Connect with us

Opini

Krisis Kepemimpinan, Non Wartawan Kembali Nahkodai Dewan Pers

Published

on

Jakarta– Awan hitam kembali menyelimuti langit pers nasional. Sederet jurnalis berpengalaman rela membiarkan pers Indonesia dinahkodai figure non wartawan. Dewan Pers Periode 2025 -2028 kini diketuai Komarudin Hidayat, sosok yang tidak memiliki pengalaman di bidang pers.

Bisa dibayangkan jika lembaga profesi pelaut dipimpin seorang ahli bangunan, pasti gak nyambung. Sama halnya dengan pers Indonesia. Lembaga independen Dewan Pers yang mengatur ruang lingkup profesi di bidang pers ini justeru berkali-kali dinahkodai orang yang tidak pernah mengalami pengalaman liputan di tengah panas terik matahari.

“The right man on the right place” atau “orang yang tepat di tempat yang tepat” sepertinya tidak berlaku di institusi pers ini. Padahal sejatinya setiap individu harus ditempatkan pada posisi atau peran yang sesuai dengan kompetensi, kemampuan, keterampilan, dan potensi mereka.

‘Kapal’ Pers Indonesia itu seharusnya dinahkodai wartawan sejati yang berpengalaman dan pernah merasakan suka duka meliput di lapangan. Memahami betapa sulitnya Perusahaan pers memenuhi biayai operasional medianya.

Jika tidak paham cara mengemudikan ‘kapal’ pers Indonesia, bisa-bisa nahkodanya melencengkan arah tujuan dan kapal karam di tengah kerasnya suhu politik dalam negeri dan ancaman geopolitik dunia yang kian memanas.

Kemerdekaan Pers Indonesia Terus Merosot.

Tak heran sejak Dewan Pers dipimpin Ninik Rahayu, sosok yang minim pengalaman di bidang pers, kondisi Pers Indonesia sejak 2022 – 2025 makin terpuruk. Buktinya, pada tahun 2024 lalu, Dewan Pers sendiri mengumumkan secara terbuka bahwa Indeks kemerdekaan pers Indonesia tahun 2023 berada di posisi 71,57 atau menurun cukup tajam dibandingkan IKP tahun 2022 yang mencapai 77,88.

Bahkan IKP Indonesia kembali turun pada tahun 2024 yang hanya pada angka 69,36 atau turun 2,21 poin dibandingkan tahun 2023 di posisi 71,57.

Tak hanya penurunan skor IKP, berdasarkan laporan Reporters Without Borders (RSF) dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024, Indonesia berada di peringkat ke-111 dari 180 negara, yang menandakan penurunan dari tahun 2023 di posisi ke-108.

Dalam Laporan World Press Freedom Index 2025 yang dirilis Reporters Without Borders (RSF) pada 2 Mei 2025, indeks kebebasan pers di Indonesia tercatat kian merosot hingga ke posisi 127 dari 180 negara.

Lebih parah lagi organisasi konstituen Aliansi Jurnalis Independen – AJI merilis hasil studinya pada Maret 2025 yang menunjukkan, 75,1 persen jurnalis di Indonesia pernah mengalami kekerasan, baik fisik maupun digital. Laporan ini didasarkan survei terhadap 2.020 jurnalis di Indonesia.

Kondisi ini tentunya menggambarkan betapa buruknya kehidupan pers Indonesia ketika ditangani orang yang tidak memiliki kompetensi, pengalaman, pengetahuan dan keterampilan di bidang pers.

Legalisasi ‘Pelacuran Pers’ Gunakan Uang Rakyat.

Fenomena buruknya potret kehidupan pers ini diprediksi bakal terus berlanjut. Ketika orang yang tidak berpengalaman di bidang pers dipaksa menahkodai Dewan Pers, lagi-lagi kehidupan pers nasional bakal makin terpuruk.

Lihat saja praktek ‘pelacuran pers’ media kian merajalela di berbagai daerah dan Dewan Pers malah semakin kebablasan membiarkan idealisme pers diobral murah. Pemerintah Daerah pun seolah mendapat durian runtuh untuk ikut melegalkan ‘pelacuran pers’ tersebut agar para pejabat bisa dengan mudahnya mengontrol media, bukan sebaliknya.

Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas menyebutkan : “dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independent.”

Artinya Dewan Pers berkewajiban melindungi kemerdekaan pers dengan menyarankan pejabat Pemda melakukan kontrak kerjasama publikasi media melalui tender dengan pihak ketiga. Hal itu penting untuk menempatkan Perusahaan Media menerima orderan melalui pihak ketiga untuk menjaga independensi.

Dengan cara itu wartawan akan sangat bebas menjalankan fungsi kontrol sosial, termasuk meliput dan memberitakan kasus korupsi pejabat tanpa takut dipecat perusahan media karena kontrak kerjasama terancam diputus sepihak.

Sayangnya, bertahun-tahun kondisi ini terus berlangsung. Dampak buruknya, pengawasan pers menjadi sangat minim terhadap kinerja pemerintahan. Tak heran berjejeran kepala daerah terlibat kasus korupsi ditangkap aparat hukum karena bablas mencuri uang rakyat tanpa diawasi pers.

Dan mirisnya seluruh organisasi konstituen Dewan Pers tidak ada yang menentang kebijakan Dewan Pers melegalkan ‘pelacuran pers’ di seluruh Indonesia, malahan kelompok konstituen ini menarik keuntungan dari proyek pencitraan pejabat koruptor menggunakan uang rakyat.

Gerombolan perusak kemerdekaan pers ini justeru menikmati privilege atau hak Istimewa sebagai kakitangan Dewan Pers. Karpet merah digelar khusus untuk anggotanya para konstituen Dewan Pers di berbagai daerah, menikmati uang rakyat demi kepentingan pribadi dan pencitraan pejabat koruptor.

Nasib 47 Ribu Media Pers

Dewan Pers pada tahun 2020 memperkirakan jumlah media pers sebanyak 47.000 yang terdiri dari 43.300 media daring, 2.000 media cetak, 674 media radio, dan 523 media televisi. Sejak dirilis tahun 2020, faktanya tahun 2025 ini, Dewan Pers mencatat dalam situs resminya hanya 1156 media pers yang didata dengan menggunakan istilah terverifikasi faktual dan terverifikasi administrasi.

Kondisi ini dari sisi peningkatan kuantitas tentunya sangat bertentangan dengan tujuan dibentuknya Dewan Pers sebagaimana dijelaskan dalam lembar penjelasan atas UU Pers. Disebutkan : Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional.

Faktanya data peningkatan kuantitas media di Dewan Pers justeru sangat minim karena hanya 1156 media pers yang dinyatakan terverifikasi DP dari total sekitar 47 ribu media.

Eks Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu kepada media TEMPO mengklarifikasi bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada waktu lahir tidak mengenal pendaftaran bagi perusahaan pers.

Ketika itu Ninik mengatakan, pendataan perusahaan pers merupakan stelsel pasif dan mandiri. Artinya, perusahaan pers yang berinisiatif untuk mengajukan diri agar diverifikasi (didata) oleh Dewan Pers sesuai Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan DP/I/2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers.

Mengacu dari keterangan Ninik ini, bagaimana mungkin Dewan Pers mendorong Pemda membuat regulasi Kerjasama Media dengan Perusahaan yang terverifikasi, padahal pendataan Perusahaan merupakan stelsel pasif dan mandiri. Hal ini tentunya barakibat terjadi diskriminasi terhadap puluhah ribu perusahaan media yang belum mengikuti pendataan verifikasi di Dewan Pers.

Selama kurun waktu 5 tahun terakhir ini, hampir tidak ada terobosan yang dilakukan Dewan Pers untuk meningkatkan kuantitas pers nasional. Kondisi kehidupan pers nasional justeru makin terpuruk.

Lihat saja berbagai media nasional merilis berita bahwa industri media di Indonesia sedang berada di ujung tanduk. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terus melanda berbagai perusahaan media nasional, termasuk platform digital, seiring dengan penutupan sejumlah media besar di Indonesia, salah satunya adalah media GATRA.

Marjinalisasi pers di Indonesia.

Persoalan lain sektor pers adalah belanja iklan nasional yang mencapai angka fantastis ratusan triliun rupiah pertahun ternyata tidak terdistribusi merata ke seluruh daerah. Semua hanya terpusat di Jakarta.

Lebih miris lagi, angka belanja iklan ratusan triliun rupiah itu hanya dinikmati oleh segelintir pengusaha media nasional berdomisili di Jakarta. Dengan alsan bisnis, produsen pengguna jasa periklanan hanya diarahkan beriklan di media nasional di Jakarta.

Perusahaan Pers lokal tidak diberi akses untuk bisa ikut menikmati belanja iklan nasional. Media mainstream atau media arus utama nasional justeru dibiarkan memonopoli iklan selama puluhan tahun.

Tak ada satu pun upaya dari Dewan Pers memperjuangkan triliunan rupiah belanja iklan nasional tersebut terdistribusi ke Perusahaan Pers lokal. Pihak Pemerintah Pusat pun turut membiarkan terjadinya Marjinalisasi pers di Indonesia.

Media lokal malahan dipaksa ‘melacurkan’ diri bekerjasama dengan Pemerintah Daerah meski dengan nilai kontrak yang sangat minim. Sementara iklan komersil produk dagang di daerah hanya ditempatkan di media nasional.

Kesejahteraan Pers Terabaikan.

Maraknya pendirian perusahaan pers berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), belum disentuh kebijakan pemerintah. Pers sejatinya memang harus independent. Namun perusahaan pers tetap harus tunduk pada ketentuan perundang-undangan.

Pemerintah telah membuat regulasi bahwa setiap Perusahaan wajib membayar gaji karyawan dengan standar UMR (Upah Minimum Regional). Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003 yang direvisi melalui UU Cipta Kerja) melarang pengusaha membayar upah di bawah UMR.

PT yang tidak membayar gaji sesuai UMR (Upah Minimum Regional) atau UMP (Upah Minimum Provinsi) dapat dikenakan sanksi pidana dan/atau denda. Sanksi ini diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan, seperti Pasal 185 UU Ketenagakerjaan yang diubah oleh UU Cipta Kerja.

Sanksi Pidananya, perusahaan dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun. Selain pidana penjara, perusahaan juga dapat dikenakan denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta. Kemudian Sanksi Administratif, yakni denda administrative maksimal Rp1 juta atau kurungan hingga 3 bulan.

Namun pada kenyataannya, hampir sebagian besar perusahaan media tidak menggaji wartawannya. Kalau pun digaji, banyak wartawan yang nenerima di bawah UMR.

Kondisi ini tentunya sangat mengancam kemerdekaan pers. Wartawan yang tidak sejahtera cenderung gampang menjual idealismenya. Sudah menjadi rahasia umum, tak terkecuali media mainstream, wartawannya rata-rata masih menerima imblan amplop berisi uang dari nara sumber.

Fakta ini tidak bisa dipungkiri karena belum mampu menjamin kesejahteraan wartawan.

Pada akhir tulisan ini, pada prinsipnya penulis tetap menolak mekanisme hasil pemilihan Anggota Dewan Pers termasuk SK Penetapan oleh Presiden, karena bertentangan dengan UU Pers dan berpotensi melanggar hak konstitusional dan hak asazi manusia terhadap pimpinan dan pengurus organisasi pers non konstituen Dewan Pers.

Sebagai penutup penulis menitip asa kepada para Anggota Dewan Pers yang baru untuk berpihak pada media kecil dan wartawan lokal yang termarjinalisasi. Integritas dan ketokohan Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat memang tidak diragukan di bidang pendidikan.

Jika tetap ingin bertahan di Dewan Pers, kemampuan menangani kehidupan pers nasional perlu dibuktikan dengan memahami ketentuan yang diatur dalam UU Pers. (Red)

Oleh : Hence Mandagi – Ketua Umum DPP SPRI.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Opini

TNI: Dari Rakyat, Bersama Rakyat, untuk Rakyat

Published

on

Jakarta— Prajurit TNI sejati tidak berdiri sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai penjaga nurani bangsa. Mereka hadir bukan untuk menakuti, tetapi untuk menemani.

Mereka adalah wajah kekuatan yang penuh kasih, keberanian yang tidak membabi buta, dan keberpihakan yang tulus pada ibu pertiwi.

Dalam setiap langkahnya, mereka tahu, senjata bukan selalu solusi, dan kehangatan adalah kunci pencegah anarki.

Netral Tapi Aktif: Makna Sesungguhnya Keberpihakan.

Netralitas TNI bukan berarti pasif tanpa tindakan. Netralitas itu adalah keberanian untuk tidak terseret arus kepentingan, namun tetap sigap menjaga stabilitas negeri.

Ketika rakyat berdemo, TNI hadir bukan untuk membungkam, tetapi untuk mendengar dan menjaga.

Prajurit TNI yang netral dapat mencium gelagat. Mereka tidak kaku dalam menghadapi situasi. Di tengah orasi, mereka menjadi penyejuk.

Di tengah potensi anarki, mereka menjadi penyangga. Mereka bukan lawan rakyat, melainkan bagian dari rakyat.

Ketika Hoaks dan Huru-Hara Mengintai.

Dalam situasi yang sarat provokasi dan narasi palsu yang beredar liar, peran TNI sangat krusial. Mereka menjadi penyeimbang nalar dan peredam api konflik. Ketika rencana anarkisme mulai disusun dengan bungkus demokrasi, prajurit TNI hadir untuk meredam, bukan dengan kekuatan senjata, tetapi dengan kekuatan empati.

Mereka bukan hanya menjaga perbatasan wilayah, tetapi juga batas-batas nurani.

Prajurit Nurani: Harapan di Tengah Gejolak.

Dalam lima hari terakhir Agustus 2025, kita menyaksikan bagaimana prajurit TNI mengambil peran sebagai penjaga moral bangsa. Mereka membaur, merangkul, dan meredam tanpa kekerasan.

Ketika banyak pihak terjebak dalam kemarahan, mereka memilih jalan keberanian yang tenang.

“Engkau, prajurit TNI, adalah kekuatan yang tidak membinasakan. Engkau kekuatan yang menghidupkan,” tulis Imam Mawardi Ridlwan dalam refleksinya.

Penutup: Ketika Ibu Pertiwi Menangis, TNI Hadir Pertama.

Saat Ibu Pertiwi bersimbah air mata, prajurit TNI adalah yang pertama datang, bukan untuk menggertak, tetapi untuk menguatkan.

Karena mereka berasal dari rakyat, dan rakyat tidak pernah meminta peran mereka untuk mundur.

Dalam dunia yang penuh distraksi dan provokasi, semoga tetap ada ruang bagi prajurit-prajurit nurani. Yang tidak hanya menjaga keamanan, tapi juga menjaga kemanusiaan. (DON/Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan ,Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokad Pejuang Islam.

Continue Reading

Opini

Merayakan Maulid: Jika Abu Lahab Saja Diberi Keringanan, Bagaimana dengan Kita yang Merayakannya dengan Cinta?

Published

on

Jawa Timur— Saya tidak tahu apakah Abu Lahab pernah tersenyum dalam hidupnya. Namun, saya pernah membaca sebuah riwayat bahwa ia tersenyum bahagia pada hari kelahiran keponakannya, manusia paling mulia: Sayyidina Muhammad bin Abdullah.

Riwayat ini, yang jika saya tidak salah berasal dari Imam al-Bukhari, menyebut bahwa ekspresi bahagia Abu Lahab tersebut yang diwujudkan dengan memerdekakan budaknya, Tsuwaibah, sebagai ungkapan syukur mendatangkan satu bentuk keringanan baginya.

Di neraka, tempat ia kelak disiksa, ia mendapat setetes air setiap hari Senin. Hanya karena ia gembira saat Nabi Muhammad lahir.

Bayangkan. Abu Lahab, yang dengan terang-terangan memusuhi dakwah Rasulullah, tetap mendapatkan ganjaran ringan atas kebahagiaannya menyambut kelahiran Nabi. Lalu, bagaimana dengan kita?

Umat Islam yang merayakan Maulid Nabi dengan cinta, dengan shalawat, dengan ilmu, dan dengan hati yang bersyukur?

Kini Rabiul Awal kembali hadir. Bulan kelahiran manusia paling sempurna. Bulan yang membuat langit dan bumi damai, yang membuat para malaikat turun membawa kabar gembira.

Bulan yang menjadi alasan berkumpulnya umat Islam di seluruh dunia dari kampung kecil hingga masjid-masjid besar untuk bershalawat, berbagi makanan, dan menimba ilmu.

Allah sendiri, dalam Al-Ahzab ayat 56, menegaskan:

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”

Jadi ketika ada yang bertanya, “Mengapa Maulid dirayakan?” Jawabannya sederhana: karena kita cinta. Karena kita bahagia.

Karena Rasulullah sendiri pun memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa setiap hari Senin, sebagai bentuk syukur.

Saya teringat dawuh dari Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, ulama besar dari Mekkah. Beliau mengatakan bahwa merayakan Maulid pasti membawa manfaat. Dunia dan akhirat.

Karena Maulid adalah ekspresi mahabbah cinta. Dan cinta tak bisa dipaksakan. Ia tumbuh dari hati yang mengenal dan menyayangi.

Tentu, ada sebagian yang menyebut Maulid sebagai bid’ah. Tapi para ulama bijak menjawabnya dengan konsep bid’ah hasanah amal baru yang tidak bertentangan dengan syariat dan membawa kebaikan. Bahkan sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud RA, pernah berkata:

“Apa yang dilihat umat Islam sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut baik di sisi Allah. Dan apa yang dilihat umat Islam sebagai perkara yang buruk, maka perkara tersebut buruk di sisi Allah.”

Tulisan ini saya buat sebagai pengingat bagi diri saya sendiri, dan juga ajakan kepada saudara-saudaraku: monggo maulidan.

Mari rayakan Maulid dengan cara yang sesuai kemampuan kita. Dengan shalawat. Dengan pengajian. Dengan berbagi makanan. Dengan menyebar ilmu dan rasa syukur.

Karena Maulid bukan sekadar peringatan. Ia adalah pernyataan cinta. Cinta yang menumbuhkan harapan untuk mendapat syafaat dari manusia paling penyayang: Rasulullah Muhammad.

Dan jika Abu Lahab saja mendapat setetes air di neraka karena Maulid, maka sungguh besar harapan kita yang merayakannya dengan iman. (Red)

Oleh: Imam Mawardi Ridlwan
Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Sosial Bani Kyai Tasir Mayong

Continue Reading

Opini

Prabowo Teriak, DPR Kedinginan! Koruptor Ketar-Ketir, RUU Perampasan Aset Terhenti

Published

on

Jakarta— Di tengah rakyat yang makin sengsara dan harga-harga meroket, satu kenyataan memalukan, DPR masih menunda RUU Perampasan Aset, sementara Presiden Prabowo bersuara lantang.

Di warung kopi, Pak Slamet, Kobar, dan Jeri menertawakan pahitnya politik.

“Koruptor itu maling kelas dewa. Ditangkap? Bisa. Tapi hartanya aman. Rakyat? Terus dihantam,” kata Kobar.

“Bedanya maling ayam miskin, maling negara kaya raya. DPR? Mereka diam, melindungi mafia,” tambah Jeri.

Fredi Moses Ulemlem menimpali dengan nada keras.

“Sejak SBY sampai Jokowi, RUU ini digodok. Prabowo teriak bersihkan diri. Tapi DPR? Masih main aman! Ini jelas perlindungan oligarki”, kecamnya, Kamis(4/9).

Pidato Prabowo Subianto berdentum seperti petir.

“Bersihkan dirimu, sebelum kau akan dibersihkan, dan kau akan dibersihkan pasti”

Rakyat membaca jelas siapa yang main-main dengan korupsi, siap-siap disapu bersih. Namun DPR masih bermain aman, takut panas, takut kehilangan jaringan gelap mereka.

DPR Dalih Hukum atau Pelindung Koruptor?

Sturman Panjaitan: “Kita hati-hati…” Jangan sampai hukum menimpa diri sendiri.

Edhie Baskoro Yudhoyono: “Kami siap jika diperlukan cepat.”  Siap? Asal aman untuk mereka sendiri.

Muhammad Kholid: “RUU ini solusi adil, efektif.” Minoritas progresif. Tapi cukup berani lawan partai besar ?

Sufmi Dasco: “Tunggu KUHAP selesai.” Alasan klasik untuk memingpong rakyat bertahun-tahun.

Siapa Untung Jika RUU Mandek?

Oligarki dan Mafia Bisnis Bisa tetap menikmati kekayaan rakyat.

Politisi Kaya yang Menyiapkan 2029 → Bisa “cuci uang” tanpa takut kehilangan aset.

Koruptor yang Masih Tidur Nyenyak, Hartanya tetap aman, rakyat terus menanggung akibatnya.

Di warung kopi, rakyat sudah membaca arah angin: DPR pengecut, koruptor tenang, rakyat terhimpit.

“Kalau koruptor kaya makin aman, rakyat miskin makin sengsara. DPR pikir kita bodoh? Semua orang tahu ini soal keberanian, bukan hukum,” tegas Fredi.

Prabowo berdiri di sisi rakyat. DPR? Masih terjebak oligarki. RUU Perampasan Aset bukan sekadar hukum, ini pertempuran keadilan rakyat vs koruptor! (By/Red)

Continue Reading

Trending