Connect with us

Redaksi

Litbang Kemenag RI Kunjungi Pesantren Al Azhaar Kedungwaru: Gali Nilai Inklusi dan Pemberdayaan Santri

Published

on

TULUNGAGUNG — Di bawah rindangnya pepohonan besar yang menaungi halaman Pesantren Al Azhaar Kedungwaru, dua utusan dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Noorajeng Galuh Nareswari dan Keftiyah hadir membawa semangat silaturahim dan pencatatan data, Kamis (30/10/2025).

Kedatangan mereka disambut hangat oleh Pengasuh Pesantren, KH. Imam Mawardi Ridlwan (Abah Imam), yang menerima secara lesehan di ruang tamu utama pesantren dalam suasana akrab dan kekeluargaan.

Menurut Abah Imam, kunjungan tim Litbang Kemenag ini bertujuan untuk menggali kehidupan pesantren dan program-program pemberdayaan yang dijalankan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan inklusi dan penguatan peran sosial pesantren.

“Tadi yang banyak ditanyakan terkait program inklusi di pesantren. Mengapa Pesantren Al Azhaar Kedungwaru Tulungagung menerima santri berkebutuhan khusus,” tutur Abah Imam, yang saat ini juga dipercaya sebagai Sekretaris PW IPHI Jawa Timur.

Abah Imam menegaskan, keberadaan santri berkebutuhan khusus di Pesantren Al Azhaar bukanlah kebetulan, melainkan wujud nilai rahmatan lil ‘alamin yang dihidupi setiap hari di lingkungan pesantren.

“Ini anugerah khusus dari Gusti Allah Ta‘ala. Pesantren harus menjadi ruang tumbuh bagi siapa pun yang ingin belajar dan berkhidmat, tanpa memandang keterbatasan fisik atau mental,” ujarnya penuh keteduhan.

Para utusan Litbang Kemenag juga mengapresiasi suasana pesantren yang hijau dan asri.

Pohon-pohon besar yang menaungi lingkungan Al Azhaar dinilai menjadi simbol keteduhan spiritual sekaligus bentuk kesadaran ekologis yang dijaga oleh para santri dan pengasuh.

Turut mendampingi dalam kegiatan tersebut, H. Supriono dari PD Pontren Kemenag Tulungagung bersama dua stafnya.

Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan gagasan penting mengenai pemberdayaan ekonomi pesantren, agar potensi lokal dapat dikembangkan menjadi produk unggulan yang berdaya saing dan berkontribusi bagi masyarakat.

“Kemandirian ekonomi pesantren menjadi kunci penting. Produk-produk olahan lokal perlu terus dikembangkan agar pesantren mampu mandiri sekaligus menjadi pelopor pemberdayaan masyarakat,” ujarnya.

Kunjungan tim Litbang Kemenag RI ini juga bertujuan menghimpun data dan masukan lapangan sebagai bahan analisis dalam perumusan kebijakan yang lebih berpihak kepada pesantren dan santri.

“Banyak hal yang mereka minta untuk ditulis dan dikumpulkan sebagai bahan masukan dalam merumuskan kebijakan nasional,” jelas Abah Imam, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua LD PWNU Jawa Timur.

Menutup pertemuan, Abah Imam menyampaikan rasa terima kasih atas kunjungan tersebut.

“Pesantren Al Azhaar Kedungwaru bersyukur atas kunjungan Balitbang Kemenag RI yang mengajak pesantren untuk terus berbenah. Ini program yang sangat baik dan perlu dilanjutkan,” pungkasnya.

Kunjungan ini diharapkan menjadi pintu awal bagi kolaborasi nyata antara pemerintah dan pesantren, dalam menciptakan kebijakan yang berkeadilan, berdaya, dan berkelanjutan demi kesejahteraan umat. (DON/Red)

Redaksi

Waket Komisi III DPR: Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 Bukan Larangan Mutlak Penugasan Anggota Polri

Published

on

JAKARTA — Wakil Ketua Komisi III DPR RI sekaligus Ketua Panitia Kerja Reformasi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Pengadilan DPR RI, Moh. Rano Alfath, menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tidak boleh dimaknai sebagai larangan absolut terhadap penugasan atau perbantuan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di luar struktur institusi kepolisian.

Menurut Rano, Mahkamah Konstitusi justru menekankan pentingnya penataan dan pembatasan kewenangan agar praktik penugasan tersebut dilakukan secara jelas, terukur, dan tidak menimbulkan tumpang tindih fungsi.

“Putusan MK itu bukan soal boleh atau tidak bolehnya Polri diperbantukan. Yang ditekankan justru kejelasan status, rantai komando, dan pertanggungjawaban,” ujar Rano kepada wartawan, Sabtu (13/12/2025).

Rano menjelaskan, pertimbangan hukum MK berangkat dari kedudukan Polri sebagai alat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yang memberikan mandat kepada Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.

Karena itu, setiap norma yang membuka ruang penugasan anggota Polri di luar institusi kepolisian harus dirumuskan secara tegas dan tidak menimbulkan ambiguitas kewenangan.

“MK ingin memastikan status kepegawaian anggota Polri tetap pasti, rantai komandonya tidak bercabang, dan fungsi penegakan hukumnya tidak bercampur dengan fungsi lain di luar mandat konstitusional,” jelas Rano.

Terkait Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025, Rano menilai regulasi tersebut tidak bertentangan dengan Putusan MK. Justru, Perpol itu dapat dipahami sebagai instrumen penataan administratif untuk menjawab pesan Mahkamah Konstitusi.

Ia menjelaskan, Perpol 10/2025 mengatur mekanisme penugasan secara lebih tertib, mulai dari adanya permintaan resmi dari instansi pengguna, pembatasan pada instansi yang relevan dengan fungsi kepolisian, hingga kewajiban seleksi dan uji kompetensi.

“Kalau dibaca secara utuh dan sistematis, Perpol ini justru sejalan dengan putusan MK. Intinya menutup celah-celah yang sebelumnya belum diatur secara rapi,” kata Rano.

Selain itu, anggota Polri yang ditugaskan juga diwajibkan melepaskan jabatan struktural di internal Polri serta tunduk pada mekanisme evaluasi dan pengakhiran penugasan.

“Supaya penugasan Polri itu transparan, akuntabel, dan tidak menimbulkan konflik kepentingan,” tambahnya.

Lebih lanjut, Rano menegaskan bahwa kebutuhan perbantuan Polri oleh lembaga negara bersifat kontekstual dan tidak dapat diseragamkan. Selama didasarkan pada kebutuhan institusional yang sah, memiliki dasar hukum yang jelas, serta berada dalam pengawasan ketat, perbantuan tersebut tetap berada dalam koridor konstitusional.

“Negara hukum itu bukan berarti menutup diri dari pemanfaatan keahlian aparat negara. Yang dituntut adalah pembatasan yang jelas agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Rano juga menyinggung mekanisme pengangkatan Kapolri sebagai bagian dari agenda reformasi kepolisian. Ia menegaskan bahwa Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri secara tegas mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

“Persetujuan DPR itu bukan untuk mengurangi hak prerogatif Presiden. Justru merupakan mekanisme konstitusional agar kekuasaan dalam institusi penegak hukum tetap terjaga akuntabilitasnya,” tegas Rano.

Sebagai Ketua Panja Reformasi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Pengadilan DPR RI, Rano menegaskan komitmen Komisi III DPR RI untuk terus mengawal implementasi Putusan MK, Perpol 10/2025, serta tata kelola kepemimpinan Polri agar tetap berada dalam koridor konstitusi dan prinsip negara hukum.

“Reformasi kepolisian bukan soal memperluas atau meniadakan peran Polri secara ekstrem, tetapi menjaga batas kewenangan dan mengelola kekuasaan secara bertanggung jawab,” pungkasnya. (By/Red)

Continue Reading

Redaksi

Pelatih Terbaik Yonif 2 Marinir Turunkan Ilmu Bertahan Hidup dan Kesehatan Lapangan kepada Siswa Ombudsman

Published

on

Jakarta — Pelatih terbaik Yonif 2 Marinir kembali menunjukkan dedikasi dan profesionalismenya dalam membina generasi muda dengan memberikan materi bertahan hidup di hutan (jungle survival) serta kesehatan lapangan kepada siswa-siswi Ombudsman Republik Indonesia.

Kegiatan tersebut dilaksanakan di Ksatriyan Marinir Hartono, Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (13/12/2025).

Dalam pelatihan ini, para pelatih Yonif 2 Marinir menyampaikan berbagai materi penting, di antaranya teknik bertahan hidup di alam terbuka, pemanfaatan sumber daya alam secara sederhana, pengenalan tanda-tanda alam, serta langkah-langkah pertolongan pertama dan upaya menjaga kesehatan di lapangan.

Seluruh materi disampaikan melalui metode teori dan praktik agar mudah dipahami serta dapat diaplikasikan oleh para peserta.

Para siswa-siswi Ombudsman Republik Indonesia tampak antusias mengikuti setiap sesi pelatihan.

Dengan pendampingan langsung dari para pelatih Yonif 2 Marinir, peserta dilatih untuk memiliki sikap disiplin, tangguh, serta mampu mengambil keputusan secara tepat dalam kondisi darurat.

Pada kesempatan tersebut, Komandan Batalyon Infanteri 2 Marinir, Letkol Marinir Helilintar Setiojoyo Laksno, S.E., menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan membekali generasi muda dengan keterampilan dasar yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, kerja sama, dan kepedulian terhadap keselamatan diri maupun orang lain.

“Ilmu bertahan hidup dan kesehatan lapangan ini sangat penting sebagai bekal menghadapi berbagai situasi, baik di alam terbuka maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kami berharap para siswa dapat mengambil manfaat positif dari kegiatan ini,” ujarnya. (Timo)

Continue Reading

Redaksi

Hari Nusantara 2025, Anas Urbaningrum Dorong Perubahan Haluan Maritim

Published

on

Jakarta — Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Anas Urbaningrum, melontarkan kritik keras terhadap arah pembangunan nasional yang dinilainya gagal membaca geopolitik Indonesia sebagai negara kepulauan.

Ia menegaskan, Indonesia selama ini masih menjalankan politik pembangunan ala negara daratan, padahal secara historis, geografis, dan strategis, Indonesia adalah poros maritim dunia.

Pernyataan tersebut disampaikan Anas dalam momentum Hari Nusantara 2025, yang berakar pada Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dokumen geopolitik monumental yang menegaskan laut, pulau, dan udara Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah kedaulatan.

“Indonesia adalah archipelagic state. Tapi pembangunan kita masih berpikir seperti negara kontinental. Ini bukan sekadar salah arah, ini kesalahan geopolitik,” tegas Anas, dikutip dari akun X pribadinya, Minggu (14/12/2025).

Menurut Anas, orientasi pembangunan yang terlalu mengeksploitasi daratan hutan, pegunungan, dan wilayah hulu tanpa perspektif maritim dan ekologis telah melahirkan krisis multidimensi, mulai dari kerusakan lingkungan, bencana berulang, hingga melemahnya daya tawar geopolitik Indonesia.

Banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, lanjut Anas, bukan semata bencana alam, melainkan alarm geopolitik atas kegagalan negara mengelola ruang hidup Nusantara secara utuh.

“Bencana itu akibat kebijakan. Ketika darat dieksploitasi dan laut diabaikan, alam akan menagih dengan cara paling kejam,” ujarnya.

Anas secara khusus menyoroti Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai jantung geopolitik Indonesia yang selama ini dinilai tidak dikelola secara serius sebagai instrumen kedaulatan dan kekuatan nasional.

ALKI I, II, dan III merupakan jalur vital perdagangan global sekaligus lalu lintas militer internasional.

Namun, menurut Anas, negara justru absen dalam membangun arsitektur keamanan maritim, industri maritim nasional, serta kekuatan logistik laut yang memadai.

“ALKI itu bukan sekadar jalur lalu lintas kapal asing. Itu urat nadi geopolitik dunia yang melintas di rumah kita. Tapi kita bertindak seolah-olah itu hanya halaman belakang,” kata Anas.

Dalam konteks kawasan Indo-Pasifik yang kian memanas akibat rivalitas Amerika Serikat dan China, Anas menilai posisi Indonesia sangat strategis, namun sekaligus berisiko jika tidak ditopang oleh visi maritim yang kuat dan berdaulat.

Laut Natuna Utara, jalur perdagangan energi global, serta posisi Indonesia di antara dua samudra besar menjadikan Indonesia sebagai aktor kunci, bukan sekadar penonton dalam percaturan geopolitik dunia.

“Tanpa strategi maritim yang berdaulat, Indonesia bisa tergelincir menjadi sekadar buffer zone atau wilayah lintasan kepentingan kekuatan besar,” tegasnya.

Anas juga mengingatkan, kegagalan mengonsolidasikan kekuatan laut mulai dari pelabuhan, galangan kapal, hingga ekonomi pesisir akan membuat Indonesia rapuh secara politik dan bergantung secara ekonomi.

Ia bahkan menyebut Indonesia telah kehilangan Doktrin Nusantara, yakni pandangan strategis yang memosisikan laut sebagai pemersatu, bukan pemisah; sebagai pusat kekuatan nasional, bukan sekadar pelengkap pembangunan darat.

“Menyia-nyiakan potensi negara kepulauan adalah kepandiran strategis. Ini harus diakhiri, atau Indonesia akan terus membayar mahal dari bencana ekologis hingga hilangnya pengaruh geopolitik,” tandasnya.

Menutup pernyataannya, Anas menyerukan perubahan haluan politik pembangunan nasional: dari darat ke laut, dari eksploitatif ke ekologis, serta dari reaktif ke strategis.

“Hari Nusantara bukan sekadar seremoni. Ini pengingat bahwa Indonesia hanya akan berdaulat dan sejahtera jika kembali pada jati dirinya sebagai bangsa maritim,” pungkasnya.

“Selamat Hari Nusantara, 13 Desember 2025.” (By/Red)

Continue Reading

Trending