Opini
Krisis Kepemimpinan, Non Wartawan Kembali Nahkodai Dewan Pers

Jakarta– Awan hitam kembali menyelimuti langit pers nasional. Sederet jurnalis berpengalaman rela membiarkan pers Indonesia dinahkodai figure non wartawan. Dewan Pers Periode 2025 -2028 kini diketuai Komarudin Hidayat, sosok yang tidak memiliki pengalaman di bidang pers.
Bisa dibayangkan jika lembaga profesi pelaut dipimpin seorang ahli bangunan, pasti gak nyambung. Sama halnya dengan pers Indonesia. Lembaga independen Dewan Pers yang mengatur ruang lingkup profesi di bidang pers ini justeru berkali-kali dinahkodai orang yang tidak pernah mengalami pengalaman liputan di tengah panas terik matahari.
“The right man on the right place” atau “orang yang tepat di tempat yang tepat” sepertinya tidak berlaku di institusi pers ini. Padahal sejatinya setiap individu harus ditempatkan pada posisi atau peran yang sesuai dengan kompetensi, kemampuan, keterampilan, dan potensi mereka.
‘Kapal’ Pers Indonesia itu seharusnya dinahkodai wartawan sejati yang berpengalaman dan pernah merasakan suka duka meliput di lapangan. Memahami betapa sulitnya Perusahaan pers memenuhi biayai operasional medianya.
Jika tidak paham cara mengemudikan ‘kapal’ pers Indonesia, bisa-bisa nahkodanya melencengkan arah tujuan dan kapal karam di tengah kerasnya suhu politik dalam negeri dan ancaman geopolitik dunia yang kian memanas.
Kemerdekaan Pers Indonesia Terus Merosot.
Tak heran sejak Dewan Pers dipimpin Ninik Rahayu, sosok yang minim pengalaman di bidang pers, kondisi Pers Indonesia sejak 2022 – 2025 makin terpuruk. Buktinya, pada tahun 2024 lalu, Dewan Pers sendiri mengumumkan secara terbuka bahwa Indeks kemerdekaan pers Indonesia tahun 2023 berada di posisi 71,57 atau menurun cukup tajam dibandingkan IKP tahun 2022 yang mencapai 77,88.
Bahkan IKP Indonesia kembali turun pada tahun 2024 yang hanya pada angka 69,36 atau turun 2,21 poin dibandingkan tahun 2023 di posisi 71,57.
Tak hanya penurunan skor IKP, berdasarkan laporan Reporters Without Borders (RSF) dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024, Indonesia berada di peringkat ke-111 dari 180 negara, yang menandakan penurunan dari tahun 2023 di posisi ke-108.
Dalam Laporan World Press Freedom Index 2025 yang dirilis Reporters Without Borders (RSF) pada 2 Mei 2025, indeks kebebasan pers di Indonesia tercatat kian merosot hingga ke posisi 127 dari 180 negara.
Lebih parah lagi organisasi konstituen Aliansi Jurnalis Independen – AJI merilis hasil studinya pada Maret 2025 yang menunjukkan, 75,1 persen jurnalis di Indonesia pernah mengalami kekerasan, baik fisik maupun digital. Laporan ini didasarkan survei terhadap 2.020 jurnalis di Indonesia.
Kondisi ini tentunya menggambarkan betapa buruknya kehidupan pers Indonesia ketika ditangani orang yang tidak memiliki kompetensi, pengalaman, pengetahuan dan keterampilan di bidang pers.
Legalisasi ‘Pelacuran Pers’ Gunakan Uang Rakyat.
Fenomena buruknya potret kehidupan pers ini diprediksi bakal terus berlanjut. Ketika orang yang tidak berpengalaman di bidang pers dipaksa menahkodai Dewan Pers, lagi-lagi kehidupan pers nasional bakal makin terpuruk.
Lihat saja praktek ‘pelacuran pers’ media kian merajalela di berbagai daerah dan Dewan Pers malah semakin kebablasan membiarkan idealisme pers diobral murah. Pemerintah Daerah pun seolah mendapat durian runtuh untuk ikut melegalkan ‘pelacuran pers’ tersebut agar para pejabat bisa dengan mudahnya mengontrol media, bukan sebaliknya.
Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menyebutkan : “dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independent.”
Artinya Dewan Pers berkewajiban melindungi kemerdekaan pers dengan menyarankan pejabat Pemda melakukan kontrak kerjasama publikasi media melalui tender dengan pihak ketiga. Hal itu penting untuk menempatkan Perusahaan Media menerima orderan melalui pihak ketiga untuk menjaga independensi.
Dengan cara itu wartawan akan sangat bebas menjalankan fungsi kontrol sosial, termasuk meliput dan memberitakan kasus korupsi pejabat tanpa takut dipecat perusahan media karena kontrak kerjasama terancam diputus sepihak.
Sayangnya, bertahun-tahun kondisi ini terus berlangsung. Dampak buruknya, pengawasan pers menjadi sangat minim terhadap kinerja pemerintahan. Tak heran berjejeran kepala daerah terlibat kasus korupsi ditangkap aparat hukum karena bablas mencuri uang rakyat tanpa diawasi pers.
Dan mirisnya seluruh organisasi konstituen Dewan Pers tidak ada yang menentang kebijakan Dewan Pers melegalkan ‘pelacuran pers’ di seluruh Indonesia, malahan kelompok konstituen ini menarik keuntungan dari proyek pencitraan pejabat koruptor menggunakan uang rakyat.
Gerombolan perusak kemerdekaan pers ini justeru menikmati privilege atau hak Istimewa sebagai kakitangan Dewan Pers. Karpet merah digelar khusus untuk anggotanya para konstituen Dewan Pers di berbagai daerah, menikmati uang rakyat demi kepentingan pribadi dan pencitraan pejabat koruptor.
Nasib 47 Ribu Media Pers
Dewan Pers pada tahun 2020 memperkirakan jumlah media pers sebanyak 47.000 yang terdiri dari 43.300 media daring, 2.000 media cetak, 674 media radio, dan 523 media televisi. Sejak dirilis tahun 2020, faktanya tahun 2025 ini, Dewan Pers mencatat dalam situs resminya hanya 1156 media pers yang didata dengan menggunakan istilah terverifikasi faktual dan terverifikasi administrasi.
Kondisi ini dari sisi peningkatan kuantitas tentunya sangat bertentangan dengan tujuan dibentuknya Dewan Pers sebagaimana dijelaskan dalam lembar penjelasan atas UU Pers. Disebutkan : Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional.
Faktanya data peningkatan kuantitas media di Dewan Pers justeru sangat minim karena hanya 1156 media pers yang dinyatakan terverifikasi DP dari total sekitar 47 ribu media.
Eks Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu kepada media TEMPO mengklarifikasi bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada waktu lahir tidak mengenal pendaftaran bagi perusahaan pers.
Ketika itu Ninik mengatakan, pendataan perusahaan pers merupakan stelsel pasif dan mandiri. Artinya, perusahaan pers yang berinisiatif untuk mengajukan diri agar diverifikasi (didata) oleh Dewan Pers sesuai Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan DP/I/2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers.
Mengacu dari keterangan Ninik ini, bagaimana mungkin Dewan Pers mendorong Pemda membuat regulasi Kerjasama Media dengan Perusahaan yang terverifikasi, padahal pendataan Perusahaan merupakan stelsel pasif dan mandiri. Hal ini tentunya barakibat terjadi diskriminasi terhadap puluhah ribu perusahaan media yang belum mengikuti pendataan verifikasi di Dewan Pers.
Selama kurun waktu 5 tahun terakhir ini, hampir tidak ada terobosan yang dilakukan Dewan Pers untuk meningkatkan kuantitas pers nasional. Kondisi kehidupan pers nasional justeru makin terpuruk.
Lihat saja berbagai media nasional merilis berita bahwa industri media di Indonesia sedang berada di ujung tanduk. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terus melanda berbagai perusahaan media nasional, termasuk platform digital, seiring dengan penutupan sejumlah media besar di Indonesia, salah satunya adalah media GATRA.
Marjinalisasi pers di Indonesia.
Persoalan lain sektor pers adalah belanja iklan nasional yang mencapai angka fantastis ratusan triliun rupiah pertahun ternyata tidak terdistribusi merata ke seluruh daerah. Semua hanya terpusat di Jakarta.
Lebih miris lagi, angka belanja iklan ratusan triliun rupiah itu hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha media nasional berdomisili di Jakarta. Dengan alsan bisnis, produsen pengguna jasa periklanan hanya diarahkan beriklan di media nasional di Jakarta.
Perusahaan Pers lokal tidak diberi akses untuk bisa ikut menikmati belanja iklan nasional. Media mainstream atau media arus utama nasional justeru dibiarkan memonopoli iklan selama puluhan tahun.
Tak ada satu pun upaya dari Dewan Pers memperjuangkan triliunan rupiah belanja iklan nasional tersebut terdistribusi ke Perusahaan Pers lokal. Pihak Pemerintah Pusat pun turut membiarkan terjadinya Marjinalisasi pers di Indonesia.
Media lokal malahan dipaksa ‘melacurkan’ diri bekerjasama dengan Pemerintah Daerah meski dengan nilai kontrak yang sangat minim. Sementara iklan komersil produk dagang di daerah hanya ditempatkan di media nasional.
Kesejahteraan Pers Terabaikan.
Maraknya pendirian perusahaan pers berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), belum disentuh kebijakan pemerintah. Pers sejatinya memang harus independent. Namun perusahaan pers tetap harus tunduk pada ketentuan perundang-undangan.
Pemerintah telah membuat regulasi bahwa setiap Perusahaan wajib membayar gaji karyawan dengan standar UMR (Upah Minimum Regional). Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003 yang direvisi melalui UU Cipta Kerja) melarang pengusaha membayar upah di bawah UMR.
PT yang tidak membayar gaji sesuai UMR (Upah Minimum Regional) atau UMP (Upah Minimum Provinsi) dapat dikenakan sanksi pidana dan/atau denda. Sanksi ini diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan, seperti Pasal 185 UU Ketenagakerjaan yang diubah oleh UU Cipta Kerja.
Sanksi Pidananya, perusahaan dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun. Selain pidana penjara, perusahaan juga dapat dikenakan denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta. Kemudian Sanksi Administratif, yakni denda administrative maksimal Rp1 juta atau kurungan hingga 3 bulan.
Namun pada kenyataannya, hampir sebagian besar perusahaan media tidak menggaji wartawannya. Kalau pun digaji, banyak wartawan yang nenerima di bawah UMR.
Kondisi ini tentunya sangat mengancam kemerdekaan pers. Wartawan yang tidak sejahtera cenderung gampang menjual idealismenya. Sudah menjadi rahasia umum, tak terkecuali media mainstream, wartawannya rata-rata masih menerima imblan amplop berisi uang dari nara sumber.
Fakta ini tidak bisa dipungkiri karena belum mampu menjamin kesejahteraan wartawan.
Pada akhir tulisan ini, pada prinsipnya penulis tetap menolak mekanisme hasil pemilihan Anggota Dewan Pers termasuk SK Penetapan oleh Presiden, karena bertentangan dengan UU Pers dan berpotensi melanggar hak konstitusional dan hak asazi manusia terhadap pimpinan dan pengurus organisasi pers non konstituen Dewan Pers.
Sebagai penutup penulis menitip asa kepada para Anggota Dewan Pers yang baru untuk berpihak pada media kecil dan wartawan lokal yang termarjinalisasi. Integritas dan ketokohan Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat memang tidak diragukan di bidang pendidikan.
Jika tetap ingin bertahan di Dewan Pers, kemampuan menangani kehidupan pers nasional perlu dibuktikan dengan memahami ketentuan yang diatur dalam UU Pers. (Red)
Oleh : Hence Mandagi – Ketua Umum DPP SPRI.
Opini
Prabowo Teriak, DPR Kedinginan! Koruptor Ketar-Ketir, RUU Perampasan Aset Terhenti

Jakarta— Di tengah rakyat yang makin sengsara dan harga-harga meroket, satu kenyataan memalukan, DPR masih menunda RUU Perampasan Aset, sementara Presiden Prabowo bersuara lantang.
Di warung kopi, Pak Slamet, Kobar, dan Jeri menertawakan pahitnya politik.
“Koruptor itu maling kelas dewa. Ditangkap? Bisa. Tapi hartanya aman. Rakyat? Terus dihantam,” kata Kobar.
“Bedanya maling ayam miskin, maling negara kaya raya. DPR? Mereka diam, melindungi mafia,” tambah Jeri.
Fredi Moses Ulemlem menimpali dengan nada keras.
“Sejak SBY sampai Jokowi, RUU ini digodok. Prabowo teriak bersihkan diri. Tapi DPR? Masih main aman! Ini jelas perlindungan oligarki”, kecamnya, Kamis(4/9).
Pidato Prabowo Subianto berdentum seperti petir.
“Bersihkan dirimu, sebelum kau akan dibersihkan, dan kau akan dibersihkan pasti”
Rakyat membaca jelas siapa yang main-main dengan korupsi, siap-siap disapu bersih. Namun DPR masih bermain aman, takut panas, takut kehilangan jaringan gelap mereka.
DPR Dalih Hukum atau Pelindung Koruptor?
Sturman Panjaitan: “Kita hati-hati…” Jangan sampai hukum menimpa diri sendiri.
Edhie Baskoro Yudhoyono: “Kami siap jika diperlukan cepat.” Siap? Asal aman untuk mereka sendiri.
Muhammad Kholid: “RUU ini solusi adil, efektif.” Minoritas progresif. Tapi cukup berani lawan partai besar ?
Sufmi Dasco: “Tunggu KUHAP selesai.” Alasan klasik untuk memingpong rakyat bertahun-tahun.
Siapa Untung Jika RUU Mandek?
Oligarki dan Mafia Bisnis Bisa tetap menikmati kekayaan rakyat.
Politisi Kaya yang Menyiapkan 2029 → Bisa “cuci uang” tanpa takut kehilangan aset.
Koruptor yang Masih Tidur Nyenyak, Hartanya tetap aman, rakyat terus menanggung akibatnya.
Di warung kopi, rakyat sudah membaca arah angin: DPR pengecut, koruptor tenang, rakyat terhimpit.
“Kalau koruptor kaya makin aman, rakyat miskin makin sengsara. DPR pikir kita bodoh? Semua orang tahu ini soal keberanian, bukan hukum,” tegas Fredi.
Prabowo berdiri di sisi rakyat. DPR? Masih terjebak oligarki. RUU Perampasan Aset bukan sekadar hukum, ini pertempuran keadilan rakyat vs koruptor! (By/Red)
Opini
Reshuffle Kabinet di Tengah Badai Demonstrasi: Saatnya Indonesia Cari Begawan Ekonomi

Jakarta — Indonesia kembali menghadapi ujian berat dalam perjalanan demokrasi dan ketahanan ekonominya. Seiring merebaknya gelombang demonstrasi massal di berbagai daerah, termasuk ibu kota Jakarta, tekanan terhadap stabilitas nasional semakin kuat.
Hanya di Jakarta Pusat saja, hari ini tercatat terjadi demonstrasi di tiga titik strategis yang memperlihatkan eskalasi keresahan publik atas kondisi sosial-ekonomi yang memburuk.
Situasi ini terjadi di tengah pertumbuhan ekonomi yang belum kembali stabil pasca pandemi dan tekanan global.
Gelombang demonstrasi yang menyebar di 8 kota besar menunjukkan puncak kekecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil.
Tiga belas tuntutan mahasiswa, mulai dari penolakan kenaikan PPN 12%, kelangkaan elpiji 3 kg, hingga ketidakjelasan tunjangan dosen, menjadi cerminan keresahan lintas sektor.
Tagar #IndonesiaGelap pun viral, menjadi simbol kekhawatiran generasi muda terhadap masa depan ekonomi negeri.
Kondisi Ekonomi Mengkhawatirkan.
Tekanan ini makin nyata dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya menyentuh 4,8% dalam sembilan bulan pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, jauh dari target optimis 8%. Survei LSI Denny JA menunjukkan bahwa 60,8% masyarakat merasa lebih sulit mendapat pekerjaan dibandingkan tahun sebelumnya.
Kondisi diperparah oleh kebijakan tarif 32% dari Amerika Serikat terhadap produk ekspor Indonesia, yang berpotensi menghilangkan 1,2 juta lapangan kerja dan menurunkan nilai ekspor sebesar Rp105,98 triliun. Ini menjadi pukulan telak bagi daya saing ekonomi Indonesia di pasar global.
Reshuffle Kabinet: Bukan Solusi Simbolik.
Di tengah krisis ini, Presiden melakukan reshuffle kabinet yang menimbulkan beragam tafsir publik. Menurut saya, langkah ini bukan semata respons atas tekanan demonstrasi, melainkan berdasarkan pertimbangan intelijen strategis.
“Pergantian menteri bukan sekadar respons atas demo, melainkan hasil assessment mendalam dari badan intelijen mengenai kerentanan stabilitas nasional,” ujarnya dalam wawancara eksklusif.
Badan intelijen seperti BIN memiliki kapasitas memetakan sumber masalah sosial dan ekonomi yang memicu instabilitas. Dan bukan rahasia lagi, sejak era Orde Baru, intelijen kerap menjadi alat penting kekuasaan dalam menjaga keseimbangan politik.
Ketegangan Sektor Pendidikan dan Harapan Baru.
Pemilihan Brian Yuliarto sebagai Menteri Pendidikan yang baru, dari kalangan akademisi murni, menunjukkan bahwa pemerintah ingin memulihkan relasi dengan komunitas pendidikan yang belakangan tertekan. Ini juga dibaca sebagai upaya mengembalikan kepercayaan pasar, yang sebelumnya tergerus akibat kebijakan tak populer di sektor pendidikan.
Evaluasi Kabinet: Celios dan Kegagalan Ekonomi.
Survei Center of Economic and Law Studies (Celios) pada Januari 2025 menunjukkan bahwa kinerja sektor ekonomi nasional masih mengecewakan, terutama di bawah koordinasi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Sektor ini dinilai gagal mencapai target dalam lima indikator utama:
1. Pencapaian program,
2. Kesesuaian kebijakan,
3. Kepemimpinan,
4. Tata kelola anggaran, dan
5. Komunikasi publik.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios, bahkan menyebut bahwa Indonesia kalah dari Vietnam dalam diplomasi ekonomi karena strategi yang lemah dan pendekatan yang reaktif.
Demo Tak Hanya Luka Sosial, Tapi Juga Luka Ekonomi.
Dampak demo tak hanya sosial, tapi juga ekonomi langsung. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyebut kerugian infrastruktur mencapai Rp55 miliar, termasuk kerusakan 22 halte Transjakarta dan 6 halte yang dibakar.
Omzet ritel turun hingga 50%, mengganggu rantai pasok harian. Nilai tukar rupiah melemah ke Rp16.500/USD, dan IHSG turun 1,21% ke level 7.736, menandakan kepercayaan investor yang menurun terhadap kestabilan politik.
Empat Langkah Strategis Pemulihan Nasional.
Reshuffle kabinet tidak bisa berhenti sebagai simbol politik. Harus ada langkah strategis terintegrasi, antara lain:
1. Penunjukan Begawan Ekonomi: Figur kredibel dengan pengalaman internasional dan akar kuat dalam ekonomi kerakyatan, untuk memulihkan kepercayaan publik dan investor.
2. Reformasi Kebijakan Proteksionis: Tinjauan ulang terhadap kebijakan perdagangan dan investasi untuk meningkatkan daya saing, sebagaimana Vietnam sukses menavigasi tekanan global.
3. Penguatan Koordinasi Lintas Kementerian: Menko Perekonomian harus menciptakan sinergi konkret dan menghindari tumpang tindih kebijakan yang memicu stagnasi.
4. Transparansi Komunikasi Publik: Pemerintah harus membuka ruang dialog dan informasi terbuka agar kebijakan tidak disalahpahami dan menghindari gejolak sosial.
Harvick Hasnul Qolbi: Figur Ekonomi Kerakyatan.
Salah satu tokoh yang patut dipertimbangkan adalah Harvick Hasnul Qolbi, mantan Wamen Pertanian dan Bendahara PBNU, yang juga dikenal sebagai penggagas Nahdlatut Tujjar gerakan ekonomi NU.
Lahir 17 November 1974, Harvick adalah teknokrat yang menguasai ekonomi riil dan memiliki visi ekonomi inklusif berbasis komunitas. Pengalamannya membangun Mart NU di berbagai pelosok Indonesia menunjukkan kemampuan manajerial dan komitmen terhadap ekonomi akar rumput.
Kesimpulan: Saatnya Indonesia Serius.
Reshuffle harus menjadi langkah awal dari reformasi struktural besar-besaran.
Presiden Prabowo perlu mengevaluasi kabinet secara menyeluruh, terutama sektor ekonomi. Figur seperti Harvick Hasnul Qolbi dapat menjadi jembatan antara ekonomi elite dan ekonomi rakyat, sekaligus mengembalikan kepercayaan NU, sebagai salah satu basis politik dan sosial terbesar di Indonesia.
Indonesia membutuhkan pemimpin ekonomi, bukan manajer birokrasi. Saat rakyat turun ke jalan, jangan hanya diganti menteri tapi ubah arah kebijakan.
Sejarah mencatat, Indonesia pernah bangkit dari krisis berkat kepemimpinan kuat dan kebijakan yang menyentuh rakyat.
Kini, tantangan serupa datang lagi. Pertanyaannya: Apakah kita akan belajar dari masa lalu atau mengulang kesalahan yang sama?
(DON/Red)
Oleh : M. Habibi Pengamat Intelijen dan Politik.
Opini
Abu Grahadi, Ramalan Jayabaya, dan Jejak Prabu Siliwangi: Fredi Moses Lihat Api Rakyat Tak Bisa Memusnahkan Pemimpin Tulus

Surabaya— Malam itu, langit Surabaya memerah. Gedung Negara Grahadi dilalap si jago merah dalam kobaran api yang menembus atap dan meruntuhkan dinding-dinding bersejarah.
Sirene meraung, kepanikan membuncah, dan warga berkumpul menyaksikan bagaimana simbol kekuasaan itu perlahan menjadi abu.
Namun di tengah kepungan bara dan asap pekat, muncul satu pemandangan ganjil yang membuat bulu kuduk banyak orang merinding: lukisan Pakde Karwo, mantan Gubernur Jawa Timur, berdiri utuh tanpa tersentuh sedikit pun oleh api.
Seorang relawan pemadam kebakaran mengaku menyaksikan kilatan cahaya aneh sebelum menemukan lukisan itu dalam keadaan utuh. “Bagaimana mungkin kain kanvas tidak terbakar, padahal lemari besi saja meleleh?” ujarnya dengan nada tak percaya.
Fenomena ini segera memantik beragam tafsir, baik dari kalangan spiritual, adat, maupun masyarakat umum. Dari Jawa hingga Sumatera, dari Bugis hingga Bali, tafsir bermunculan bak percikan api yang tak bisa dipadamkan.
Dalam tradisi Jawa, dikenal pepatah: “geni mung ngobong sing reged” api hanya membakar yang kotor.
Maka, selamatnya lukisan itu diyakini sebagai tanda bahwa semesta masih merestui sosok tersebut.
Tafsir ini menyiratkan bahwa roh kepemimpinan yang tulus dan bersih tak bisa dimusnahkan.
Di Bali, api adalah penyuci. Sesuatu yang lolos dari api dianggap sudah melewati ujian suci. Di Bugis, kisah tentang benda pusaka yang tak mempan api merupakan tanda hadirnya leluhur.
Di Sunda, pitutur Prabu Siliwangi mengisahkan raja besar yang “ngahiang” tanpa bekas tidak bisa dibakar, tidak bisa dikubur.
Banten memiliki kisah para ulama yang kitab dan mukenanya tetap utuh meski rumah terbakar.
Minangkabau pun punya petuah adat: “Nan sabana murni, indak kaabu dek api” yang benar-benar murni, tak jadi abu oleh api.
Serat Jayabaya, naskah kuno yang sering dikaitkan dengan ramalan masa depan Jawa, menyebut bahwa dalam masa gonjang-ganjing negeri, akan muncul “isyarat dari api”: sesuatu yang tak terbakar sebagai pertanda bahwa roh penjaga tanah Jawa masih berjaga.
Apakah ini saatnya? Abu Grahadi menyisakan satu simbol yang tak tersentuh: lukisan seorang pemimpin yang dikenal dekat dengan rakyatnya.
Dari kalangan muda, suara reflektif datang dari Fredi Moses Ulemlem, tokoh muda marhaenis dan pengamat sosial-politik.
Ia memandang fenomena ini bukan sekadar mistis, tapi sebagai pesan zaman.
“Lukisan yang selamat dari api bukan cuma keanehan, tapi simbol bahwa rakyat masih menyimpan memori kolektif tentang pemimpin yang tulus. Api baik api amarah maupun api kebencian tak bisa memusnahkan kepemimpinan yang lahir dari niat baik dan kerja nyata. Yang terbakar adalah simbol kekuasaan kosong, bukan jiwa pengabdian.”
Fredi bahkan mengaitkan fenomena ini dengan pesan abadi Bung Karno:
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.”
Menurutnya, Grahadi bisa hancur, tapi jiwa kepemimpinan yang berpihak pada wong cilik tak akan pernah musnah.
Kini, peristiwa ini ramai diperbincangkan di berbagai sudut Nusantara. Ada yang melihatnya sebagai kebetulan, ada pula yang menganggapnya sebagai wahyu zaman.
Tapi yang pasti, dari puing-puing Grahadi, sebuah cerita baru lahir: tentang jiwa kepemimpinan yang tak bisa dilalap api.
Apakah ini isyarat untuk generasi pemimpin ke depan? Atau peringatan bahwa hanya ketulusan yang akan dikenang dan dilindungi semesta?
Yang jelas, api telah berbicara dan rakyat, pelan-pelan, mulai mendengar. (By/DON)
- Jawa Timur2 minggu ago
Pemerintah atau Parade Borjuis? Jalan Rusak Diabaikan, Pengadaan Mobil Mewah Pejabat Diprioritaskan
- Nasional2 minggu ago
Gugat Tanah Adat, Warga Geruduk DPRD Tulungagung: Proyek Pemakaman Elite Diduga Ilegal
- Nasional5 hari ago
Spanduk “Aksi Selasa Rakyat”: Suara Diam yang Menggemuruh di Tulungagung
- Nasional5 hari ago
Demonstrasi 4/9 di Tulungagung, Ketua Almasta Tegaskan Bukan Inspirator Aksi
- Jawa Timur2 minggu ago
Diduga Dekat dengan Pejabat, CV Pendatang Baru Kuasai Proyek Konsultan di Tulungagung
- Investigasi1 minggu ago
LSM LASKAR Soroti Tiang WiFi ‘Siluman’ Ancam Keselamatan Warga Blitar
- Jawa Timur1 minggu ago
DPUPR Kabupaten Blitar Siapkan Perbaikan Darurat untuk Jalan Rusak di Jambewangi
- Investigasi6 hari ago
Gaji Bulanan untuk Sekolah Negeri? Pungli Rp120 Ribu/Bulan Membelenggu Orang Tua di SMAN 1 Gondang