Connect with us

Redaksi

Ketua Komisi III DPR Tegaskan Perpol 10/2025 Konstitusional dan Sejalan dengan Putusan MK

Published

on

JAKARTA — Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan bahwa Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 bersifat konstitusional dan tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025.

Menurut Habiburokhman, Putusan MK tersebut tidak melarang secara menyeluruh penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian. MK hanya membatalkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

“Frasa ‘jabatan yang tidak memiliki sangkut paut dengan kepolisian’ sama sekali tidak dibatalkan MK. Dengan demikian, masih ada kemungkinan anggota Polri bertugas di kementerian atau lembaga sepanjang tugasnya ada sangkut pautnya dengan Polri,” kata Habiburokhman dalam keterangannya, Minggu (14/12/2025).

Habiburokhman menjelaskan, dalam menilai sah atau tidaknya penugasan anggota Polri di kementerian dan lembaga, rujukan utamanya adalah Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan tugas Polri untuk melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

“Sepanjang penugasan itu dalam konteks melindungi, mengayomi, melayani masyarakat atau menegakkan hukum, maka jelas ada sangkut pautnya dengan tugas kepolisian,” ujarnya.

Ia menambahkan, dengan parameter tersebut, penugasan anggota Polri di luar struktur Polri tidak bertentangan dengan konstitusi maupun putusan MK.

“Maka hal tersebut tentu saja tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Putusan MK,” tegasnya.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Perpol Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri. Aturan tersebut diteken pada 9 Desember 2025.

Dalam Perpol itu, terdapat 17 kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh anggota Polri aktif. Pasal 3 Perpol 10/2025 menyebutkan bahwa pelaksanaan tugas anggota Polri dapat dilakukan pada kementerian, lembaga, badan, komisi, organisasi internasional, atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.

Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (3) Perpol 10/2025 menyatakan bahwa pelaksanaan tugas anggota Polri dapat dilakukan pada jabatan manajerial maupun nonmanajerial.

Sementara itu, Pasal 3 ayat (4) menegaskan bahwa jabatan tersebut harus memiliki keterkaitan dengan fungsi kepolisian serta dilaksanakan berdasarkan permintaan dari kementerian, lembaga, badan, atau komisi terkait.

Habiburokhman menilai, jika Perpol 10/2025 dibaca secara utuh dan sistematis, maka aturan tersebut justru menjadi bentuk penataan agar penugasan anggota Polri lebih jelas secara hukum dan tidak menimbulkan multitafsir.

“Selama tugasnya masih berkaitan dengan fungsi kepolisian, maka penugasan tersebut sah dan konstitusional,” pungkas Habiburokhman. (By/Red)

Redaksi

Waket Komisi III DPR: Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 Bukan Larangan Mutlak Penugasan Anggota Polri

Published

on

JAKARTA — Wakil Ketua Komisi III DPR RI sekaligus Ketua Panitia Kerja Reformasi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Pengadilan DPR RI, Moh. Rano Alfath, menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tidak boleh dimaknai sebagai larangan absolut terhadap penugasan atau perbantuan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di luar struktur institusi kepolisian.

Menurut Rano, Mahkamah Konstitusi justru menekankan pentingnya penataan dan pembatasan kewenangan agar praktik penugasan tersebut dilakukan secara jelas, terukur, dan tidak menimbulkan tumpang tindih fungsi.

“Putusan MK itu bukan soal boleh atau tidak bolehnya Polri diperbantukan. Yang ditekankan justru kejelasan status, rantai komando, dan pertanggungjawaban,” ujar Rano kepada wartawan, Sabtu (13/12/2025).

Rano menjelaskan, pertimbangan hukum MK berangkat dari kedudukan Polri sebagai alat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yang memberikan mandat kepada Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.

Karena itu, setiap norma yang membuka ruang penugasan anggota Polri di luar institusi kepolisian harus dirumuskan secara tegas dan tidak menimbulkan ambiguitas kewenangan.

“MK ingin memastikan status kepegawaian anggota Polri tetap pasti, rantai komandonya tidak bercabang, dan fungsi penegakan hukumnya tidak bercampur dengan fungsi lain di luar mandat konstitusional,” jelas Rano.

Terkait Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025, Rano menilai regulasi tersebut tidak bertentangan dengan Putusan MK. Justru, Perpol itu dapat dipahami sebagai instrumen penataan administratif untuk menjawab pesan Mahkamah Konstitusi.

Ia menjelaskan, Perpol 10/2025 mengatur mekanisme penugasan secara lebih tertib, mulai dari adanya permintaan resmi dari instansi pengguna, pembatasan pada instansi yang relevan dengan fungsi kepolisian, hingga kewajiban seleksi dan uji kompetensi.

“Kalau dibaca secara utuh dan sistematis, Perpol ini justru sejalan dengan putusan MK. Intinya menutup celah-celah yang sebelumnya belum diatur secara rapi,” kata Rano.

Selain itu, anggota Polri yang ditugaskan juga diwajibkan melepaskan jabatan struktural di internal Polri serta tunduk pada mekanisme evaluasi dan pengakhiran penugasan.

“Supaya penugasan Polri itu transparan, akuntabel, dan tidak menimbulkan konflik kepentingan,” tambahnya.

Lebih lanjut, Rano menegaskan bahwa kebutuhan perbantuan Polri oleh lembaga negara bersifat kontekstual dan tidak dapat diseragamkan. Selama didasarkan pada kebutuhan institusional yang sah, memiliki dasar hukum yang jelas, serta berada dalam pengawasan ketat, perbantuan tersebut tetap berada dalam koridor konstitusional.

“Negara hukum itu bukan berarti menutup diri dari pemanfaatan keahlian aparat negara. Yang dituntut adalah pembatasan yang jelas agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Rano juga menyinggung mekanisme pengangkatan Kapolri sebagai bagian dari agenda reformasi kepolisian. Ia menegaskan bahwa Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri secara tegas mengatur pengangkatan dan pemberhentian Kapolri oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

“Persetujuan DPR itu bukan untuk mengurangi hak prerogatif Presiden. Justru merupakan mekanisme konstitusional agar kekuasaan dalam institusi penegak hukum tetap terjaga akuntabilitasnya,” tegas Rano.

Sebagai Ketua Panja Reformasi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan Pengadilan DPR RI, Rano menegaskan komitmen Komisi III DPR RI untuk terus mengawal implementasi Putusan MK, Perpol 10/2025, serta tata kelola kepemimpinan Polri agar tetap berada dalam koridor konstitusi dan prinsip negara hukum.

“Reformasi kepolisian bukan soal memperluas atau meniadakan peran Polri secara ekstrem, tetapi menjaga batas kewenangan dan mengelola kekuasaan secara bertanggung jawab,” pungkasnya. (By/Red)

Continue Reading

Redaksi

Pelatih Terbaik Yonif 2 Marinir Turunkan Ilmu Bertahan Hidup dan Kesehatan Lapangan kepada Siswa Ombudsman

Published

on

Jakarta — Pelatih terbaik Yonif 2 Marinir kembali menunjukkan dedikasi dan profesionalismenya dalam membina generasi muda dengan memberikan materi bertahan hidup di hutan (jungle survival) serta kesehatan lapangan kepada siswa-siswi Ombudsman Republik Indonesia.

Kegiatan tersebut dilaksanakan di Ksatriyan Marinir Hartono, Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (13/12/2025).

Dalam pelatihan ini, para pelatih Yonif 2 Marinir menyampaikan berbagai materi penting, di antaranya teknik bertahan hidup di alam terbuka, pemanfaatan sumber daya alam secara sederhana, pengenalan tanda-tanda alam, serta langkah-langkah pertolongan pertama dan upaya menjaga kesehatan di lapangan.

Seluruh materi disampaikan melalui metode teori dan praktik agar mudah dipahami serta dapat diaplikasikan oleh para peserta.

Para siswa-siswi Ombudsman Republik Indonesia tampak antusias mengikuti setiap sesi pelatihan.

Dengan pendampingan langsung dari para pelatih Yonif 2 Marinir, peserta dilatih untuk memiliki sikap disiplin, tangguh, serta mampu mengambil keputusan secara tepat dalam kondisi darurat.

Pada kesempatan tersebut, Komandan Batalyon Infanteri 2 Marinir, Letkol Marinir Helilintar Setiojoyo Laksno, S.E., menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan membekali generasi muda dengan keterampilan dasar yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, kerja sama, dan kepedulian terhadap keselamatan diri maupun orang lain.

“Ilmu bertahan hidup dan kesehatan lapangan ini sangat penting sebagai bekal menghadapi berbagai situasi, baik di alam terbuka maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kami berharap para siswa dapat mengambil manfaat positif dari kegiatan ini,” ujarnya. (Timo)

Continue Reading

Redaksi

Hari Nusantara 2025, Anas Urbaningrum Dorong Perubahan Haluan Maritim

Published

on

Jakarta — Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Anas Urbaningrum, melontarkan kritik keras terhadap arah pembangunan nasional yang dinilainya gagal membaca geopolitik Indonesia sebagai negara kepulauan.

Ia menegaskan, Indonesia selama ini masih menjalankan politik pembangunan ala negara daratan, padahal secara historis, geografis, dan strategis, Indonesia adalah poros maritim dunia.

Pernyataan tersebut disampaikan Anas dalam momentum Hari Nusantara 2025, yang berakar pada Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dokumen geopolitik monumental yang menegaskan laut, pulau, dan udara Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah kedaulatan.

“Indonesia adalah archipelagic state. Tapi pembangunan kita masih berpikir seperti negara kontinental. Ini bukan sekadar salah arah, ini kesalahan geopolitik,” tegas Anas, dikutip dari akun X pribadinya, Minggu (14/12/2025).

Menurut Anas, orientasi pembangunan yang terlalu mengeksploitasi daratan hutan, pegunungan, dan wilayah hulu tanpa perspektif maritim dan ekologis telah melahirkan krisis multidimensi, mulai dari kerusakan lingkungan, bencana berulang, hingga melemahnya daya tawar geopolitik Indonesia.

Banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, lanjut Anas, bukan semata bencana alam, melainkan alarm geopolitik atas kegagalan negara mengelola ruang hidup Nusantara secara utuh.

“Bencana itu akibat kebijakan. Ketika darat dieksploitasi dan laut diabaikan, alam akan menagih dengan cara paling kejam,” ujarnya.

Anas secara khusus menyoroti Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai jantung geopolitik Indonesia yang selama ini dinilai tidak dikelola secara serius sebagai instrumen kedaulatan dan kekuatan nasional.

ALKI I, II, dan III merupakan jalur vital perdagangan global sekaligus lalu lintas militer internasional.

Namun, menurut Anas, negara justru absen dalam membangun arsitektur keamanan maritim, industri maritim nasional, serta kekuatan logistik laut yang memadai.

“ALKI itu bukan sekadar jalur lalu lintas kapal asing. Itu urat nadi geopolitik dunia yang melintas di rumah kita. Tapi kita bertindak seolah-olah itu hanya halaman belakang,” kata Anas.

Dalam konteks kawasan Indo-Pasifik yang kian memanas akibat rivalitas Amerika Serikat dan China, Anas menilai posisi Indonesia sangat strategis, namun sekaligus berisiko jika tidak ditopang oleh visi maritim yang kuat dan berdaulat.

Laut Natuna Utara, jalur perdagangan energi global, serta posisi Indonesia di antara dua samudra besar menjadikan Indonesia sebagai aktor kunci, bukan sekadar penonton dalam percaturan geopolitik dunia.

“Tanpa strategi maritim yang berdaulat, Indonesia bisa tergelincir menjadi sekadar buffer zone atau wilayah lintasan kepentingan kekuatan besar,” tegasnya.

Anas juga mengingatkan, kegagalan mengonsolidasikan kekuatan laut mulai dari pelabuhan, galangan kapal, hingga ekonomi pesisir akan membuat Indonesia rapuh secara politik dan bergantung secara ekonomi.

Ia bahkan menyebut Indonesia telah kehilangan Doktrin Nusantara, yakni pandangan strategis yang memosisikan laut sebagai pemersatu, bukan pemisah; sebagai pusat kekuatan nasional, bukan sekadar pelengkap pembangunan darat.

“Menyia-nyiakan potensi negara kepulauan adalah kepandiran strategis. Ini harus diakhiri, atau Indonesia akan terus membayar mahal dari bencana ekologis hingga hilangnya pengaruh geopolitik,” tandasnya.

Menutup pernyataannya, Anas menyerukan perubahan haluan politik pembangunan nasional: dari darat ke laut, dari eksploitatif ke ekologis, serta dari reaktif ke strategis.

“Hari Nusantara bukan sekadar seremoni. Ini pengingat bahwa Indonesia hanya akan berdaulat dan sejahtera jika kembali pada jati dirinya sebagai bangsa maritim,” pungkasnya.

“Selamat Hari Nusantara, 13 Desember 2025.” (By/Red)

Continue Reading

Trending