut beredar secara cepat di medsos. Karena memang dunia berubah mengandalkan kecepatan jempol untuk berselayaran.

Pada seharusnya tugas dan fungsi kyai sebagai penyejuk kehidupan tidak tampak dalam kasus viral mantan dosen PTN di Malang tersebut.

Saya tidak pernah kenal dengan orang sedang action gulung-gulung di atas. Yang menjadi perhatian para netizen. Para netizenpun bertanya, “apa tujuan action tersebut?

Mengapa orang tua berperilaku seperti bocah kecil? Mengapa orang yang menyebut dirinya kyai, belum mampu menjadi kehidupan lingkungannya?

Sebuah peristiwa yang dibintaangi pecatan dosen. Ia pengajar ilmu tasawuf, apalagi ia mengaku sebagai orang penghafal Al-Qur’an.

Ia juga sering menyebut dirinya kyai? Maka saya mencari tahu siapa dan apa itu kyai.

Seseorang yang berpridikat kyai itu bukan sebutan atau pangkat formal. Tetapi karena prilaku yang baik ngemong, mengayomi dan menjadi tauladan maka masyarakat sekitar yang menyebut kyai. Atau “abah yai”.

Salah satu ciri menonjol kyai adalah penyejuk kehidupan. Di kehidupannya ada masjid atau minimal mushola. Ada santri walau hanya satu atau dua. Dan tentu menjaga diri sehingga tidak berpakaian membuka aurot. Biasanya punya rutinan ngaji walau jama’ah hanya tiga orang.

Kyai apabila menapaki jalan ujian. Maka ia tidak membalas fitnah dengan kemarahan. Ia memilih jalan damai. Ia tetap akan menjadi penyejuk baik secara verbal dan sekaligus sikap prilaku. Apakah mudah?

Tentu jawabannya sangat sulit. Apalagi menjadi penyejuk saat disakiti. Namun itulah karakter yang harus dimiliki oleh para kyai yang berperan sebagai pembawa risalah Nabi Agung Muhammad sholalloh alaihi was salam.

Pemberi kehidupan yang sejuk itu merupakan jalan orang-orang yang diberi amanah ilmu.

Di zaman fitnah, membela diri di medsos bukanlah solusi. Yang lebih utama adalah wiridsj, berdoa dan tidak melaporkan ke APH. Saya semakin bertanya jika ada kyai khok main lapor polisi, benarkah ia itu kyai.

Biasanya orang yang main lapor aparat penegak hukum dengan menggunakan advokad ada tujuan materi.

Kyai yang sebenarnya selalu memberi solusi damai dan menjadi penyejuk kehidupan. Kyai paham bahwa sebagai penyejuk tidak lahir dari perdebatan di medsos tapi dari ketulusan hati, memaafkan.

Para kyai yang menjadi panutan di saat ada fitnah mereka tidak larut dalam bara api yang membakar. Namun dengan kelembutan dan kelapangan hati, maka mereka tumbuh sebagai penyembuh, penyejuk.

Manakah ada orang yang menamakan dirinya kyai menyibukkan diri membalas fitnah apalagi mencelakan tetangga yang berdampingan, maka sejati saya sedang bertanya benarkah ia itu kyai. Karena kyai itu bukan sibuk mencari panggung kebenaran di medsos.

Mereka tidak sibuk menjelaskan atas dirinya di medsos. Mereka juga tidak sibuk menggunakan cela kasus untuk kepentingan kehidupan dunia.

Tapi justru mereka selalu sibuk mendoakan siapapun yang kurang paham terhadap ajaran nabi. Sebagaimana nabi kita mendo’akan kaum yang belum nerima ajaran, “allohummadi kaumi fainnahum laaa ya’lamun.” (Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan, Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam

Continue Reading

Trending